“BAAA...”, suara keras membuat jantungku
berdetak kencang.
“Oh
Sh*t! Gila kau”, umpatku sembari melempar penghapus ke arah Dika.
“Wahahaha...”, Dika terbahak-bahak.
“Makannya jangan belajar melulu dong. Sekali-sekali
main kek”, imbuhnya dengan tangan menarik
bukuku.
“Balikin Ka, aku lagi enggak mood buat bercanda sama kamu”, kataku
tanpa menatapnya.
“Iya-iya ini aku balikin. Enggak usah pasang
tampang kayak nenek-nenek gitu dong”, sahut Dika. Tanpa banyak bicara lagi, aku meninggalkan Dika dan beranjak ke
kantin.
“Dideketin Dika lagi Yes?”, tanya Dona.
Aku menaikkan kedua alisku dan mengangguk. “Gila aja tuh cowok. Udah kau tolak
berapa kali masih aja nyerang kau. Jangan-jangan si Jefri mantan kau yang overprotective itu nyruh si Dika buat
deketin kau Yes?”, lanjut Dona dengan logat Bataknya yang enggak hilang.
“Au ah, gelap”, kataku singkat. Aku
malas harus membahas tuh cowok.
Kupendarkan tatapan mataku di arah pukul dua. Segerombolan cowok duduk
di bangku panjang. Hanya satu yang
menyita pandanganku. Cowok yang terlihat berbeda dari yang lainnya.
“Kau curi-curi pandang sama si Radit
lagi ya Bodat (monyet)?”, sergap Dona. Aku menunduk. “Jiah, kau itulah
masih aja kau mikirin dia. Kalau kau tetap seperti ini, kau tak akan bisa
merubah status kau. Majulah kau”, terang Dona dengan melahap habis pangsit di depannya.
“Ngomong sih mudah. Tapi gila aja lah.
Secara si Radit teman baik si Kian pula”, ucapku yang ketularan logat Batak dari Dona.
“Makannya kau jangan jadi playgirl. Kalau gini kau juga kan yang
repot. Waktu serius suka sama cowok, eh ternyata dia enggak anggap kau
gara-gara temannya. Mana si Dika juga
teman si Jefri. Kasihan kali lah kau bodat.
Mungkin ini karma kau”, kekeh Dona.
“Sialan kau bodat!”, balasku dengan sedikit mendorongnya dan tertawa mendengar
kata-kata teman baikku tersebut.
Seperti biasa, pulang sekolah aku
mengantar Dona sampai halte padahal rumahku berlawanan arah sama dia. Segera
setelah Dona naik bus, aku berjalan kaki ke perempatan terdekat untuk menunggu
bang bemo langgananku.
“TIN-TIN”, suara klakson mengagetkanku.
Segera aku minggir.
“TIN-TIN”, kembali suara klakson yang
sama. Aku menoleh dengan muka mau marah.
Si empunya motor membuka helmnya.
“Mau
aku antar Yes?”, dengan senyum khas pengendara itu menawarkan diri.
“Kalau enggak ngerepotin sih, oke-oke
aja”, jawabku dengan menyembunyikan senyum gembira di wajah. Dia memberikan
isyarat untuk menyuruhku naik ke boncengannya.
“Rumahmu tetep yang dulu kan Yes?”,
tanyanya.
“Oh. I-iya Dit”, jawabku terbata-bata.
Oh ya, dia kan pernah ke rumahku sama Kian waktu aku masih jalan sama Kian. Aku
grogi selama perjalanan. Aku enggak tahu harus pegangan apa biar enggak jatuh.
Akhirnya pilihanku jatuh pada besi setengah lingkaran di pucuk boncengan motor.
Oh
my God...
Aku enggak pengen ini cepat berakhir. Aku pengen seperti ini selamanya. Hihihi,
alay banget dah. Andaikan tiap pulang sekolah seperti ini, aku rela deh di suruh keliling lapangan basket.
“Thanks
ya Dit”, kataku dengan sok manis.
“Wahahaha... Jangan gitu Yes. Nyeremin
tau”, timpal Radit.
“Sialan kamu”, balasku dengan memukul
ringan pundaknya. Radit tetap tertawa melihat aku yang cemberut. “Udah pulang
sana. Hush-hush”, usirku.
“Woh, anak kurang ajar berani
ngusir bapaknya”, balas Radit dengan
menstarter motornya. Aku membalasnya dengan muka mirip ikan. “Aku pulang dulu
ya Yes. Tolong jaga bayi kita”, ucap Radit dengan volume suara yang nyaring. Semua tetanggaku melihat ke arah kami
berdua.
“RADIT GILAAA!”, teriakku. Dia sudah
melaju kencang dengan motornya dan tinggallah aku denga tatapan tajam menuju
perutku.
“Eeehmm... Bu-bukan. Saya enggak hamil kok om, tante. Tadi hanya bercanda.
Ehehehe”, kataku berusaha mencairkan suasana. Mendengar itu, mereka langsung
mengalihkan pandangan. Tapi tentu saja mereka enggak akan percaya. Haish, buat
masalah aja tuh Radit.
Semalaman aku enggak bisa tidur.
Kebayang dibonceng Radit terus. Sampai akhirnya malam ini aku hanya bisa tidur
dua jam. Rasa kantuk hilang begitu bertemu Radit di kelas. Tapi dia diam saja.
“Yes, nanti makan siang ke kantin yuk?”,
ajak Dika. Sejak kapan dia ada di depanku. Aku sedikit mundur menghadapi dia
yang memajukan badannya.
“Sori
Ka, aku lagi diet. Males makan”,
alihku. Padahal aku kelaparan banget. Segera saja aku sms Dona yang belum
kelihatan rambutnya yang ikal itu.
“Cie... Dika yang lagi pedekate ama
Yesi”, sorakan ramai dari seluruh penjuru kelas. Dika ke Ge-Eran dengan
membetulkan rambutnya.
“Tuh teman-teman sekelas aja dukung kita
pacaran Yes. Napa kamu menghindar terus?”. Aku mencoba untuk tersenyum tapi
kelihatan senyum itu terlalu dipaksakan. Aku enggak mau wujud asliku kelihatan
di depan publik walau mungkin beberapa dari
mereka tau sifat asliku.
“Yesi, kau dipanggil pak Deni. Katanya
ada yang penting gitu”, teriak Dona dari tepian pintu kelas.
“Oke cin, aku kesana segera”, jawabku
tanpa diminta kedua kalinya. “Sori Ka”, ucapku sambil berdiri lalu berlari ke arah Dona. Sekilas kulihat Radit. Dia tengah asyik
bercakap-cakap dengan temannya yang lain. Tawa menghias wajahnya.
“Gila bangetlah si Dika itu. Tadi aku
lihat Jefri pasang muka serem di sebelah ruang kelas kita”, jelas Dona. “Denger-denger sih Dika
nekat dekatin kamu dengan mutusin hubungan dia ama si Jefri”, lanjut Dona.
“Aku enggak tau ah. Pikiranku hanya
terpenuhi Radit, Radit dan Radit. Aku udah berkali-kali nolak Dika tapi dia
balik terus dan malah menjadi. Dipikirnya
paling aku enggak punya cowok jadi kesempatannya masih terbuka lebar.
Sinting kali lah dia”, tegasku.
Istirahat aku langsung menghilang ke
kantor guru bersama Dona. Menemui pak
Deni yang juga saudara ayahku. Dengan alasan bertanya tentang pelajaran, aku
berlama-lama di kantor tersebut. Dona akhirnya kalah dengan rasa laparnya dan
keluar ke kantin.
“Yesi”, sapa suara yang aku kenal.
“Ngapain kamu disini? Tadi dicari sama Dika lho”, jelas cowok yang berdiri di
depanku. Aku hanya meringis menatap pak Deni. Lalu memberikan tanda padanya agar menjawab
pertanyaan dari Jefri.
“Yesi sedang tanya tentang tugas. Kamu
ada apa kesini?”, alih pak Deni sekenanya.
Aku terdiam beberapa saat dan bekutat dengan buku di depanku ketika
Jefri ada di situ. Aku benci sama tuh
cowok. Anak mami banget. Putus denganku pun gara-gara maminya. Malah yang
buatku gondok, maminya menjudge
keluargaku yang enggak-enggak. Padahal dia enggak tau kebenarannya. Sial banget
aku pernah pacaran sama tuh cowok.
“YESI!”, teriak Dona dari luar ruangan.
Sontak isi ruangan melihat ke arahku. “Maaf pak, bu”, kata Dona. “Hayo balik
kelas Yes. Bye pak Deni”, kata Dona
dan menarikku dengan tergesa-gesa. Aku melambaikan tangan ke om.
“Gila, tadi si Radit didatangi ama Kian
ke kelas. Kian marah-marah ama si Radit. Dia bilang kalau nanti pulang sekolah
ditunggu di tempat biasa.lha aku tak tahulah dimana mereka biasa mangkal”, jelas Dona dengan tersenggal-senggal. Aku
mempercepat lajuku.
DEG. Aku lihat Radit bersama dua
temannya. Tatapan mereka menusuk dan terasa begitu dingin. Tak terkecuali dua
orang yang menjadi pagar betis Radit.
Aku tak berani mendekat. Hanya melihat dia dari tempat dudukku.
“Gila ya, gara-gara dia aja teman jadi
musuh”, celetuk dari pojokan. Haish, aku tertawa sinis sambil menggeleng. Aku
menatapnya dengan tajam. Dona menyodokku keras. Moodku jelek setelahnya. Untung ada Dona, kalau enggak, bisa
kumakan tuh cewek.
Segera aku melesat ke parkiran motor
menemui Radit setelah bel pulang sekolah. Tapi dia enggak ada di sana. Aku
meninggalkan Dona yang sibuk dengan barang-barangnya. Aku mencoba mencari di
penjuru sekolah dan pergi ke tempat mereka biasanya kumpul tapi tak ada seorangpun.
Kucoba telpon Kian. Tapi tak ada
jawaban. Begitu juga yang lainnya. Sama saja. Masalah ini enggak akan selesai
dengan minta maaf saja karena Kian orangnya keras dan enggak mau kalah.
“Pulang aja deh kau cin. Mamak kau pasti
udah nyari kau daritadi”, kata Dona. Aku menghela nafas panjang. “Udahlah,
besok kan ketahuan gimana. Mending kau pulang dulu bodat. Mamak kau daritadi telpon aku. Aku bilang kau lagi kerja
kelompok di rumahku”, imbuhnya.
“Oke. Bye...”, ucapku tak bertenaga. Langkahku gontai memikirkan apa yang
akan terjadi pada Radit. Malam inipun kulalui dengan bergadang tak bertujuan.
Dengan menumpang mobil ayah, aku
berangkat ke sekolah. Kulihat kasak-kusuk di kelasku. Aku menarik nafas panjang
tuk menyiapkan hati dengan apa yang akan kulihat setelahnya.
Selangkah menuju kelas, mataku nanar
melihat sosok yang telah lama kusayangi secara diam-diam. Pipinya lebam dan
plester luka berlomba menutupi luka yang ada di pinggir bibirnya. Aku terhenyak
di tempat dudukku. Dona membisikkan kalau kemarin Kian menghajar Radit
habis-habisan.
“Kenapa sweety? Kok mukanya sedih gitu?”, aku tak menanggapi ucapan cowok
di depanku. “Kamu kangen aku ya sayang?”, tambahnya lagi.
“Mending kamu pergi deh Ka”, ucapku
sedikit tertahan karena kesal.
“Kenapa sih kamu enggak mau sama aku?
Apakah aku enggak bisa menjadi penghuni hatimu?”, ucap Dika dengan memegang
tanganku dan memandangku lurus.
“ENGGAK!”, bentakku mengibaskan
tangannya. “AKU ENGGAK SUKA SAMA KAMU DIKA. KAU TAU ALASANNYA?”, tanyaku dengan
membelalak. “ENGGAK PERNAH SEDIKITPUN KAU ADA DI PIKIRANKU. AKU UDAH SUKA SAMA
COWOK LAIN. DAN KAU JANGAN GANGGU AKU LAGI. NGERTI ENGGAK? KALAU KAU GANGGU
AKU. KUTONJOK KAU”, imbuhku dengan menarik kerah seragam Dika. Aku berani
bilang begitu karena aku mengemban Dan Hitam di karate.
“Aku enggak akan pacaran ama teman-teman
Jefri. Kalian Cuma anak mami. So, GET OUT”,
bentakku untuk yang terakhir kali. Dika memundurkan badannya dan akhirnya
keluar dari ruang kelasku. Kelas menjadi hening sesaat. Akhirnya sifat asliku
keluar juga. Aku udah enggak peduli lagi dengan sok manis di depan semuanya. Capek.
Sepanjang pelajaran, aku menatap Radit
nanar dengan sembunyi-sembunyi. Dan pada saat istirahat,kuberanikan diri
mendekati Radit yang sendirian. Kelas hanya tinggal beberapa butir murid karena
mereka tau kelas mulai panas dengan kehadiranku dan mungkin saja mereka mulai
ngosip dari ujung ke ujung sekolah.
“Kamu kenapa Dit?”, tanyaku. Radit
menatapku dan tersenyum lemah.
“Enggak apa-apa kok Yes. Aku Cuma jatuh
dari motor kemarin”, jawab Radit dengan menunduk.
“Jangan bohong Dit. Kian mukulin kamu kan?”, kejarku. Radit hanya
tersenyum. Hatiku semakin sakit. Dia menutupi hal itu. “Maaf Dit, kalau saja
aku enggak naik di boncenganmu hari itu, mungkin Kian enggak akan meluapkan
emosinya sama kamu”, air bening mulai merembes di pipiku.
“Jangan menangisiku Yes. Itu udah
konsekuensiku kok. Membonceng mantan teman baikku”, kata Radit. “Lagipula
enggak sepantasnya kamu nangis buat aku. Udah, kamu balik aja ke bangkumu. Aku
mau keluar sebentar”, lanjutnya lalu berdiri.
Pulang sekolah, aku menunggu Kian di
gerbang sekolah. Kian mengacuhkanku. Aku menarik bajunya sehingga dia jatuh.
“Aku perlu bicara sama kamu”, sergahku
dengan cepat. Dengan muka malas Kian menyuruhku naik ke boncengannya. Kami
berada di tempat biasanya kami bolos
sekolah, sebuah sawah yang sangat luas.
“Kamu apa-apaan sih Kian kok membabi-buta gitu ama Radit?”, serangku.
“Kenapa? Kamu enggak rela Radit
kugebukin?”, serang Kian balik. “Lagipula dia udah ngelanggar janji kalau
enggak akan dekatin kamu. Itu udah konsekuensi dia kalau dia kuhajar”, ucap
Kian dengan menantang.
“Kau gila apa? Kita udah enggak ada
hubungan apa-apa. Sinting”, aku membelalakkan mata.
“Aku sinting gara-gara sapa?”, balas
Kian. “Gara-gara kamu tau!”, teriak Kian. “Aku sayang banget ama kamu tapi kamu
malah selingkuh ama Jefri. Sekarang malah ama Radit. Kau itu cewek enggak tau
diri”, cemooh Kian.
“BUK”, sebuah pukulan keras membuat
badan besar Kian mundur beberapa langkah dan jatuh ke belakang. Kian
memegangi pipinya dan aku menoleh ke
samping. Radit masih mengepalkan tangannya.
“Kau mau belagu Dit di depan dia?”,
sambar Kian. Kini Kian berdiri di depan Radit. Perbedaan tubuh dan tinggi badan
itu semakin kentara. Radit terlihat tak gentar menghadapi. Dia menangkis bogem
mentah dari Kian. Dan tuk yang kedua kalinya Kian terpukul mundur.
“Maaf, kau boleh memukul aku sampai puas tapi jangan hina Yesi. Kau jelas tahu apa yang ada di
pikiranku dari dulu tapi kamu pura-pura enggak tahu. Untuk saat ini, aku enggak akan nyerah bro”, tatapan Radit masih terlihat buas menatap Kian. Radit menarik
tanganku menjauh dari Kian yang masih tak percaya mendengar ucapan Radit.
Radit membawaku pergi dengan motornya ke
rumah Dona. Rumah Dona yang sepi itu membuat kami berani masuk ke ruang tamu.
Semua yang ada di ruangan itu terdiam, tak terkecuali Radit yang dari tadi
menunduk.
“Maaf Yes, aku melibatkanmu dalam masalah
ini”, ucap Radit. “Ini salahku yang
begitu pengecut enggak mau mengakui perasaanku dari dulu. Kamu jadi
terombang-ambing dengan cowok-cowok
itu”, lanjut Radit. Aku masih
enggak tahu apa yang Radit katakan. Melihat alisku yang masih mengkerut Radit
sadar kalau aku enggak ngerti apa yang dia katakan.
“Aku”, Radit terdiam sesaat. “Aku suka
kamu Yes dari dulu”, ucapnya sambil
tertunduk malu. Aku terbelalak sesaat. Kucoba untuk menguasai diriku.
“Kalau aku enggak pengecut, mungkin kamu
enggak akan pacaran ama Kian sama Jefri. Dan mungkin kamu enggak akan dicap
sebagai playgirl sama cewek enggak
tahu diri”, lanjut Radit. Kutatap wajahnya tersenyum. Dadaku sesak mendengar
kata-katanya.
“Jangan nangis. Aku minta maaf Yes.
Maaf”, Radit menyeretku ke pelukannya. “Aku, akan melindungimu mulai saat ini.
Aku akan lebih jujur dengan perasaanku. Aku enggak mau kamu terluka lagi”,
imbuh Radit. Aku mengangguk sambil terisak.
“Dit, apa kamu mau nerima aku apa
adanya? Apa kamu mau nerima aku yang udah buruk di mata orang lain? Apa kamu
enggak apaapa denganku?”, tanyaku bertubi-tubi dengan air mata yang masih
mengalir deras.
“Iya Yes. Aku terima kamu apa adanya.
Termasuk sifat buasmu. Hehehe”, kekeh Radit.
“Jahat”, kataku sambil memukul Radit.
“Iya-iya. Aku terima kamu apa adanya Yes. Mulai sekarang, apapun yang
terjadi, aku akan tetap ada di sampingmu”, jelas Radit. Aku tersenyum kecil.
“Nah, gitu dong. Coba kalau jujur dari
dulu, kan enggak kaya gini jadinya. Kalian sih sok jaim”, celetuk Dona dari
dalam. “Itu tuh Dit, si Yesi sebenarnya dari dulu suka ama kau. Tapi dia malah
kecantol ama sapalah itu namanya, oh ya si Kian. Emang dasar si bodat Yesi ini, ngerepotin orang ajalh
kerjaannya”, cerocos Dona.
“Aku jadi ge-er nih”, kekeh Radit.
“Jahat.
Awas ya kalian berdua”, kataku sambil menggembungkan pipi. Mereka berdua
tertawa. Akhirnya Radit mengantarkanku
pulang
“Yes”, aku menoleh mendengar panggilan
Radit. “Besok, kita hadapi berdua ya?”, kata Radit dengan tersenyum. Aku
mengangguk. Radit mengecup keningku lembut. Dia menoleh setelah menstarter
motornya.
“Jaga anak kita baik-baik ya sayang”,
kata Radit dengan sedikit teriak.
“Radit gila!”, balasku. Kami terkekeh
bersama. Akhirnya dia menghilang dengan sinar matahari senja.
Keesokan harinya, aku bertemu Radit,
Dona dan Tio-pacar Dona yang entah kapan jadiannya-di pintu gerbang. Kami
bersama-sama menyelaraskan langkah masuk sekolah. Kita berpandangan sejenak dan
tersenyum penuh kemenangan.
Aku merasa lebih kuat bersama Radit.
Meski banyak kata-kata dan perbuatan yang menyakitiku, kalau bersama Radit,
mungkin aku bisa tahan sampai akhir. I
love you Radit. Hanya kamu yang bisa menerima bagian dari diriku yang tak
bisa diterima oleh pria lain.
“HORAAAS!”, teriak kami bersamaan lalu
tertawa terbahak-bahak bersama.
Cerpen Oleh: Esa Mariya Ajikan
Sedikit Tentang PenulisPecinta binatang, hobi berenang, cita-cita ingin jadi warga negara Jepang, bertekuk lutut dengan cowok manis, sekarang lagi sok sibuk jadi pendengar yang baik dan pengoceh yang benar.
3 komentar:
weleh...weleh...weleh.... (kayak si komo aja!)
sepertinya sistaku yang cantik ini penggemar beratnya si Raditya Dika a.k.a Dikung a.k.a Mutun a.k.a si Kambing Jantan hehehehe.... :D
sekali lagi makasih banget ya sist...!!! lagi-lagi mau berbagi cerpennya di blog ini :)
arigato gozaimasu
xixixi... ternyata sist Esa ganas banget ya.. (udah tau sih dari dulu :P)
aku harus melindungi *** nih, biar nggak dimakan sist Esa ^^v
kalau ama bang Dika seh iya zizt. tapi Dika itu kuambil dari nama teman adekku. teruz Radit itu berhubungan dengan Vino. Nama Belakang dia kan Radit zizt. hehehehe.... ;)
mumpung lagi banyak ide zizt. Jadi langzung cap cuz cyiinn hehehehe :D
lho, kan aku memang ganaz zizt... tuh zi Yezi adalah pribadiku yang lain. hehehe... :-o
ow....gitu ta sist...
yowes ndang balikan ja sist ma Veno ^^
iya sist, aku tahu pean ganas
makanya aku harus melindungi si *** biar gak pean bantai :D
Posting Komentar