Kamis, 25 Oktober 2012

Hari Minggu Terakhir


Minggu pagi yang cerah. Aku memasukkan pakaian terakhirku ke dalam travel bag super besar. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamarku. Kamar yang kutempati sejak lima tahun terakhir. Tempatku menghabiskan banyak sekali waktuku untuk menyendiri, mengerjakan tugas sekolah, atau sekedar menonton televisi atau bercengkerama dengan laptop kesayanganku. Rasanya berat harus berpisah dengan kamar ini. Selama ini, kamar inilah yang selalu menjadi saksi semua kisahku. Saat senang, sedih, ataupun marah. Tempat perlindunganku yang nyaman.

Ah… tak ada gunanya memikirkan kamar yang harus kutinggalkan. Lebih baik aku meneruskan acara berkemasku. Masih banyak barang-barang yang harus kumasukkan ke dalam travel bag. Semua buku-buku kesayangan dan benda-benda yang memenuhi kamarku harus selesai dikemas hari ini juga. Karena aku tak punya banyak waktu, aku harus cepat-cepat menyelesaikan semuanya.

Huft… akhirnya pekerjaanku hampir selesai. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang hampir kosong. Tinggal satu tempat lagi dan semua akan beres. Tinggal mengemasi semua yang ada di meja belajar.
Aku melangkah menuju meja belajarku dan mulai membuka lemari kecil di bagian bawah meja belajarku yang sudah lama tak kubuka. Isinya buku-buku lama dan tumpukan album foto. Sepertinya album foto masa SMP dulu.
Hm… sudah lama aku tidak menengok album foto ini. Kuambil salah satu album dan mulai membuka-buka tiap halamannya. Masa-masa SMP yang ceria jadi teringat kembali. Wajah teman-temanku dengan berbagai macam gaya muncul secara bergantian. Wajah-wajah yang polos danmenyenangkan. Hh… bagaimana ya kabar mereka sekarang? Aku jadi merasa kangen. Bisakah aku bertemu mereka lagi suatu saat nanti?
Gerakan tanganku yang sedang membolak-balik halaman album foto terhenti ketika mataku menangkap gambar sesosok lelaki yang dulu pernah sangat dekat denganku.
Rio, teman sekelasku waktu SMP. Waktu SMP kami dekat karena sama-sama suka nonton sepak bola. Tapi kami juga kerap bertengkar karena membela klub idola kami masing-masing. Rio sangat mengidolakan Manchester United, sementara aku penggemar berat Arsenal. Tapi sehebat apapun pertengkaran kami, setelah itu kami pasti baikan lagi. Tak pernah ada dendam diantara kami.
Sampai suatu hari, hubungan kami menjadi renggang. Itu semua karena kesalahanku. Kesalahan yang sampai kini masih terus kusesali. Sejak lulus SMP kami tak pernah bertemu lagi sampai sekarang. Kami bersekolah di SMA yang berbeda. Hingga kini, aku tak pernah sempat meminta maaf pada Rio.
Tak terasa air mataku mengalir deras. Ya Tuhan, aku sangat merindukan Rio. Aku sangat menyukai Rio. Hingga kini perasaanku tak pernah berubah. Dan sebentar lagi aku akan pergi jauh. Aku tak bisa bertemu Rio lagi mungkin untuk selamanya.
Aku sangat ingin bertemu Rio meski hanya sekali. Aku ingin meminta maaf padanya atas kesalahanku yang dulu membuat hubungan kami menjadi jauh. Aku juga ingin Rio tahu bahwa aku menyukainya.
Aku menghapus air mataku. Tidak! Aku tidak boleh hanya menangis di sini tanpa melakukan apapun. Bagaimana pun, aku harus menemui Rio. Aku masih punya sedikit waktu. Aku harus bertemu dan bicara dengan Rio.
Cepat-cepat kuselesaikan urusan berkemasku. Aku tak punya banyak waktu. Aku harus segera menemui Rio.

Aku cepat-cepat berlari menuruni tangga kamarku menuju ruang tengah setelah urusan berkemasku selesai.
“Mau ke mana Ocean?” tanya mamaku begitu melihatku hendak melangkah keluar rumah.
“Ada urusan sebentar, Ma.” Jawabku tanpa menghentikan langkahku.
“Pulangnya jangan malam-malam ya! Kita berangkat pukul tujuh,” pesan Mama.
“Iya,” sahutku seadanya seraya berlari keluar rumah dan mengambil sepeda dari garasi.
Aku mengayuh sepedaku menuju rumah Rio yang berjarak dua blok dari rumahku. Padahal rumah Rio begitu dekat. Kenapa baru sekarang aku kepikiran untuk menemuinya? Kenapa tidak dari dulu-dulu saat aku masih punya banyak waktu di sini? Kenapa justru di saat terakhir?
Aku turun dari sepedaku dan melangkah menuju teras rumah Rio. Aku memencet bel di samping pintu. Satu kali… dua kali… tak ada sahutan dari dalam. Apa semua penghuninya keluar? Tapi pintu gerbangnya terbuka. Jadi pasti ada orang.
Sekali lagi kupencet bel di samping pintu. Kali ini aku mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Tak lama, pintu dibuka oleh seorang wanita cantik yang aku masih ingat sebagai mama Rio.
“Maaf mengganggu Tante. Saya Ocean, teman SMP Rio. Saya mencari Rio. Rio ada?” tanyaku langsung.
“Ocean yang dulu sering main ke sini?” ternyata mama Rio masih mengingatku.
Aku tersenyum. “Iya Tante.” Jawabku.
“Ya ampun… sudah lama tidak main. Tambah cantik saja!” serunya. “Tante dengar, kalian sekeluarga mau pindah ya?”
“Iya Tante. Makanya saya mencari Rio. Saya ingin menyampaikan sesuatu,” jawabku jujur.
“Aduh… Rio tidak ada. Rio latihan sepak bola sejak tadi pagi.” Balas mama Rio. “Coba kamu cari di tempat latihannya. Mungkin Rio masih ada di sana. Sebentar lagi ada pertandingan penting, jadi porsi latihannya di tambah.”
Aku mengangguk dan tersenyum. “Baiklah Tante. Akan saya cari,” ucapku akhirnya. “Permisi Tante. Maaf mengganggu,” pamitku.
“Tidak mengganggu, kok. Tante senang bisa melihat Ocean lagi,” balas mama Rio.
Aku tersenyum manis dan setelah berpamitan untuk kali terakhir, aku melangkah keluar dari teras rumah Rio dan mengayuh sepedeku menuju MU International Football School, tempat Rio berlatih sepak bola sejak kelas satu SMP.

Aku memarkir sepedaku di halaman gedung MU International Football School. Perlahan aku melangkah memasuki gerbang bangunan yang mirip stadion itu. Ternyata di dalam sudah sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang masih berkeliaran.
“Maaf. Permisi,” ucapku pada seorang lelaki berseragam MU yang lewat di depanku. Tampaknya ia seumuran denganku.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Saya mencari Rio.” Jawabku.
Lelaki itu tampak berpikir sejenak, kemudian bertanya, “Rio yang mana? Di sini banyak yang bernama Rio.”
“Namanya Rio Hamada. Dia keturunan Jepang. Berkulit putih dan bermata sipit. Kau mengenalnya?”
“Oh… Rio yang itu,” sahut lelaki itu. “Baru saja dia pergi. Latihannya sudah selesai.”
Aku mengehela nafas kecewa. “Jadi dia sudah pulang?” tanyaku seolah minta penegasan.
“Sepertinya tidak,” sahut lelaki itu lagi. “Dia bilang, dia tidak akan langsung pulang. Katanya dia mau ke suatu tempat dulu,” tambahnya.
“Begitu ya,” gumamku. “Baiklah, saya pergi dulu. Terima kasih atas bantuannya,” pamitku.
“Bukan apa-apa.” Balasnya.
Aku tersenyum dan mengucapkan permisi. Kemudian melangkah meninggalkan gedung MU International Football School menuju sepedaku yang terparkir di halaman. Rio, kamu di mana?

Aku menghentikan laju sepedaku di sebuah taman yang terletak di dalam perumahan tempat tinggalku. Setelah berputar-putar, aku tetap tak bisa menemukan Rio.
Aku memarkirkan sepedaku dan melangkah menuju sebuah bangku di tengah taman. Di depanku terdapat sebuah lapangan yang cukup luas. Lapangan itu biasa digunakan anak-anak bermain sepak bola atau softball.
Sudah sore. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Mama sudah berpesan agar aku pulang tak terlalu malam. Tapi aku belum menemukan Rio. Apa itu artinya aku harus pergi tanpa bisa melihat Rio untuk kali terakhir?

Pandanganku lurus menatap lapangan di hadapanku. Dua tahun yang lalu, aku bertemu Rio di sini. Aku melihat Rio sedang berlatih tendangan penalty seorang diri saat aku bersepeda sore. Iseng aku menghentikan laju sepedaku dan melagkah mendekati Rio untuk melihatnya berlatih dari dekat. Tapi begitu melihatku, Rio justru memintaku menemaninya berlatih.
“Daripada kamu cuma merusak pemandangan dan mengganggu konsentrasiku, lebih baik kamu membantuku berlatih.” Ucapnya menyebalkan.
Tapi aku tidak merasa tersinggung atas ucapan Rio dan malah bertanya, “Memangnya apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Kamu bisa menjadi penjaga gawang untukku. Bagaimana pun, berlatih tendangan penalty tanpa penjaga gawang rasanya kurang lengkap.” Jawabnya.
“Tapi aku bukan penjaga gawang yang handal,” balasku. “Kurasa aku tidak akan banyak membantu.”
“Tidak apa-apa. Lebih baik daripada tidak ada penjaga gawang sama sekali.” Balas Rio.
Aku berpikir sejenak dan akhirnya setuju untuk membantu Rio dengan menjadi penjaga gawang untuknya.
Setelah itu, hampir setiap sore aku membantu Rio berlatih di lapangan ini. Sampai akhirnya beredar gosip di sekolah yang mengatakan aku dan Rio pacaran. Karena tidak tahan terus diledek teman-temanku, aku memutuskan tidak akan membantu Rio berlatih lagi. Aku pun tak pernah bersepeda sore melewati taman lagi sejak saat itu.
Aku tak tahu kenapa aku bersikap begitu. Padahal sebenarnya gosip itu tidak benar-benar menggangguku. Aku sangat menyukai Rio. Dan menjadi pacar Rio adalah keinginan terbesarku. Sepertinya saat itu aku tidak berpikir dengan benar. Gara-gara kejadian itu, hubunganku dan Rio jadi menjauh.
Andai saja saat itu aku tidak memedulikan gosip itu dan tetap membantu Rio berlatih, mungkin hubunganku dan Rio akan tetap baik sampai saat ini. Bahkan mungkin aku sudah menjadi pacar Rio. Dasar Ocean bodoh!

Senja mulai turun. Langit sudah semakin gelap. Sepertinya aku harus pulang tanpa bisa bertemu Rio. Ya sudahlah! Aku sudah berusaha. Kalau memang aku tak ditakdirkan bertemu Rio lagi, apa boleh buat.
Bohong! Sebenarnya tak semuadah itu berkata Apa boleh buat. Aku sangat ingin bertemu Rio. Aku tak bisa menahan perasaanku.
“Ocean! Kau kah itu?”
Aku menoleh mendengar suara yang sangat kukenal dan tak pernah kulupakan seumur hidupku. “Rio,” desahku pelan.
Seolah tak percaya aku melihat Rio berdiri di hadapanku. Apakah ini mimpi?
Rio berjalan mendekatiku dan langsung memelukku. Aku hanya diam tak bergerak. Membiarkan tubuhku berada dalam pelukan Rio. Detak jantungnya, aroma tubuhnya, lengan kekarnya. Semua hal yang sangat kusukai dan selama ini kurindukan, kini ada di dekatku.
“Ke mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana!” serunya tanpa melepaskan pelukannya. “Aku merindukanmu tahu! Aku tak bisa membiarkanmu pergi begitu saja!” Rio terus mengomel.
Aku diam dalam pelukan Rio. Sama sekali tak membalas ucapan Rio.
“Kenapa kau diam saja?” tanyanya seraya melepaskan pelukannya.
Aku menengadah menatap wajah Rio. “Aku mencarimu,” ucapku. “Tapi aku tak menemukanmu. Aku…”
Aku tak meneruskan kata-kataku. Air mataku mengalir deras. Aku benar-benar tak bisa menahan perasaanku.
“Jangan menangis,” ucap Rio lembut seraya mengusap air mataku. “Maafkan aku,”
Aku menggeleng keras. “Aku… aku yang harus minta maaf. Dua tahun lalu, seharusnya aku datang untuk menemanimu latihan. Tapi aku tidak datang. Padahal aku sudah janji. Aku…”
Rio meletakkan jarinya di bibirku. “Sudahlah. Aku tak pernah mempermasalahkannya,” ucapnya. “Jadi, kapan kau akan pergi?” tanyanya kemudian.
“Jam tujuh malam. Sebentar lagi,” jawabku pelan.
"Dan kau tidak akan kembali?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan. “Sepertinya begitu,” sahutku. “Kau tahu kan, kontrak kerja papaku di sini sudah habis. Mau tidak mau kami harus kembali ke London.”
“Yeah, aku tahu.” desah Rio. “Makanya aku tadi mati-matian mencarimu. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Aku harus bertemu denganmu,”
“Bagaimana kau tahu aku pergi hari ini?” tanyaku.
Rio tersenyum. “Gosip cepat menyebar di sini,” sahutnya santai.
Aku tersenyum kecil. Benar juga. Sepertinya hampir semua warga perumahan tempat tinggalku mengetahui rencana kepergianku.
“Aku menyukaimu,”
Aku terperangah mendengar ucapan Rio. Aku menatap matanya tajam.
“Aku menyukaimu sejak dulu,” ucapnya lagi. “Maaf baru mengatakannya sekarang. Di hari terakhir kebersamaan kita.”
“Kamu curang!” seruku.
Rio menatapku tak mengerti.
“Aku kan juga mau mengatakan itu. Tapi kamu menduluiku,” ucapku.
Rio tertawa dan kembali meraihku dalam pelukannya. “Aku akan menyusulmu,” ucapnya.
“Eh?”
“Aku akan berusaha keras menjadi pemain sepak bola yang hebat. Aku akan menjadi pemain MU. Aku akan menyusulmu.” Ucap Rio penuh tekad.
“Tapi aku pulang ke London, bukan Manchester.” Sahutku lugu.
“Tapi kan sama-sama Inggris,” balas Rio. “Kau tahu kan, impianku sejak dulu ingin bermain untuk MU. Kau mau menungguku, kan?”
“Kenapa kamu tidak bermain di Arsenal saja? Aku kan tinggal di London,”
Rio menghela nafas dan menatapku lekat. “Ocean! Kau mau mengajakku bertengkar gara-gara klub sepak bola di hari terakhir kita bersama?” tanyanya.
Aku menggeleng dan tersenyum. “Aku cuma bercanda,” sahutku. “Aku akan menunggumu.”
“Bagus!” serunya. “Dengan mengetahui kau di sana menungguku, aku akan jadi lebih bersemangat.”
“Aku tahu kau pasti bisa meraih mimpimu, Rio. Aku akan tetap menunggumu di sana. Berjanjilah kau akan datang untukku,”
“Aku berjanji,” sahut Rio.
Langit senja semakin gelap. Aku tahu aku harus segera pulang. Sebentar lagi aku dan keluargaku harus pulang ke tempat asalku di London. Tapi saat ini, aku masih ingin berada di dalam pelukan Rio. Meski aku hanya punya sedikit waktu, bagiku tak masalah.
Meski aku tak akan kembali lagi ke Indonesia, aku bisa merasa tenang. Karena aku tahu Rio akan datang untukku. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi aku tahu ia pasti akan datang.


By: Cepi R. Dini

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates