Minggu, 30 September 2012

Ketika Cinta Memanggil


Kuletakkan buku Ekonomi-ku di atas meja belajar. Pusing rasanya kepalaku menghadapi begitu banyak persoalan Ekonomi.
“Udah ah, aku capek!” ucapku seraya bersandar pada punggung kursi.
Mas Anton melihat arlojinya. “Belum waktunya selesai kan! Masih ½ jam lagi,” ucap Mas Anton.
Aku cemberut. “Tapi aku capek banget, aku pusing lihat soal segitu!” balasku.
Mas Anton tersenyum manis dan melihat bukuku. “Yang mana yang nggak bisa?” tanyanya.
“Semua,” jawabku singkat.
Mas Anton mengernyitkan dahi. “Bukannya udah aku jelasin semua?!” ucapnya.
Aku menarik nafas. “Pak guruku yang manis, saat ini Adella lagi capek. Jadi, soal semudah apapun nggak bakal bisa masuk ke otakku, gitu lho!” ucapku menjelaskan.
Mas Anton tersenyum. “So… sekarang Adella mau apa?” tanyanya.
“Istirahat dulu deh,” jawabku.
Mas Anton mengangkat bahu.
“Laper nih, makan yuk!” ajakku.
Mas Anton tampak berfikir.
“Tenang… waktu makan anggap aja bagian dari les, jadi pas 1 ½ jam.” Ucapku lagi.
Dan lagi-lagi guru privatku itu cuma tersenyum manis. “Terserah kamu deh! aku cuma melayani,” balasnya.
Aku tertawa dan mengajaknya ke ruang makan.
“Hai, kalian udah selesai?” tanya Kak Robby, kakak keduaku.
“Sebenarnya belum, tapi Adella minta selesai. Capek katanya!” jawab Mas Anton.
“Huh… dasar ga’ serius!” seru Kak Robby.
Aku menjulurkan lidahku.
“Kalo gitu aku balik dulu ya!” pamit Mas Anton.
“Makan dulu lah, Mas.” Ucapku dan Kak Robby bareng.
“Makasih deh, udah kenyang!” ucapnya. “Dah ya… aku balik dulu, bye!” pamitnya seraya kabur.
            Mas Anton ini sebenarnya calon suaminya kakak pertamaku, Cendi. Tapi berhubung dia guru ekonomi, akhirnya dia jadi guru privat Ekonomi-ku. Maunya dia sih ga’ usah bayar, adik sendiri juga. Tapi ortu nggak setuju dong. Dia kan musti profesional, kalo kerja ya dibayar.
                                                                               
            Kumasukkan bola basket ke dalam ring, dan kutangkap lagi setelah jatuh.
Serius drible, tiba-tiba pandanganku jatuh pada sesosok cowok yang nangkring di pinggir lapangan. Cowok cakep itu namanya Dony. Dia ini pemain bola adiknya mas Anton. Udah 3 hari dia nginep disini. Yeah… dia kesini dalam rangka pernikahan Kak Cendi dan Mas Anton.
“Ada apa?” tanyaku saat kulihat dia terus menatapku.
“Kamu pemain basket ya?”
“Saat ini, iya!” jawabku sambil terus melempar bola ke dalam ring.
“Kamu kapten tim basket putri kota ini kan?!” ucapnya lagi.
Aku menghentikan mainku. “Tahu dari mana?” tanyaku.
Dia tersenyum. “Kita kan sesama atlet, wajar kan saling tahu!” balasnya santai. “Lagian, kita kan saudara ipar, wajar juga kan kalau tahu profesi kamu.” Lanjutnya.
Aku mengangguk mengerti dan meneruskan permainanku.
“Kamu… pacarnya Davin kan?!” tanyanya lagi.
Aku terdiam dan membiarkan bolaku menggelinding. “Sok tahu kamu!” sahutku kemudian seraya mengambil handuk dan berjalan mendekatinya. “Kamu kenal dia?” tanyaku kemudian.
“Cuma pernah tahu aja! Sering ketemu di pertandingan,” jawab Dony. “Waktu itu kan, wajah kalian sempet sering muncul di media olahraga,” sambungnya.
“Oh ya? kok aku nggak tahu!” balasku.
Dony tersenyum.
“Emang media bilang apa?” tanyaku.
“Yeah… biasalah, bahas dua atlet yang pacaran.” Jawab Dony.
“Aku nggak pacaran,” sahutku.
“Jangan bohong!” seru Dony.
Aku tertawa kecil. “Iya sih, aku pacaran sama dia. Tapi dulu, dulu banget! Waktu aku masih SMA. Setelah dia pergi, ya udah! Media sepi, kan!” balasku.
“Jadi kalian putus?” tanya Dony.
Aku mengangkat bahu dan melangkah masuk rumah.
            Davin. Ah…. masa lalu. Aku nggak tahu hubunganku dan dia 4 tahun lalu sempat tercium media.
                                                                              ***
            Aku memasuki ruang makan hotel atlet bersama Nefri, temanku. Agak kaget melihat suasana ruang makan yang begitu penuh dengan orang.
“Rame banget ya,” gumamku.
“Ya iyalah, atlet dari berbagai cabang ada di sini!” sahut Nefri.
“Yeah… aku kan baru kali ini ikut Sea Games,” balasku.
Nefri tersenyum dan mulai melangkah mengambil makanan. Aku mengikutinya.
                                                                          
            “Hai, boleh gabung nggak?” sebuah suara tiba-tiba muncul.
Aku menoleh ke arah datangnya suara. “Hei..Don! duduk aja!” balasku mempersilakan Dony duduk di kursi sebelahku dan memperkenalkannya pada Nefri. “Gimana kabar kamu?” tanyaku.
“Baik, keluarga gimana?” tanyanya balik.
“Semua baik!” jawabku. “Gimana persiapan buat besok?”
“Cukup baik! Kita akan berusaha sebaik mungkin,” jawabnya. “Kamu gimana?”
“Yeah… berusaha tenang aja, inikan Sea Games pertamaku.” Jawabku.
“Good luck, deh!” ucapnya.
“Makasih,”
“By the way, udah ketemu Davin?” tanya Dony.
“Hah?”
“Jadi belum ya,” gumamnya.
Aku terdiam. Jadi Davin juga ada. Iya sih, dia kan pemain bagus, tentu saja ada disini. Tapi…. apa aku ingin ketemu dia?
                                                                              
            Aku keluar dari ruang makan menuju taman hotel. Nefri sudah kembali ke kamar. Aku ingin menenangkan diri sejenak. Kurasa duduk-duduk di taman sambil melihat bintang akan membantu, meskipun sedikit.
“Adella!” sebuah suara menyadarkan kesendirianku.
Aku menoleh. “Davin!” seruku pelan melihat sosok yang berdiri di depanku.
“Mm… boleh aku duduk?” tanyanya.
Aku mengangguk.
 Davin duduk di sebelahku. “Gimana kabar kamu?” tanyanya.
“Baik, kamu?”
“Aku juga,” jawabnya. “Kamu… masih main basket ya?!”
“Yeah… kalau nggak, aku nggak akan disini.” Sahutku.
Davin tersenyum, agak malu dengan pertanyaan konyolnya.
“Main dimana sekarang?” tanyaku.
“Tetep di Jawa Tengah, deket rumah.” Jawabnya.
“Deket?”
“Yeah… nggak gitu deket sih, tapi kan masih satu provinsi.” Jawabnya.
Aku tersenyum kecil.
            Hening sejenak. Kami larut dalam pikiran kami masing-masing. Aku sendiri bingung mau ngomong apa. Aku bener-bener nggak siap ketemu dia saat ini.
“Del, kamu…. udah punya pacar?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menatapnya. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?”
“Cuma pingin tahu! Itupun kalau kamu nggak keberatan jawab,”
“Emangnya masih penting ya buat kamu? Kita kan udah pisah 4 tahun,” ucapku.
“Jujur… iya! Masih penting banget buatku, karena 4 tahun ini aku nggak bisa berhenti mikirin kamu,” jawabnya.
Aku terdiam sejenak, tak tahu harus bicara apa.
“Aku… balik dulu Vin! udah malam, aku harus tidur, aku harus fit untuk pertandingan pertama besok!” ucapku akhirnya, seraya berdiri.
Davin memegang tanganku. “Kamu nggak mau jawab pertanyaanku?” tanyanya.
Aku diam dan menarik tanganku. “Selamat malam!” ucapku seraya melangkah menjauhi Davin menuju kamarku.
            Sebenarnya aku juga belum bisa melupakan Davin sampai saat ini. Aku masih mencintainya. Tapi saat ini aku tak ingin membicarakannya. Entahlah!
                                                                             
            Akhirnya Sea Games berakhir. Ini hari terakhirku berada di Jakarta. Besok kita akan kembali ke asal masing-masing.
“Adella, aku ingin bicara!” ucap Davin setelah makan malam.
“Ada apa?” tanyaku.
Davin mengajakku ke taman hotel.
“Del, aku ingin kamu jawab jujur pertanyaanku.” Ucap Davin. “Apa kamu masih mencintaiku?”
            Aku hanya diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Apa aku harus jujur mengatakan padanya bahwa aku masih sangat mencintainya?
“Del, please jawab pertanyaanku jujur!” pintanya seraya memegang tanganku.
Aku menarik nafas pendek. “Jujur, aku masih sangat mencintaimu Vin! Seperti dulu, nggak berubah.” Jawabku pelan.
“Jadi, kamu mau kan jadi pacarku lagi?” tanyanya.
“Apa kamu yakin kita bisa menjalani hubungan di tempat yang berbeda? Apa kamu yakin kita akan baik-baik saja kalau kita nggak pernah bertemu?” tanyaku.
“Kita pernah memutuskan hubungan karena alasan itu Del. Dan menurutmu, apa kita baik-baik saja berpisah hanya karena jarak?” Davin balas bertanya.
Aku tak menjawab.
“Aku nggak merasa baik-baik saja setelah kita berpisah, Del. Aku selalu memikirkanmu! Dan aku menyesal waktu itu kita putus, sementara aku masih sangat mencintai kamu.” Ucap Davin.
“Tapi bagaimana cara kita berhubungan kalau kita tinggal di tempat yang berbeda? Cuma lewat telepon? Atau online? Bagaimana kalau aku pingin ketemu kamu? Masa aku punya pacar nggak nyata?” tanyaku.
Davin tertawa kecil. “Soal itu gampang Sayang, aku bisa kok sewaktu-waktu ngunjungin kamu!” jawabnya.
“Kayak kamu punya banyak waktu aja!” sahutku.
Davin tertawa lagi. “Itu bisa diatur nanti. Yang penting sekarang, kamu mau nggak jadi pacarku lagi?” tanyanya.
Aku berpikir sejenak. “Mmm….. ya deh, aku mau!” jawabku akhirnya.
Davin tersenyum senang seraya mencium tanganku.
“Tapi janji ya, kamu akan ngunjungin aku!” pintaku.
“Iya, janji! Kalau perlu, musim depan aku akan ikut seleksi di tim kotamu lagi, biar kita bisa sama-sama terus.”
“Bener?” tanyaku.
Davin mengangguk mantap.
            Aku tersenyum senang.
Hh….akhirnya aku menemukan kembali cintaku yang telah hilang 4 tahun. Rasanya semua beban di hatiku tlah hilang.
Ternyata kalau cinta sudah memanggil, kemana pun kita pergi atau seberapa keras pun kita berusaha menolak. Cinta akan tetap menarik kita dalam dekapannya yang kuat.

                                                                        ~~~

By: Cepi R Dini
   

1 komentar:

Blogger Lobby mengatakan...

cerita ini sangat lah butuh kedewasaan yg harus ditumbuhkan dalam jiwa si tokoh utama wanita tersebut. So... I like this :)

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates