Kuletakkan buku Ekonomi-ku
di atas meja belajar. Pusing rasanya kepalaku menghadapi begitu banyak
persoalan Ekonomi.
“Udah
ah, aku capek!” ucapku seraya bersandar pada punggung kursi.
Mas
Anton melihat arlojinya. “Belum waktunya selesai kan! Masih ½ jam lagi,” ucap Mas
Anton.
Aku
cemberut. “Tapi aku capek banget, aku pusing lihat soal segitu!” balasku.
“Semua,”
jawabku singkat.
Mas
Anton mengernyitkan dahi. “Bukannya udah aku jelasin semua?!” ucapnya.
Aku
menarik nafas. “Pak guruku yang manis, saat ini Adella lagi capek. Jadi, soal
semudah apapun nggak bakal bisa masuk ke otakku, gitu lho!” ucapku menjelaskan.
Mas
Anton tersenyum. “So… sekarang Adella mau apa?” tanyanya.
“Istirahat
dulu deh,” jawabku.
Mas
Anton mengangkat bahu.
“Laper
nih, makan yuk!” ajakku.
Mas
Anton tampak berfikir.
“Tenang…
waktu makan anggap aja bagian dari les, jadi pas 1 ½ jam.” Ucapku lagi.
Dan
lagi-lagi guru privatku itu cuma tersenyum manis. “Terserah kamu deh! aku cuma
melayani,” balasnya.
Aku
tertawa dan mengajaknya ke ruang makan.
“Hai,
kalian udah selesai?” tanya Kak Robby, kakak keduaku.
“Sebenarnya
belum, tapi Adella minta selesai. Capek katanya!” jawab Mas Anton.
“Huh…
dasar ga’ serius!” seru Kak Robby.
Aku
menjulurkan lidahku.
“Kalo
gitu aku balik dulu ya!” pamit Mas Anton.
“Makan
dulu lah, Mas.” Ucapku dan Kak Robby bareng.
“Makasih
deh, udah kenyang!” ucapnya. “Dah ya… aku balik dulu, bye!” pamitnya seraya
kabur.
Mas Anton ini sebenarnya calon suaminya kakak pertamaku, Cendi.
Tapi berhubung dia guru ekonomi, akhirnya dia jadi guru privat Ekonomi-ku. Maunya
dia sih ga’ usah bayar, adik sendiri juga. Tapi ortu nggak setuju dong. Dia kan
musti profesional, kalo kerja ya dibayar.
Kumasukkan bola basket ke dalam ring, dan kutangkap lagi
setelah jatuh.
Serius
drible, tiba-tiba pandanganku jatuh pada sesosok cowok yang nangkring di
pinggir lapangan. Cowok cakep itu namanya Dony. Dia ini pemain bola adiknya mas
Anton. Udah 3 hari dia nginep disini. Yeah… dia kesini dalam rangka pernikahan
Kak Cendi dan Mas Anton.
“Ada
apa?” tanyaku saat kulihat dia terus menatapku.
“Kamu
pemain basket ya?”
“Saat
ini, iya!” jawabku sambil terus melempar bola ke dalam ring.
“Kamu
kapten tim basket putri kota ini kan?!” ucapnya lagi.
Aku
menghentikan mainku. “Tahu dari mana?” tanyaku.
Dia
tersenyum. “Kita kan sesama atlet, wajar kan saling tahu!” balasnya santai.
“Lagian, kita kan saudara ipar, wajar juga kan kalau tahu profesi kamu.” Lanjutnya.
Aku
mengangguk mengerti dan meneruskan permainanku.
“Kamu…
pacarnya Davin kan?!” tanyanya lagi.
Aku
terdiam dan membiarkan bolaku menggelinding. “Sok tahu kamu!” sahutku kemudian
seraya mengambil handuk dan berjalan mendekatinya. “Kamu kenal dia?” tanyaku
kemudian.
“Cuma
pernah tahu aja! Sering ketemu di pertandingan,” jawab Dony. “Waktu itu kan,
wajah kalian sempet sering muncul di media olahraga,” sambungnya.
“Oh
ya? kok aku nggak tahu!” balasku.
Dony
tersenyum.
“Emang
media bilang apa?” tanyaku.
“Yeah…
biasalah, bahas dua atlet yang pacaran.” Jawab Dony.
“Aku
nggak pacaran,” sahutku.
“Jangan
bohong!” seru Dony.
Aku
tertawa kecil. “Iya sih, aku pacaran sama dia. Tapi dulu, dulu banget! Waktu
aku masih SMA. Setelah dia pergi, ya udah! Media sepi, kan!” balasku.
“Jadi
kalian putus?” tanya Dony.
Aku
mengangkat bahu dan melangkah masuk rumah.
Davin. Ah…. masa lalu. Aku nggak tahu hubunganku dan dia
4 tahun lalu sempat tercium media.
***
Aku memasuki ruang makan hotel atlet bersama Nefri, temanku.
Agak kaget melihat suasana ruang makan yang begitu penuh dengan orang.
“Rame
banget ya,” gumamku.
“Ya
iyalah, atlet dari berbagai cabang ada di sini!” sahut Nefri.
“Yeah…
aku kan baru kali ini ikut Sea Games,” balasku.
Nefri
tersenyum dan mulai melangkah mengambil makanan. Aku mengikutinya.
“Hai, boleh gabung nggak?” sebuah suara tiba-tiba muncul.
Aku
menoleh ke arah datangnya suara. “Hei..Don! duduk aja!” balasku mempersilakan
Dony duduk di kursi sebelahku dan memperkenalkannya pada Nefri. “Gimana kabar
kamu?” tanyaku.
“Baik,
keluarga gimana?” tanyanya balik.
“Semua
baik!” jawabku. “Gimana persiapan buat besok?”
“Cukup
baik! Kita akan berusaha sebaik mungkin,” jawabnya. “Kamu gimana?”
“Yeah…
berusaha tenang aja, inikan Sea Games pertamaku.” Jawabku.
“Good
luck, deh!” ucapnya.
“Makasih,”
“By
the way, udah ketemu Davin?” tanya Dony.
“Hah?”
“Jadi
belum ya,” gumamnya.
Aku
terdiam. Jadi Davin juga ada. Iya sih, dia kan pemain bagus, tentu saja ada
disini. Tapi…. apa aku ingin ketemu dia?
Aku keluar dari ruang makan menuju taman hotel. Nefri sudah
kembali ke kamar. Aku ingin menenangkan diri sejenak. Kurasa duduk-duduk di
taman sambil melihat bintang akan membantu, meskipun sedikit.
“Adella!”
sebuah suara menyadarkan kesendirianku.
Aku
menoleh. “Davin!” seruku pelan melihat sosok yang berdiri di depanku.
“Mm…
boleh aku duduk?” tanyanya.
Aku
mengangguk.
Davin duduk di sebelahku. “Gimana kabar kamu?”
tanyanya.
“Baik,
kamu?”
“Aku
juga,” jawabnya. “Kamu… masih main basket ya?!”
“Yeah…
kalau nggak, aku nggak akan disini.” Sahutku.
Davin
tersenyum, agak malu dengan pertanyaan konyolnya.
“Main
dimana sekarang?” tanyaku.
“Tetep
di Jawa Tengah, deket rumah.” Jawabnya.
“Deket?”
“Yeah…
nggak gitu deket sih, tapi kan masih satu provinsi.” Jawabnya.
Aku
tersenyum kecil.
Hening sejenak. Kami larut dalam pikiran kami
masing-masing. Aku sendiri bingung mau ngomong apa. Aku bener-bener nggak siap
ketemu dia saat ini.
“Del,
kamu…. udah punya pacar?” tanyanya tiba-tiba.
Aku
menatapnya. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?”
“Cuma
pingin tahu! Itupun kalau kamu nggak keberatan jawab,”
“Emangnya
masih penting ya buat kamu? Kita kan udah pisah 4 tahun,” ucapku.
“Jujur…
iya! Masih penting banget buatku, karena 4 tahun ini aku nggak bisa berhenti
mikirin kamu,” jawabnya.
Aku
terdiam sejenak, tak tahu harus bicara apa.
“Aku…
balik dulu Vin! udah malam, aku harus tidur, aku harus fit untuk pertandingan
pertama besok!” ucapku akhirnya, seraya berdiri.
Davin
memegang tanganku. “Kamu nggak mau jawab pertanyaanku?” tanyanya.
Aku
diam dan menarik tanganku. “Selamat malam!” ucapku seraya melangkah menjauhi
Davin menuju kamarku.
Sebenarnya aku juga belum bisa melupakan Davin sampai
saat ini. Aku masih mencintainya. Tapi saat ini aku tak ingin membicarakannya. Entahlah!
Akhirnya Sea Games berakhir. Ini hari terakhirku berada
di Jakarta. Besok kita akan kembali ke asal masing-masing.
“Adella,
aku ingin bicara!” ucap Davin setelah makan malam.
“Ada
apa?” tanyaku.
Davin
mengajakku ke taman hotel.
“Del,
aku ingin kamu jawab jujur pertanyaanku.” Ucap Davin. “Apa kamu masih
mencintaiku?”
Aku hanya diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Apa aku
harus jujur mengatakan padanya bahwa aku masih sangat mencintainya?
“Del,
please jawab pertanyaanku jujur!” pintanya seraya memegang tanganku.
Aku
menarik nafas pendek. “Jujur, aku masih sangat mencintaimu Vin! Seperti dulu, nggak
berubah.” Jawabku pelan.
“Jadi,
kamu mau kan jadi pacarku lagi?” tanyanya.
“Apa
kamu yakin kita bisa menjalani hubungan di tempat yang berbeda? Apa kamu yakin
kita akan baik-baik saja kalau kita nggak pernah bertemu?” tanyaku.
“Kita
pernah memutuskan hubungan karena alasan itu Del. Dan menurutmu, apa kita
baik-baik saja berpisah hanya karena jarak?” Davin balas bertanya.
Aku
tak menjawab.
“Aku
nggak merasa baik-baik saja setelah kita berpisah, Del. Aku selalu memikirkanmu!
Dan aku menyesal waktu itu kita putus, sementara aku masih sangat mencintai
kamu.” Ucap Davin.
“Tapi
bagaimana cara kita berhubungan kalau kita tinggal di tempat yang berbeda? Cuma
lewat telepon? Atau online? Bagaimana kalau aku pingin ketemu kamu? Masa aku
punya pacar nggak nyata?” tanyaku.
Davin
tertawa kecil. “Soal itu gampang Sayang, aku bisa kok sewaktu-waktu ngunjungin
kamu!” jawabnya.
“Kayak
kamu punya banyak waktu aja!” sahutku.
Davin
tertawa lagi. “Itu bisa diatur nanti. Yang penting sekarang, kamu mau nggak
jadi pacarku lagi?” tanyanya.
Aku
berpikir sejenak. “Mmm….. ya deh, aku mau!” jawabku akhirnya.
Davin
tersenyum senang seraya mencium tanganku.
“Tapi
janji ya, kamu akan ngunjungin aku!” pintaku.
“Iya,
janji! Kalau perlu, musim depan aku akan ikut seleksi di tim kotamu lagi, biar
kita bisa sama-sama terus.”
“Bener?”
tanyaku.
Davin
mengangguk mantap.
Aku tersenyum senang.
Hh….akhirnya
aku menemukan kembali cintaku yang telah hilang 4 tahun. Rasanya semua beban di
hatiku tlah hilang.
Ternyata
kalau cinta sudah memanggil, kemana pun kita pergi atau seberapa keras pun kita
berusaha menolak. Cinta akan tetap menarik kita dalam dekapannya yang kuat.
~~~
By:
Cepi R Dini
1 komentar:
cerita ini sangat lah butuh kedewasaan yg harus ditumbuhkan dalam jiwa si tokoh utama wanita tersebut. So... I like this :)
Posting Komentar