Minggu pagi yang cerah. Aku
memasukkan pakaian terakhirku ke dalam travel
bag super besar. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamarku. Kamar
yang kutempati sejak lima tahun terakhir. Tempatku menghabiskan banyak sekali
waktuku untuk menyendiri, mengerjakan tugas sekolah, atau sekedar menonton
televisi atau bercengkerama dengan laptop kesayanganku. Rasanya berat harus
berpisah dengan kamar ini. Selama ini, kamar inilah yang selalu menjadi saksi
semua kisahku. Saat senang, sedih, ataupun marah. Tempat perlindunganku yang
nyaman.
Ah…
tak ada gunanya memikirkan kamar yang harus kutinggalkan. Lebih baik aku
meneruskan acara berkemasku. Masih banyak barang-barang yang harus kumasukkan
ke dalam travel bag. Semua buku-buku
kesayangan dan benda-benda yang memenuhi kamarku harus selesai dikemas hari ini
juga. Karena aku tak punya banyak waktu, aku harus cepat-cepat menyelesaikan
semuanya.
Huft…
akhirnya pekerjaanku hampir selesai. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru
kamar yang hampir kosong. Tinggal satu tempat lagi dan semua akan beres.
Tinggal mengemasi semua yang ada di meja belajar.
Aku
melangkah menuju meja belajarku dan mulai membuka lemari kecil di bagian bawah
meja belajarku yang sudah lama tak kubuka. Isinya buku-buku lama dan tumpukan
album foto. Sepertinya album foto masa SMP dulu.
Hm…
sudah lama aku tidak menengok album foto ini. Kuambil salah satu album dan
mulai membuka-buka tiap halamannya. Masa-masa SMP yang ceria jadi teringat
kembali. Wajah teman-temanku dengan berbagai macam gaya muncul secara bergantian.
Wajah-wajah yang polos danmenyenangkan. Hh… bagaimana ya kabar mereka sekarang?
Aku jadi merasa kangen. Bisakah aku bertemu mereka lagi suatu saat nanti?
Gerakan
tanganku yang sedang membolak-balik halaman album foto terhenti ketika mataku
menangkap gambar sesosok lelaki yang dulu pernah sangat dekat denganku.
Rio,
teman sekelasku waktu SMP. Waktu SMP kami dekat karena sama-sama suka nonton
sepak bola. Tapi kami juga kerap bertengkar karena membela klub idola kami
masing-masing. Rio sangat mengidolakan Manchester United, sementara aku
penggemar berat Arsenal. Tapi sehebat apapun pertengkaran kami, setelah itu
kami pasti baikan lagi. Tak pernah ada dendam diantara kami.
Sampai
suatu hari, hubungan kami menjadi renggang. Itu semua karena kesalahanku.
Kesalahan yang sampai kini masih terus kusesali. Sejak lulus SMP kami tak
pernah bertemu lagi sampai sekarang. Kami bersekolah di SMA yang berbeda.
Hingga kini, aku tak pernah sempat meminta maaf pada Rio.
Tak
terasa air mataku mengalir deras. Ya Tuhan, aku sangat merindukan Rio. Aku
sangat menyukai Rio. Hingga kini perasaanku tak pernah berubah. Dan sebentar
lagi aku akan pergi jauh. Aku tak bisa bertemu Rio lagi mungkin untuk
selamanya.
Aku
sangat ingin bertemu Rio meski hanya sekali. Aku ingin meminta maaf padanya
atas kesalahanku yang dulu membuat hubungan kami menjadi jauh. Aku juga ingin
Rio tahu bahwa aku menyukainya.
Aku
menghapus air mataku. Tidak! Aku tidak boleh hanya menangis di sini tanpa
melakukan apapun. Bagaimana pun, aku harus menemui Rio. Aku masih punya sedikit
waktu. Aku harus bertemu dan bicara dengan Rio.
Cepat-cepat
kuselesaikan urusan berkemasku. Aku tak punya banyak waktu. Aku harus segera
menemui Rio.
Aku
cepat-cepat berlari menuruni tangga kamarku menuju ruang tengah setelah urusan
berkemasku selesai.
“Mau
ke mana Ocean?” tanya mamaku begitu melihatku hendak melangkah keluar rumah.
“Ada
urusan sebentar, Ma.” Jawabku tanpa menghentikan langkahku.
“Pulangnya
jangan malam-malam ya! Kita berangkat pukul tujuh,” pesan Mama.
“Iya,”
sahutku seadanya seraya berlari keluar rumah dan mengambil sepeda dari garasi.
Aku
mengayuh sepedaku menuju rumah Rio yang berjarak dua blok dari rumahku. Padahal
rumah Rio begitu dekat. Kenapa baru sekarang aku kepikiran untuk menemuinya?
Kenapa tidak dari dulu-dulu saat aku masih punya banyak waktu di sini? Kenapa
justru di saat terakhir?
Aku
turun dari sepedaku dan melangkah menuju teras rumah Rio. Aku memencet bel di
samping pintu. Satu kali… dua kali… tak ada sahutan dari dalam. Apa semua
penghuninya keluar? Tapi pintu gerbangnya terbuka. Jadi pasti ada orang.
Sekali
lagi kupencet bel di samping pintu. Kali ini aku mendengar suara langkah kaki
dari dalam rumah. Tak lama, pintu dibuka oleh seorang wanita cantik yang aku
masih ingat sebagai mama Rio.
“Maaf
mengganggu Tante. Saya Ocean, teman SMP Rio. Saya mencari Rio. Rio ada?”
tanyaku langsung.
“Ocean
yang dulu sering main ke sini?” ternyata mama Rio masih mengingatku.
Aku
tersenyum. “Iya Tante.” Jawabku.
“Ya
ampun… sudah lama tidak main. Tambah cantik saja!” serunya. “Tante dengar,
kalian sekeluarga mau pindah ya?”
“Iya
Tante. Makanya saya mencari Rio. Saya ingin menyampaikan sesuatu,” jawabku
jujur.
“Aduh…
Rio tidak ada. Rio latihan sepak bola sejak tadi pagi.” Balas mama Rio. “Coba
kamu cari di tempat latihannya. Mungkin Rio masih ada di sana. Sebentar lagi
ada pertandingan penting, jadi porsi latihannya di tambah.”
Aku
mengangguk dan tersenyum. “Baiklah Tante. Akan saya cari,” ucapku akhirnya.
“Permisi Tante. Maaf mengganggu,” pamitku.
“Tidak
mengganggu, kok. Tante senang bisa melihat Ocean lagi,” balas mama Rio.
Aku tersenyum
manis dan setelah berpamitan untuk kali terakhir, aku melangkah keluar dari
teras rumah Rio dan mengayuh sepedeku menuju MU International Football School, tempat Rio berlatih sepak bola
sejak kelas satu SMP.
Aku
memarkir sepedaku di halaman gedung MU
International Football School. Perlahan aku melangkah memasuki gerbang
bangunan yang mirip stadion itu. Ternyata di dalam sudah sepi. Hanya ada
beberapa orang saja yang masih berkeliaran.
“Maaf.
Permisi,” ucapku pada seorang lelaki berseragam MU yang lewat di depanku. Tampaknya
ia seumuran denganku.
“Ya.
Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Saya
mencari Rio.” Jawabku.
Lelaki
itu tampak berpikir sejenak, kemudian bertanya, “Rio yang mana? Di sini banyak
yang bernama Rio.”
“Namanya
Rio Hamada. Dia keturunan Jepang. Berkulit putih dan bermata sipit. Kau
mengenalnya?”
“Oh…
Rio yang itu,” sahut lelaki itu. “Baru saja dia pergi. Latihannya sudah
selesai.”
Aku
mengehela nafas kecewa. “Jadi dia sudah pulang?” tanyaku seolah minta
penegasan.
“Sepertinya
tidak,” sahut lelaki itu lagi. “Dia bilang, dia tidak akan langsung pulang.
Katanya dia mau ke suatu tempat dulu,” tambahnya.
“Begitu
ya,” gumamku. “Baiklah, saya pergi dulu. Terima kasih atas bantuannya,”
pamitku.
“Bukan
apa-apa.” Balasnya.
Aku
tersenyum dan mengucapkan permisi. Kemudian melangkah meninggalkan gedung MU International Football School menuju
sepedaku yang terparkir di halaman. Rio, kamu di mana?
Aku
menghentikan laju sepedaku di sebuah taman yang terletak di dalam perumahan
tempat tinggalku. Setelah berputar-putar, aku tetap tak bisa menemukan Rio.
Aku
memarkirkan sepedaku dan melangkah menuju sebuah bangku di tengah taman. Di
depanku terdapat sebuah lapangan yang cukup luas. Lapangan itu biasa digunakan
anak-anak bermain sepak bola atau softball.
Sudah
sore. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Mama sudah berpesan agar aku pulang
tak terlalu malam. Tapi aku belum menemukan Rio. Apa itu artinya aku harus
pergi tanpa bisa melihat Rio untuk kali terakhir?
Pandanganku
lurus menatap lapangan di hadapanku. Dua tahun yang lalu, aku bertemu Rio di
sini. Aku melihat Rio sedang berlatih tendangan penalty seorang diri saat aku bersepeda sore. Iseng aku
menghentikan laju sepedaku dan melagkah mendekati Rio untuk melihatnya berlatih
dari dekat. Tapi begitu melihatku, Rio justru memintaku menemaninya berlatih.
“Daripada
kamu cuma merusak pemandangan dan mengganggu konsentrasiku, lebih baik kamu
membantuku berlatih.” Ucapnya menyebalkan.
Tapi
aku tidak merasa tersinggung atas ucapan Rio dan malah bertanya, “Memangnya apa
yang bisa kulakukan untukmu?”
“Kamu
bisa menjadi penjaga gawang untukku. Bagaimana pun, berlatih tendangan penalty tanpa penjaga gawang rasanya
kurang lengkap.” Jawabnya.
“Tapi
aku bukan penjaga gawang yang handal,” balasku. “Kurasa aku tidak akan banyak
membantu.”
“Tidak
apa-apa. Lebih baik daripada tidak ada penjaga gawang sama sekali.” Balas Rio.
Aku
berpikir sejenak dan akhirnya setuju untuk membantu Rio dengan menjadi penjaga
gawang untuknya.
Setelah
itu, hampir setiap sore aku membantu Rio berlatih di lapangan ini. Sampai akhirnya
beredar gosip di sekolah yang mengatakan aku dan Rio pacaran. Karena tidak
tahan terus diledek teman-temanku, aku memutuskan tidak akan membantu Rio
berlatih lagi. Aku pun tak pernah bersepeda sore melewati taman lagi sejak saat
itu.
Aku tak
tahu kenapa aku bersikap begitu. Padahal sebenarnya gosip itu tidak benar-benar
menggangguku. Aku sangat menyukai Rio. Dan menjadi pacar Rio adalah keinginan
terbesarku. Sepertinya saat itu aku tidak berpikir dengan benar. Gara-gara
kejadian itu, hubunganku dan Rio jadi menjauh.
Andai
saja saat itu aku tidak memedulikan gosip itu dan tetap membantu Rio berlatih,
mungkin hubunganku dan Rio akan tetap baik sampai saat ini. Bahkan mungkin aku
sudah menjadi pacar Rio. Dasar Ocean bodoh!
Senja
mulai turun. Langit sudah semakin gelap. Sepertinya aku harus pulang tanpa bisa
bertemu Rio. Ya sudahlah! Aku sudah berusaha. Kalau memang aku tak ditakdirkan
bertemu Rio lagi, apa boleh buat.
Bohong!
Sebenarnya tak semuadah itu berkata Apa
boleh buat. Aku sangat ingin bertemu Rio. Aku tak bisa menahan perasaanku.
“Ocean!
Kau kah itu?”
Aku
menoleh mendengar suara yang sangat kukenal dan tak pernah kulupakan seumur
hidupku. “Rio,” desahku pelan.
Seolah
tak percaya aku melihat Rio berdiri di hadapanku. Apakah ini mimpi?
Rio
berjalan mendekatiku dan langsung memelukku. Aku hanya diam tak bergerak.
Membiarkan tubuhku berada dalam pelukan Rio. Detak jantungnya, aroma tubuhnya,
lengan kekarnya. Semua hal yang sangat kusukai dan selama ini kurindukan, kini
ada di dekatku.
“Ke
mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana!” serunya tanpa melepaskan
pelukannya. “Aku merindukanmu tahu! Aku tak bisa membiarkanmu pergi begitu
saja!” Rio terus mengomel.
Aku
diam dalam pelukan Rio. Sama sekali tak membalas ucapan Rio.
“Kenapa
kau diam saja?” tanyanya seraya melepaskan pelukannya.
Aku
menengadah menatap wajah Rio. “Aku mencarimu,” ucapku. “Tapi aku tak
menemukanmu. Aku…”
Aku
tak meneruskan kata-kataku. Air mataku mengalir deras. Aku benar-benar tak bisa
menahan perasaanku.
“Jangan
menangis,” ucap Rio lembut seraya mengusap air mataku. “Maafkan aku,”
Aku
menggeleng keras. “Aku… aku yang harus minta maaf. Dua tahun lalu, seharusnya
aku datang untuk menemanimu latihan. Tapi aku tidak datang. Padahal aku sudah
janji. Aku…”
Rio
meletakkan jarinya di bibirku. “Sudahlah. Aku tak pernah mempermasalahkannya,”
ucapnya. “Jadi, kapan kau akan pergi?” tanyanya kemudian.
“Jam
tujuh malam. Sebentar lagi,” jawabku pelan.
"Dan
kau tidak akan kembali?” tanyanya lagi.
Aku
mengangguk pelan. “Sepertinya begitu,” sahutku. “Kau tahu kan, kontrak kerja
papaku di sini sudah habis. Mau tidak mau kami harus kembali ke London.”
“Yeah,
aku tahu.” desah Rio. “Makanya aku tadi mati-matian mencarimu. Aku tidak bisa
membiarkanmu pergi begitu saja. Aku harus bertemu denganmu,”
“Bagaimana
kau tahu aku pergi hari ini?” tanyaku.
Rio
tersenyum. “Gosip cepat menyebar di sini,” sahutnya santai.
Aku
tersenyum kecil. Benar juga. Sepertinya hampir semua warga perumahan tempat
tinggalku mengetahui rencana kepergianku.
“Aku
menyukaimu,”
Aku
terperangah mendengar ucapan Rio. Aku menatap matanya tajam.
“Aku
menyukaimu sejak dulu,” ucapnya lagi. “Maaf baru mengatakannya sekarang. Di
hari terakhir kebersamaan kita.”
“Kamu
curang!” seruku.
Rio
menatapku tak mengerti.
“Aku
kan juga mau mengatakan itu. Tapi kamu menduluiku,” ucapku.
Rio
tertawa dan kembali meraihku dalam pelukannya. “Aku akan menyusulmu,” ucapnya.
“Eh?”
“Aku
akan berusaha keras menjadi pemain sepak bola yang hebat. Aku akan menjadi
pemain MU. Aku akan menyusulmu.” Ucap Rio penuh tekad.
“Tapi
aku pulang ke London, bukan Manchester.” Sahutku lugu.
“Tapi
kan sama-sama Inggris,” balas Rio. “Kau tahu kan, impianku sejak dulu ingin
bermain untuk MU. Kau mau menungguku, kan?”
“Kenapa
kamu tidak bermain di Arsenal saja? Aku kan tinggal di London,”
Rio
menghela nafas dan menatapku lekat. “Ocean! Kau mau mengajakku bertengkar
gara-gara klub sepak bola di hari terakhir kita bersama?” tanyanya.
Aku
menggeleng dan tersenyum. “Aku cuma bercanda,” sahutku. “Aku akan menunggumu.”
“Bagus!”
serunya. “Dengan mengetahui kau di sana menungguku, aku akan jadi lebih
bersemangat.”
“Aku
tahu kau pasti bisa meraih mimpimu, Rio. Aku akan tetap menunggumu di sana.
Berjanjilah kau akan datang untukku,”
“Aku
berjanji,” sahut Rio.
Langit
senja semakin gelap. Aku tahu aku harus segera pulang. Sebentar lagi aku dan
keluargaku harus pulang ke tempat asalku di London. Tapi saat ini, aku masih
ingin berada di dalam pelukan Rio. Meski aku hanya punya sedikit waktu, bagiku
tak masalah.
Meski
aku tak akan kembali lagi ke Indonesia, aku bisa merasa tenang. Karena aku tahu
Rio akan datang untukku. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi aku tahu ia
pasti akan datang.
By: Cepi R. Dini
0 komentar:
Posting Komentar