Akhirnya,
wisata ke Pulau Sempu datang juga. Dengan muka berseri kutenteng tas yang
bewarna hitam kelam. Senyum tak kunjung pudar di wajahku. Aku lajukan motorku
melewati berpuluh-puluh kilometer jarak dari rumah menuju Sidoarjo. Hingga
akhirnya sampai juga di rumah Wisnu yang bertempat di alun-alun Sidoarjo.
Kulihat pasukan crew’07 belum berkumpul
secara penuh. Hanya dua cowok dengan perbedaan sosok yang begitu mencolok. Satu
bertubuh tambun dan satunya kurus. Mataku sontak tertuju pada sosok kedua yang
sedang menikmati rokoknya.
“Tumben enggak telat?”, tanyaku. Dia
hanya tersenyum dan membantuku meletakkan tasku di sampingnya. Ingin kupegang
erat-erat jantungku agar tidak melesat
keluar seperti anak panah. Dari handphone-nya mengalun Iris dari Goo Goo Dolls.
“Udah ijin emak sama bapak?”, tanyanya.
Aku mengangguk. “Syukurlah. Biar aku enggak dituduh bawa lari anak perawan
orang. Ya enggak, Nu?”, air mukanya berubah seketika. Wajah itu, senyum itu. Itu yang membuatku
bersikeras ikut ke Sempu dan menentang orangtua.
“No, jangan banyak ngerokok. Tuh yang
ada di sebelahmu udah enggak kuat nahan nafas”, pandangan Wisnu merujuk padaku.
Dengan segera Vino menghabiskan rokok itu.
Selang beberapa detik kemudian, satu
persatu crew’07 datang. Akupun perlahan menjauh dari tempat Vino duduk dan
bergabung dengan kaum hawa lainnya.
Perjalanan yang memakan waktu cukup lama
tersebut aku habiskan dengan mendengarkan alunan musik dari Asian Kung-Fu
Generation dan Paramore. Beberapa kali mencuri pandang ke Vino dan pura-pura
meneruskan memandangi alam sekitar.
“Reisa, gantian sama Vino kalau capek”,
ujar Sika. Aku menyerahkan kemudi ke Vino. Vino menepuk kepalaku lembut seraya
berkata “Anak baik” atau “Good Job”.
“Hish, berani sekali pegang kepala tuan
putri”, kataku sambil menapik tangannya.
“Tuan Puteri dari mana? Tuan Puteri
Menur ya?”, katanya dengan terbahak-bahak. Sejurus aku pasang tampang merengut.
“Udah jelek, pasang tampang begitu malah tambah jelek”. Aku menjulurkan lidah
dan menatap keluar jendela.
Setelah perjalanan darat, kami harus
menempuh perjalanan laut menggunakan perahu nelayan. oh my God, it’s amazing. Aku bermain air dengan mencelupkan
tanganku ke laut.
“Splas!”, air muncrat mengenai wajahku.
Semua tertawa melihat aku. Tangan jahil itu kulempar menggunakan botol air
mineral.
“Awas ya. Akan kubalas nanti. Dasar Vino sinting”, umpatku. Dia hanya menjulurkan lidah tak peduli dengan
ancamanku. Aku memandang sekeliling dengan takjub hingga tiba di sebuah pulau.
“Dari sini kita akan berjalan melewati
hutan. Diharap tidak berpencar dan menyusahkan kawan-kawan yang lainnya”, ucap
pemandu kami. Aku berjalan bersandingan dengan Wisnu. Sedangkan Vino berjalan
dengan Titis.
“Kamu capek?”, tanya Wisnu. Aku
menggeleng. “Kalau capek, bilang saja. Sini aku bawakan barangmu”, dengan sigap
Wisnu mengambil tasku. Aku terbiasa manja dengan Wisnu karena dia aku anggap
saudarku. Tapi yang lain mengejek kalau kami pacaran.
“Masa badan segede itu cepet capek?”,
celetuk Vino tanpa menatapku.
“Aku enggak capek. Sapa yang bilang aku
capek?”, kujewer telinga Vino. Dia terkekeh dengan renyah. “Nih, dengerin”,
Vino menyodorkan mp3 playernya. Kudengar dengan seksama.
“Sama kan dengan suasana kita sekarang?
Berada di hutan”, ujarnya dengan tersenyum nakal. Aku meresapi lagu itu
dan teringat film Twilight. Lagu Decode
dari Paramore mengalun indah. Wisnu kembali menggeser Vino yang ada di
sebelahku.
Perjalanan yang lama tersebut terasa
singkat. Dan akhirnya kami menemukan ciptaan Tuhan yang begitu indah, Segara
Anak. Dengan segera aku masuk tenda yang baru selesai didirikan untuk mengganti
baju.
Tanpa dikomando lagi, teman-teman yang
lainnya mengikuti aku yang sudah berguling-guling di air yang jernih. Entah
kenapa aku melupakan seseorang yang akan menjadi target kameraku.
“Vino mana?”, tanyaku pada Sika. Sika
menunjuk sosok yang dengan narsisnya foto di tengah hamparan air yang bewarna
biru kehijauan.
“Reisa, sini kalau kamu berani. Kita
tuntaskan dendam kita tadi!”, teriak Vino.
“Woke! Don’t go anywhere!”, balasku seraya berlari ke arahnya. Kucipratkan
air itu ke mukanya.
“Awas ya!”. Vino menarikku mendekat ke
arahnya dan menggendongku.
“Cie... Hayo Vino lagi ngapain? Wisnu
nanti cemburu lho”, sontak yang lain bersorakan. Jantungku serasa mau berhenti
berdetak. Wajahnya yang tak seberapa tampan itu menatapku dengan manis.
“BYUR!”. Sesaat mulutku penuh dengan air
dan hidungku tak bisa digunakan bernafas. Dengan susah payah akhirnya bisa
keluar dari air.
“Vino gila!”, jeritku. Dia menjauh
dengan terkekeh. Wisnu menarikku dari air dan menolongku. “Aku enggak apa-apa
kok Wis”.
“Hayo Sika berenang sampai tengah”,
ajakku.
“Enggak deh Rei, aku enggak jago
berenang”, tolak Sika.
“Woke deh”, aku mulai berenang ke tengah-tengah.
Wisnu memperhatikanku dari kejauhan. Aku melambai padanya dan dia membalas.
Bau laut, sama persis dengan bau parfum
Vino. Aku tersenyum sendiri seperti orang gila di dalam air.
“BRUK”, tubuhku terpental beberapa
senti. Ternyata di depanku ada cowok yang meringis pura-pura kesakitan.
“Maaf”, kataku.
“Makannya mbak lihat dong kalau lagi
berenang. Jangan cengengesan sendiri”, balas cowok itu.
“Lho, saya kan sudah minta maaf mas.
Masa gitu saja nyolot sih”, balikku dengan muka bersungut-sungut.
“Sakit mbak lengan saya. Saya mau maafin
kalau dikasih nomer hape mbak”, kata cowok itu seraya terkekeh.
“Kalau mau kenalan sama cewek, jangan
pakai cara gitu mas. Norak tahu”, celetuk suara di belakangku. Vino dan Wisnu
sudah ada di belakangku. Wisnu menarikku menjauh dari cowok rese itu. Kelihatan
Vino beradu mulut dengan dia.
“Kenapa Rei? Kamu digodain ya?”,
pertanyaan yang sama mencercaku berturut-turut. Aku terdiam. Vino akhirnya
kembali dengan air muka yang tidak mengenakkan.
“Makannya, jangan main sendirian sampai
tengah. Cewek itu makhluk lemah. Untung dia enggak ngelibatin yang lain”,
cerocos Vino. Aku terbelalak mendengarnya. “Wis, awasi terus pacarmu itu biar
enggak buat masalah lagi”.
“Maaf”, kataku sambil berlalu
meninggalkan Vino. Kutahan mati-matian air mataku.
“Mau kemana Rei?”, tanya Sika.
“Ganti baju Sik. Aku males berenang.
Udah enggak mood. Daripada buat
masalah lagi”, kataku cepat sembari meninggalkan mereka.
Wisnu menungguku di luar. Dia seperti
pengawal pribadiku saja. Mungkin itu alasan kenapa teman-teman menganggap aku
dan Wisnu pacaran. Dengan terisak aku mengganti pakaian.
Baru kali ini Vino membentakku. Biasanya
dia kalem dan enggak banyak bicara. Sakit sekali rasanya dibentak oleh orang
yang kita sukai.
“Sudah Wis, kamu berenang sana gih. Aku
udah puas berenang kok”, kataku seraya mendorong Wisnu ke bibir pantai.
“Bener?”, tanya Wisnu meyakinkan diriku.
Aku mengangguk sambil tersenyum ceria. Wisnu berbalik dan bergabung dengan yang
lainnya.
Lambaian tangan teman-teman cewek kubalas
dengan semangat. Setelah itu aku kembali terpuruk di tepian pantai di atas
lembar koran. Angin semilir menyibakkan rambutku yang semi panjang dan membantu
mengeringkannya.
Hatiku masih terasa sakit. Aku
menyalahkan diriku sendiri kenapa aku sampai menyukai Vino. Padahal dia jauh
dari tipe cowok idamanku. Dia pendek, perokok, enggak tampan, enggak seberapa
pintar, kurus, dan pemain band.
Tapi yang membuatku jatuh cinta adalah
parfum yang dia kenakan. Dia pernah menyembunyikanku di punggungnya ketika aku
dikejar-kejar cowok yang mengaku pacarku waktu open house di kampus. Mulai dari perbuatan yang kecil tersebut, aku
jatuh cinta.
“Hei”, suara yang aku kenal. Sekaleng
minuman ringan berada di hadapanku. Aku mengambilnya sambil memalingkan muka.
“Geser dikit”. Tanpa kuijinkan dia mendorong tubuhku menyingkir.
“Maaf”, katanya lagi. Aku tetap
pura-pura enggak dengar. “Sori udah buat enggak mood. Habis aku jengkel lihat kamu digodain cowok lain”. Aku terbelalak mendengar kata-katanya
sambil menoleh.
“Tapi aku enggak berhak ya bilang
seperti itu. Kan kamu ceweknya Wisnu. Hehehe...”, wajahnya tersenyum paksa.
“Aku enggak pacaran kok sama Wisnu.
Kalian saja yang salah sangka”, sergahku dengan cepat. Jantungku berdetak lebih
cepat dari sebelumnya.
“Jangan bohong, kalian ke mana-mana
selalu berdua”, kata Vino sembari meneguk isi kalengnya sampai habis. “Wisnu
kelihatan serius sama kamu. Jangan sakiti dia ya”, imbuhnya.
Aku terdiam sesaat. Pikiranku bekerja
dua kali lebih cepat dari biasanya.
“Aku tahu Wisnu ada rasa tapi ada orang
lain yang aku sukai”, kataku cepat. Aku menatapnya dengan mantap. Vino terdiam
sesaat memandangku.
“Aku suka kamu Vino”, bibirku serasa
kaku setelah mengatakan kalimat itu.
Vino terbelalak dan kelihatan otaknya bekerja sangat keras.
“Rei, jangan bercanda ah”, Vino tertawa
kecil. Dia membuang muka ke depan.
“Aku sunguh-sungguh No. Aku dari dulu
suka kamu. Sejak open house kampus”,
kataku meyakinkan Vino.
“Iya, Reisa suka kamu sejak dulu. Kamu
aja yang enggak sadar No”. Serentak aku dan Vino menoleh ke belakang. “Kalian
jangan memikirkan aku, toh kalau kalian sama-sama suka, aku akan mundur
teratur. Asal kau harus berjanji enggak akan menyakiti Reisa”, tambah Wisnu.
Entah sejak kapan Wisnu sudah berada di belakang kami berdua.
“Ya kalau kau memohon seperti itu sih
Wis, aku terima untuk jadi baby sisternya
Reisa. Hehehe...”, jawab Vino dengan
wajah jahil.
“Jahat”, balasku sambil menarik telinga
dia. Wisnu ikut mengerjai Vino dengan menariknya kembali masuk dalam air.
Aku tertawa lepas. OMG, secepat itukah
kami jadian? Tak seperti yang aku bayangkan dengan proses romantis dan saling
pandang. Haish... Aku terlalu berkhayal.
Perjalanan pulang kembali melewati
hutan. Sekarang Vino ada tepat di depanku dan dia tak sungkan lagi mengulurkan
tangan tuk membantuku. Yang lain menyoraki tapi kami berdua nyengir sok innocent.
“Sejak kapan kamu suka aku Rei?”, tanya
Vino.
“Sejak open house kampus dulu. Waktu kamu nyembunyikan aku dari cowok yang
ngaku pacarku”, jawabku dengan malu-malu. “Lha kamu sendiri kenapa suka sama
aku No?”, lanjutku.
“Kamu aneh sih. Punya kepribadian ganda.
Heheheh”, kekeh Vino.
“Jahat”, kataku seraya mencipratkan air
ke muka Vino.
“Aku suka kamu gara-gara kamu wangi, No.
Parfummu itu yang menggodaku”, imbuhku.
“Hahaha... Dasar aneh. Seharusnya cewek
itu enggak mau kalau cowoknya wangi banget karena mereka kira metroseksual dan
cenderung gay”, jelas Vino.
“Lha, berarti kamu ngaku kalau kamu gay?”,
tanyaku bergidik.
“Hahahaha...”, kembali Vino terbahak.
“Ya enggak lha Reisa bipolar. Kalau
aku gay mungkin aku enggak mau sama
cewek dan enggak nyuri kesempatan buat deketin kamu”, tambahnya sambil memencet
hidungku.
“Dasar rese!”. Aku membalasnya dengan
menjewer telinganya. Kami tertawa lepas.
“Rei, kapan-kapan kita kembali ke sini
yuk. Tapi berdua saja”, Vino berbisik di telingaku.
“Blush!”, wajahku langsung memerah.
Dengan cepat aku menutupi wajahku dengan
kedua telapak tanganku. Aku malu sekali mendengar kata-katanya.
Oh Tuhan, sembunyikan suara detak
jantungku ini. Semoga liburanku berikutnya dengan Vino menjadi liburan yang
lebih indah dari liburan kali ini. Amin.
~~~
Cerpen Oleh: Esa Mariya Ajikan
Sedikit Tentang Esa Mariya Ajikan:
Pecinta binatang, hobi berenang, cita-cita ingin
jadi warga negara Jepang, dan sekarang sibuk jadi pendengar yang baik dan
pengoceh yang benar
5 komentar:
pertama: aku mau mnegucapkan banyak terima kasih pada sistaku yang paling cantik, sist Esa Mariya Ajikan, karena telah bersedia berbagi cerpennya untuk dimuat di blog ini (formal banget ya gayaku) :D
kedua: "dia lebih pendek dariku," "aku suka aroma parfumnya,"
rasanya pernah denger kalimat itu nih aku..
hikikikik... (^.^)v
btw, ajarin renang dong sist... :D
wakakaakak... jangan formal2 zizt. akyu jadi mayuuu... :))
wew, ya jelaz pean tahu lha zizt kan pean pernah akika ceritain. hehehehe... =))
ayokz zizt, q ini janji aja tapi jarang nepatinnya. hehehe... nunggu bakpo libur juga zizt. X)
wuehehehe....kan biar agak gaya gitu sist,,, :D
xixixixi... iya, yg waktu itu ya... ^^
ayo sist..! kapan? hehe...
kenapa tunggu bakpo libur dulu? mau nyamain pipi ma aku..?
hakakakka :D
ikut gayaku aja zizt. gaya kucing garong. hekekekek... :D
kan biar ada pembandingnya zizt. wekekekek :p
hehe... aku bergaya kucing centil aja deh sist
eh, bukan! kucing pipush aja :)
hehe... jadi kontes bakpi dong.. :D
Posting Komentar