Deburan ombak
membasahi kakiku. Aku masih terus berjalan di tepi pantai, tanpa tahu harus
kemana. Aku memang sedang ingin menenangkan
hati dan pikiranku dari kekalutan yang tak jelas selama ini.
Aku
duduk di pinggir pantai setelah lelah berjalan. Sapuan ombak di bibir pantai
masih terus membasahi kaki dan celanaku, tapi aku tak peduli.
“Nggak capek,
main basah-basahan terus?” tanya Dilas yang sudah berdiri di sampingku.
Aku tersenyum kecil menanggapi ucapan Dilas. Dia
balas tersenyum lalu duduk di sampingku dan memberikan sekaleng softdrink.
“Makasih ya, udah
mau nganter aku kesini.” ucapku.
“It’s oke!
Lagian, aku juga seneng kok main pantai.” balasnya.
“Yeah… meskipun
pantai ini agak rame, tapi sepertinya bisa juga sedikit menenangkan hatiku,” ucapku
lagi.
“Kapan-kapan
kita ke Anyer! Disana suasananya lebih enak, kamu bisa puas nenangin diri.”
“Hh… kalau aja
Anyer nggak di Banten!” balasku.
“Emang kenapa
kalau Anyer di Banten?” Dilas balik nanya.
“Kan jauh, Mas!”
balasku.
“Iya sih, tapi
nggak masalah! Kadang-kadang kalau aku suntuk, aku juga kesana kok!”
“Ha? Yang bener?
Naik apa?”
“Yeah… apa lagi?
Motor dong!” jawabnya.
“Ha..? Motor ?
Berapa lama?”
“Aku sih nggak
pernah ngitung, yang penting aku bisa nyampe’ sana.” jawabnya.
Aku tersenyum
kecil mendengar kegilaan Dilas.
“Emang masalah
apa sih yang bikin kamu ingin kabur ke sini?” tanya Dilas.
Aku menarik
nafas. “Setiap orang kan pasti punya masalah, Las. Aku sendiri kurang begitu
ngerti masalah apa sebenarnya yang jadi beban di hatiku,” jawabku.
“Yeah… kadang-kadang
aku juga suka gitu, sih,” balas Dilas.
Aku tersenyum
kecil. “Pulang yuk! Udah sore nih, kita udah seharian disini.” ajakku.
“Bener mau
pulang? Udah tenang beneran?” tanya Dilas.
Aku mengangguk.
“Ya udah, ayo
deh!” ucapnya seraya membantuku berdiri.
Dan kami meninggalkan pantai yang ombaknya
masih terus berdebur.
Nara
cengengesan menyambutku yang baru saja turun dari boncengan motor Dilas, tepat
di depan pintu gerbang sekolah.
“Kenapa ketawa?”
tanyaku heran sambil terus berjalan memasuki sekolah diikuti Nara.
“Gebetan
baru ya? Boleh juga tuh! Keren lho!” ucapnya.
“Ngeres banget
sih pikiranmu!”
“Trus, siapa
dong?”
“Dia tetangga
baruku. Kata mama sih, masih ada hubungan saudara.” jawabku seraya masuk kelas
dan meletakkan tasku.
Nara mengikuti jejakku. “Jadi cuma teman?” tanya
Nara lagi.
Aku mengangguk.
“Kenapa nggak di
gebet aja?” Nara berucap lagi.
Aku menggeleng keras. “Aku kan nggak kayak
kamu, di otak yang ada cuma cowok melulu!” balasku.
“Ehm… ngerti
deh..! kan udah ada Dandit.” seloroh Nara lagi.
Aku
langsung terdiam mendengar nama Dandit.
Dandit. Sosok yang pernah singgah dalam
hatiku, walaupun tanpa hubungan resmi. Kulitnya yang coklat dan profesinya
sebagai soccer player membuatku luluh
dalam senyum dan sapaannya. Tapi, ah… saat ini aku ingin membuang perasaanku
jauh-jauh. Walaupun aku tak pernah menyalahkan takdir yang mempertemukanku
dengannya. Karena pertemuan itu merupakan kesalahan yang indah, meski aku tahu
kami takkan bisa bersama.
“Divina… kok
diam?” tegur Nara.
Aku tersadar dan tersenyum.
“Sorry…kalau
kata-kataku…”
“Nggak apa-apa, aku
baik aja kok! Semua sudah berlalu,” potongku sambil tersenyum.
Nara hanya diam. Sepertinya, dia merasa sangat
bersalah.
“Oke
guys…! Kayaknya cuma waktu nih yang memisahkan kita. So..sampai disini dulu deh,
Gelaran Lovely kita minggu ini. Kita bakal ketemu lagi di acara yang sama next
week. So…bye-bye..! Eh, sebelumnya kalian dengerin dulu lagu dari si ganteng
jebolan American Idol ini, Adam Lambert with Time For Miracle,” ucapku menutup
acara dan memutar lagu.
Aku
keluar dari ruang siaran. Digantikan Nicho yang akan siaran sesudah aku di
acara Getar Ramalan. “Eh..Dilas, tumben main! Ada apa?” tanyaku langsung,
begitu melihat Dilas udah nongkrong di ruang tamu sambil baca-baca majalah.
“Pingin aja
ngerti tempat kerja kamu! Keberatan?” balasnya.
Aku menggeleng.
Lalu duduk di sampingnya.
“Enak ya kamu, masih
sekolah udah bisa cari duit sendiri,” ucap Dilas.
“Kamu juga kan!
Malah pekerjaan kamu lebih bermanfaat. Kalau nggak ada orang-orang macam kamu, mana
ada berita?!” balasku.
Dilas cuma smile. “Aku kan cuma wartawan
freelance,” sahut Dilas.
“Apa sekolahmu
nggak terganggu dengan jadi wartawan?” tanyaku.
“Kamu sendiri
gimana?”
“Kalau penyiar
kan ada jadwalnya, kalau wartawan kan sewaktu-waktu ada kejadian yang perlu
diliput,”
“Aku biasanya
cuma meliput kegiatan kok, bukan peristiwa.” balas Dilas.
Aku mengangguk
mengerti.
“Abis ini kamu
ada siaran lagi?” tanya Dilas.
Aku menggeleng.
“Ikut aku yuk! ngeliput
sepak bola,” ajak Dilas.
“Sekarang?” tanyaku.
Dilas
mengangguk.
“Emang aku bisa
ikut ngeliput?” tanyaku.
“Aku kan punya
kartu pers,” jawab Dilas.
“Iya kamu, t’rus
aku?”
“Bisa kok, tenang
aja..!” jawab Dilas “Ntar kamu bantuin aku ngerekam buat dokumentasi ya!” tambahnya.
Aku mengangguk
mantap. Kami langsung meluncur ke stadion.
Dilas
sibuk berkutat dengan kamera digitalnya. Memotret kejadian-kejadian menarik
selama pertandingan. Sedang aku juga sibuk dengan handycam yang kubawa.
Pertandingan berakhir
dengan scor 2-1 untuk tim tuan rumah. Para pemain mulai meninggalkan lapangan. Dilas
langsung melakukan wawancara dengan kapten tim, Dandit.
“Las, sorry aku
ke belakang dulu!” pamitku seraya menyerahkan handycam yang kupegang pada Dilas
dan langsung kabur dari tempat itu.
Aku nggak
sanggup bertatap muka dengan Dandit. Setidaknya, untuk saat ini aku masih belum
bisa bertemu Dandit. Aku masih belum bisa menerima kenyataan tentang cinta kami
berdua yang nggak mungkin bisa bersatu.
Senja
mulai turun, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Para pengunjung pantai
sudah mulai habis. Aku berdiri di tepi pantai ditemani deburan ombak.
“Jadi, bagaimana
keputusanmu?” tanya Dandit dari belakangku.
“Jawaban apa
lagi yang kamu mau? Kita nggak bisa bersatu,” jawabku tanpa menoleh.
Tiba-tiba
kurasakan pelukan Dandit dari belakang.
“Tapi aku
mencintaimu,” bisik Dandit.
“Kamu pikir aku
nggak mencintaimu? Aku juga mencintaimu Dit! Tapi ini sudah takdir kita, kita
nggak mungkin bisa bersama. Perbedaan kita sangat vital Dit!” balasku.
Dandit mendesah
lirih. “Lalu, apakah kita harus berpisah?” tanya Dandit.
Aku menarik
nafas.“Itu jalan terbaik bagi kita, sebelum semua semakin jauh.” balasku lirih.
“Bagaimanapun, kita
nggak bisa berjalan bersama dalam keyakinan yang berbeda” tambahku.
“Hh…baiklah
kalau itu yang terbaik,” desahnya. “Bolehkah aku menghabiskan malam ini
bersamamu?”
“Andai esok tak
pernah datang, aku ingin sekalih selamanya denganmu.” balasku.
Dandit
merapatkan pelukannya. Sang surya sudah benar-benar tenggelam. Kami larut dalam buaian angin kencang dan deburan ombak.
Dandit memelukku seakan tak ingin melepasku lagi. Hh….andai saja bisa…!
By Cepi R. Dini
0 komentar:
Posting Komentar