Senin, 22 Oktober 2012

Senja Perpisahan

              Deburan ombak membasahi kakiku. Aku masih terus berjalan di tepi pantai, tanpa tahu harus kemana. Aku memang sedang  ingin menenangkan hati dan pikiranku dari kekalutan yang tak jelas selama ini.

        Aku duduk di pinggir pantai setelah lelah berjalan. Sapuan ombak di bibir pantai masih terus membasahi kaki dan celanaku, tapi aku tak peduli.
“Nggak capek, main basah-basahan terus?” tanya Dilas yang sudah berdiri di sampingku.
 Aku tersenyum kecil menanggapi ucapan Dilas. Dia balas tersenyum lalu duduk di sampingku dan memberikan sekaleng softdrink.
“Makasih ya, udah mau nganter aku kesini.” ucapku.
“It’s oke! Lagian, aku juga seneng kok main pantai.” balasnya.
“Yeah… meskipun pantai ini agak rame, tapi sepertinya bisa juga sedikit menenangkan hatiku,” ucapku lagi.
“Kapan-kapan kita ke Anyer! Disana suasananya lebih enak, kamu bisa puas nenangin diri.”
“Hh… kalau aja Anyer nggak di Banten!” balasku.
“Emang kenapa kalau Anyer di Banten?” Dilas balik nanya.
“Kan jauh, Mas!” balasku.
“Iya sih, tapi nggak masalah! Kadang-kadang kalau aku suntuk, aku juga kesana kok!”
“Ha? Yang bener? Naik apa?”
“Yeah… apa lagi? Motor dong!” jawabnya.
“Ha..? Motor ? Berapa lama?”
“Aku sih nggak pernah ngitung, yang penting aku bisa nyampe’ sana.” jawabnya.
Aku tersenyum kecil mendengar kegilaan Dilas.
“Emang masalah apa sih yang bikin kamu ingin kabur ke sini?” tanya Dilas.
Aku menarik nafas. “Setiap orang kan pasti punya masalah, Las. Aku sendiri kurang begitu ngerti masalah apa sebenarnya yang jadi beban di hatiku,” jawabku.
“Yeah… kadang-kadang aku juga suka gitu, sih,” balas Dilas.
Aku tersenyum kecil. “Pulang yuk! Udah sore nih, kita udah seharian disini.” ajakku.
“Bener mau pulang? Udah tenang beneran?” tanya Dilas.
 Aku mengangguk.
“Ya udah, ayo deh!” ucapnya seraya membantuku berdiri.
 Dan kami meninggalkan pantai yang ombaknya masih terus berdebur.

            Nara cengengesan menyambutku yang baru saja turun dari boncengan motor Dilas, tepat di depan pintu gerbang sekolah.
“Kenapa ketawa?” tanyaku heran sambil terus berjalan memasuki sekolah diikuti Nara.
“Gebetan baru ya? Boleh juga tuh! Keren lho!” ucapnya.
“Ngeres banget sih pikiranmu!”
“Trus, siapa dong?”
“Dia tetangga baruku. Kata mama sih, masih ada hubungan saudara.” jawabku seraya masuk kelas dan meletakkan tasku.
 Nara mengikuti jejakku. “Jadi cuma teman?” tanya Nara lagi.
Aku mengangguk.
“Kenapa nggak di gebet aja?” Nara berucap lagi.
 Aku menggeleng keras. “Aku kan nggak kayak kamu, di otak yang ada cuma cowok melulu!” balasku.
“Ehm… ngerti deh..! kan udah ada Dandit.” seloroh Nara lagi.
            Aku langsung terdiam mendengar nama Dandit.
 Dandit. Sosok yang pernah singgah dalam hatiku, walaupun tanpa hubungan resmi. Kulitnya yang coklat dan profesinya sebagai soccer player membuatku luluh dalam senyum dan sapaannya. Tapi, ah… saat ini aku ingin membuang perasaanku jauh-jauh. Walaupun aku tak pernah menyalahkan takdir yang mempertemukanku dengannya. Karena pertemuan itu merupakan kesalahan yang indah, meski aku tahu kami takkan bisa bersama.
“Divina… kok diam?” tegur Nara.
 Aku tersadar dan tersenyum.
“Sorry…kalau kata-kataku…”
“Nggak apa-apa, aku baik aja kok! Semua sudah berlalu,” potongku sambil tersenyum.
 Nara hanya diam. Sepertinya, dia merasa sangat bersalah.

            “Oke guys…! Kayaknya cuma waktu nih yang memisahkan kita. So..sampai disini dulu deh, Gelaran Lovely kita minggu ini. Kita bakal ketemu lagi di acara yang sama next week. So…bye-bye..! Eh, sebelumnya kalian dengerin dulu lagu dari si ganteng jebolan American Idol ini, Adam Lambert with Time For Miracle,” ucapku menutup acara dan memutar lagu.
            Aku keluar dari ruang siaran. Digantikan Nicho yang akan siaran sesudah aku di acara Getar Ramalan. “Eh..Dilas, tumben main! Ada apa?” tanyaku langsung, begitu melihat Dilas udah nongkrong di ruang tamu sambil baca-baca majalah.
“Pingin aja ngerti tempat kerja kamu! Keberatan?” balasnya.
Aku menggeleng. Lalu duduk di sampingnya.
“Enak ya kamu, masih sekolah udah bisa cari duit sendiri,” ucap Dilas.
“Kamu juga kan! Malah pekerjaan kamu lebih bermanfaat. Kalau nggak ada orang-orang macam kamu, mana ada berita?!” balasku.
 Dilas cuma smile. “Aku kan cuma wartawan freelance,” sahut Dilas.
“Apa sekolahmu nggak terganggu dengan jadi wartawan?” tanyaku.
“Kamu sendiri gimana?”
“Kalau penyiar kan ada jadwalnya, kalau wartawan kan sewaktu-waktu ada kejadian yang perlu diliput,”
“Aku biasanya cuma meliput kegiatan kok, bukan peristiwa.” balas Dilas.
Aku mengangguk mengerti.
“Abis ini kamu ada siaran lagi?” tanya Dilas.
 Aku menggeleng.
“Ikut aku yuk! ngeliput sepak bola,” ajak Dilas.
“Sekarang?” tanyaku.  
Dilas mengangguk.
“Emang aku bisa ikut ngeliput?” tanyaku.
“Aku kan punya kartu pers,” jawab Dilas.
“Iya kamu, t’rus aku?”
“Bisa kok, tenang aja..!” jawab Dilas “Ntar kamu bantuin aku ngerekam buat dokumentasi ya!” tambahnya.
Aku mengangguk mantap. Kami langsung meluncur ke stadion.

            Dilas sibuk berkutat dengan kamera digitalnya. Memotret kejadian-kejadian menarik selama pertandingan. Sedang aku juga sibuk dengan handycam yang kubawa.
            Pertandingan berakhir dengan scor 2-1 untuk tim tuan rumah. Para pemain mulai meninggalkan lapangan. Dilas langsung melakukan wawancara dengan kapten tim, Dandit.
“Las, sorry aku ke belakang dulu!” pamitku seraya menyerahkan handycam yang kupegang pada Dilas dan langsung kabur dari tempat itu.
Aku nggak sanggup bertatap muka dengan Dandit. Setidaknya, untuk saat ini aku masih belum bisa bertemu Dandit. Aku masih belum bisa menerima kenyataan tentang cinta kami berdua yang nggak mungkin bisa bersatu.

            Senja mulai turun, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Para pengunjung pantai sudah mulai habis. Aku berdiri di tepi pantai ditemani deburan ombak.
“Jadi, bagaimana keputusanmu?” tanya Dandit dari belakangku.
“Jawaban apa lagi yang kamu mau? Kita nggak bisa bersatu,” jawabku tanpa menoleh.
  Tiba-tiba kurasakan pelukan Dandit dari belakang.
“Tapi aku mencintaimu,” bisik Dandit.
“Kamu pikir aku nggak mencintaimu? Aku juga mencintaimu Dit! Tapi ini sudah takdir kita, kita nggak mungkin bisa bersama. Perbedaan kita sangat vital Dit!” balasku.
Dandit mendesah lirih. “Lalu, apakah kita harus berpisah?” tanya Dandit.
Aku menarik nafas.“Itu jalan terbaik bagi kita, sebelum semua semakin jauh.” balasku lirih.
“Bagaimanapun, kita nggak bisa berjalan bersama dalam keyakinan yang berbeda” tambahku.
“Hh…baiklah kalau itu yang terbaik,” desahnya. “Bolehkah aku menghabiskan malam ini bersamamu?”
“Andai esok tak pernah datang, aku ingin sekalih selamanya denganmu.” balasku.
            Dandit merapatkan pelukannya. Sang surya sudah benar-benar tenggelam. Kami larut  dalam buaian angin kencang dan deburan ombak. Dandit memelukku seakan tak ingin melepasku lagi. Hh….andai saja bisa…!

By Cepi R. Dini

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates