Minggu, 09 September 2012

Part of Me

“BAAA...”, suara keras membuat jantungku berdetak kencang.
“Oh  Sh*t! Gila kau”, umpatku sembari melempar penghapus ke arah Dika.
“Wahahaha...”, Dika terbahak-bahak. “Makannya jangan belajar  melulu dong. Sekali-sekali main kek”, imbuhnya dengan tangan menarik  bukuku.

“Balikin Ka, aku lagi enggak mood buat bercanda sama kamu”, kataku tanpa menatapnya.
“Iya-iya ini aku balikin. Enggak usah pasang tampang kayak nenek-nenek gitu dong”, sahut Dika. Tanpa banyak bicara  lagi, aku meninggalkan Dika dan beranjak ke kantin.
“Dideketin Dika lagi Yes?”, tanya Dona. Aku menaikkan kedua alisku dan mengangguk. “Gila aja tuh cowok. Udah kau tolak berapa kali masih aja nyerang kau. Jangan-jangan si Jefri mantan kau yang overprotective itu nyruh si Dika buat deketin kau Yes?”, lanjut Dona dengan logat Bataknya yang enggak hilang.
“Au ah, gelap”, kataku singkat. Aku malas harus membahas tuh cowok.  Kupendarkan tatapan mataku di arah pukul dua. Segerombolan cowok duduk di bangku panjang.  Hanya satu yang menyita pandanganku. Cowok yang terlihat berbeda dari yang lainnya.
“Kau curi-curi pandang sama si Radit lagi ya Bodat (monyet)?”,  sergap Dona. Aku menunduk. “Jiah, kau itulah masih aja kau mikirin dia. Kalau kau tetap seperti ini, kau tak akan bisa merubah status kau. Majulah kau”, terang Dona dengan melahap habis pangsit  di depannya.
“Ngomong sih mudah. Tapi gila aja lah. Secara si Radit teman baik si Kian pula”, ucapku yang ketularan logat  Batak dari Dona.
“Makannya kau jangan jadi playgirl. Kalau gini kau juga kan yang repot. Waktu serius suka sama cowok, eh ternyata dia enggak anggap kau gara-gara  temannya. Mana si Dika juga teman si Jefri. Kasihan kali lah kau bodat. Mungkin ini karma kau”, kekeh Dona.
“Sialan kau bodat!”, balasku dengan sedikit mendorongnya dan tertawa mendengar kata-kata teman baikku tersebut.
Seperti biasa, pulang sekolah aku mengantar Dona sampai halte padahal rumahku berlawanan arah sama dia. Segera setelah Dona naik bus, aku berjalan kaki ke perempatan terdekat untuk menunggu bang bemo langgananku.
“TIN-TIN”, suara klakson mengagetkanku. Segera aku minggir.
“TIN-TIN”, kembali suara klakson yang sama. Aku menoleh dengan muka  mau marah. Si  empunya motor membuka helmnya.
“Mau  aku antar Yes?”, dengan senyum khas pengendara itu menawarkan diri.
“Kalau enggak ngerepotin sih, oke-oke aja”, jawabku dengan menyembunyikan senyum gembira di wajah. Dia memberikan isyarat untuk menyuruhku naik ke boncengannya.
“Rumahmu tetep yang dulu kan Yes?”, tanyanya.
“Oh. I-iya Dit”, jawabku terbata-bata. Oh ya, dia kan pernah ke rumahku sama Kian waktu aku masih jalan sama Kian. Aku grogi selama perjalanan. Aku enggak tahu harus pegangan apa biar enggak jatuh. Akhirnya pilihanku jatuh pada besi setengah lingkaran di pucuk boncengan motor.
Oh my God... Aku enggak pengen ini cepat berakhir. Aku pengen seperti ini selamanya. Hihihi, alay banget dah. Andaikan tiap pulang sekolah seperti ini, aku rela  deh di suruh keliling lapangan basket.
Thanks ya Dit”, kataku dengan sok manis.
“Wahahaha... Jangan gitu Yes. Nyeremin tau”, timpal Radit.
“Sialan kamu”, balasku dengan memukul ringan pundaknya. Radit tetap tertawa melihat aku yang cemberut. “Udah pulang sana. Hush-hush”,  usirku.
“Woh, anak kurang ajar berani ngusir  bapaknya”, balas Radit dengan menstarter motornya. Aku membalasnya dengan muka mirip ikan. “Aku pulang dulu ya Yes. Tolong jaga bayi kita”, ucap Radit dengan volume suara yang nyaring. Semua tetanggaku melihat ke arah kami berdua.
“RADIT GILAAA!”, teriakku. Dia sudah melaju kencang dengan motornya dan tinggallah aku denga tatapan tajam menuju perutku.
“Eeehmm... Bu-bukan. Saya enggak  hamil kok om, tante. Tadi hanya bercanda. Ehehehe”, kataku berusaha mencairkan suasana. Mendengar itu, mereka langsung mengalihkan pandangan. Tapi tentu saja mereka enggak akan percaya. Haish, buat masalah aja tuh Radit.
Semalaman aku enggak bisa tidur. Kebayang dibonceng Radit terus. Sampai akhirnya malam ini aku hanya bisa tidur dua jam. Rasa kantuk hilang begitu bertemu Radit di kelas. Tapi dia diam saja.
“Yes, nanti makan siang ke kantin yuk?”, ajak Dika. Sejak kapan dia ada di depanku. Aku sedikit mundur menghadapi dia yang memajukan badannya.
“Sori  Ka,  aku lagi diet. Males makan”, alihku. Padahal aku kelaparan banget. Segera saja aku sms Dona yang belum kelihatan rambutnya yang ikal itu.
“Cie... Dika yang lagi pedekate ama Yesi”, sorakan ramai dari seluruh penjuru kelas. Dika ke Ge-Eran dengan membetulkan rambutnya.
“Tuh teman-teman sekelas aja dukung kita pacaran Yes. Napa kamu menghindar terus?”. Aku mencoba untuk tersenyum tapi kelihatan senyum itu terlalu dipaksakan. Aku enggak mau wujud asliku kelihatan di depan  publik walau mungkin beberapa dari mereka tau sifat asliku.
“Yesi, kau dipanggil pak Deni. Katanya ada yang penting gitu”, teriak Dona dari tepian pintu kelas.
“Oke cin, aku kesana segera”, jawabku tanpa diminta kedua kalinya. “Sori Ka”, ucapku sambil berdiri lalu berlari  ke arah Dona. Sekilas  kulihat Radit. Dia tengah asyik bercakap-cakap dengan temannya yang lain. Tawa menghias wajahnya.
“Gila bangetlah si Dika itu. Tadi aku lihat Jefri pasang muka serem di sebelah ruang kelas  kita”, jelas Dona. “Denger-denger sih Dika nekat dekatin kamu dengan mutusin hubungan dia ama si Jefri”, lanjut Dona.
“Aku enggak tau ah. Pikiranku hanya terpenuhi Radit, Radit dan Radit. Aku udah berkali-kali nolak Dika tapi dia balik terus dan malah menjadi. Dipikirnya  paling aku enggak punya cowok jadi kesempatannya masih terbuka lebar. Sinting  kali lah dia”, tegasku.
Istirahat aku langsung menghilang ke kantor guru bersama  Dona. Menemui pak Deni yang juga saudara ayahku. Dengan alasan bertanya tentang pelajaran, aku berlama-lama di kantor tersebut. Dona akhirnya kalah dengan rasa laparnya dan keluar ke kantin.
“Yesi”, sapa suara yang aku kenal. “Ngapain kamu disini? Tadi dicari sama Dika lho”, jelas cowok yang berdiri di depanku. Aku hanya meringis menatap pak Deni. Lalu  memberikan tanda padanya agar menjawab pertanyaan dari Jefri.
“Yesi sedang tanya tentang tugas. Kamu ada apa kesini?”, alih pak Deni sekenanya.  Aku terdiam beberapa saat dan bekutat dengan buku di depanku ketika Jefri ada di situ. Aku benci  sama tuh cowok. Anak mami banget. Putus denganku pun gara-gara maminya. Malah yang buatku gondok, maminya menjudge keluargaku yang enggak-enggak. Padahal dia enggak tau kebenarannya. Sial banget aku pernah pacaran sama tuh cowok.
“YESI!”, teriak Dona dari luar ruangan. Sontak isi ruangan melihat ke arahku. “Maaf pak, bu”, kata Dona. “Hayo balik kelas Yes. Bye pak Deni”, kata Dona dan menarikku dengan tergesa-gesa. Aku melambaikan tangan ke om.
“Gila, tadi si Radit didatangi ama Kian ke kelas. Kian marah-marah ama si Radit. Dia bilang kalau nanti pulang sekolah ditunggu di tempat biasa.lha aku tak tahulah dimana mereka biasa mangkal”,  jelas Dona dengan tersenggal-senggal. Aku mempercepat lajuku.
DEG. Aku lihat Radit bersama dua temannya. Tatapan mereka menusuk dan terasa begitu dingin. Tak terkecuali dua orang yang menjadi pagar betis Radit.   Aku tak berani mendekat. Hanya melihat dia dari tempat dudukku.
“Gila ya, gara-gara dia aja teman jadi musuh”, celetuk dari pojokan. Haish, aku tertawa sinis sambil menggeleng. Aku menatapnya dengan tajam. Dona menyodokku keras. Moodku jelek setelahnya. Untung ada Dona, kalau enggak, bisa kumakan tuh cewek.
Segera aku melesat ke parkiran motor menemui Radit setelah bel pulang sekolah. Tapi dia enggak ada di sana. Aku meninggalkan Dona yang sibuk dengan barang-barangnya. Aku mencoba mencari di penjuru sekolah dan pergi ke tempat mereka biasanya kumpul tapi  tak ada seorangpun.
Kucoba telpon Kian. Tapi tak ada jawaban. Begitu juga yang lainnya. Sama saja. Masalah ini enggak akan selesai dengan minta maaf saja karena Kian orangnya keras dan enggak mau kalah.
“Pulang aja deh kau cin. Mamak kau pasti udah nyari kau daritadi”, kata Dona. Aku menghela nafas panjang. “Udahlah, besok kan ketahuan gimana. Mending kau pulang dulu bodat. Mamak kau daritadi telpon aku. Aku bilang kau lagi kerja kelompok di rumahku”, imbuhnya.
“Oke. Bye...”, ucapku tak bertenaga. Langkahku gontai memikirkan apa yang akan terjadi pada Radit. Malam inipun kulalui dengan bergadang tak bertujuan.
Dengan menumpang mobil ayah, aku berangkat ke sekolah. Kulihat kasak-kusuk di kelasku. Aku menarik nafas panjang tuk menyiapkan hati dengan apa yang akan kulihat setelahnya.
Selangkah menuju kelas, mataku nanar melihat sosok yang telah lama kusayangi secara diam-diam. Pipinya lebam dan plester luka berlomba menutupi luka yang ada di pinggir bibirnya. Aku terhenyak di tempat dudukku. Dona membisikkan kalau kemarin Kian menghajar Radit habis-habisan.
“Kenapa sweety? Kok mukanya sedih gitu?”, aku tak menanggapi ucapan cowok di depanku. “Kamu kangen aku ya sayang?”, tambahnya lagi.
“Mending kamu pergi deh Ka”, ucapku sedikit tertahan karena kesal.
“Kenapa sih kamu enggak mau sama aku? Apakah aku enggak bisa menjadi penghuni hatimu?”, ucap Dika dengan memegang tanganku dan memandangku lurus.
“ENGGAK!”, bentakku mengibaskan tangannya. “AKU ENGGAK SUKA SAMA KAMU DIKA. KAU TAU ALASANNYA?”, tanyaku dengan membelalak. “ENGGAK PERNAH SEDIKITPUN KAU ADA DI PIKIRANKU. AKU UDAH SUKA SAMA COWOK LAIN. DAN KAU JANGAN GANGGU AKU LAGI. NGERTI ENGGAK? KALAU KAU GANGGU AKU. KUTONJOK KAU”, imbuhku dengan menarik kerah seragam Dika. Aku berani bilang begitu karena aku mengemban Dan Hitam di karate.
“Aku enggak akan pacaran ama teman-teman Jefri. Kalian Cuma anak mami. So, GET OUT”, bentakku untuk yang terakhir kali. Dika memundurkan badannya dan akhirnya keluar dari ruang kelasku. Kelas menjadi hening sesaat. Akhirnya sifat asliku keluar juga. Aku udah enggak peduli lagi dengan sok manis di depan  semuanya. Capek.
Sepanjang pelajaran, aku menatap Radit nanar dengan sembunyi-sembunyi. Dan pada saat istirahat,kuberanikan diri mendekati Radit yang sendirian. Kelas hanya tinggal beberapa butir murid karena mereka tau kelas mulai panas dengan kehadiranku dan mungkin saja mereka mulai ngosip dari ujung ke ujung sekolah.
“Kamu kenapa Dit?”, tanyaku. Radit menatapku dan tersenyum lemah.
“Enggak apa-apa kok Yes. Aku Cuma jatuh dari motor kemarin”, jawab Radit dengan menunduk.
“Jangan bohong Dit.  Kian mukulin kamu kan?”, kejarku. Radit hanya tersenyum. Hatiku semakin sakit. Dia menutupi hal itu. “Maaf Dit, kalau saja aku enggak naik di boncenganmu hari itu, mungkin Kian enggak akan meluapkan emosinya sama kamu”, air bening mulai merembes di pipiku.
“Jangan menangisiku Yes. Itu udah konsekuensiku kok. Membonceng mantan teman baikku”, kata Radit. “Lagipula enggak sepantasnya kamu nangis buat aku. Udah, kamu balik aja ke bangkumu. Aku mau keluar sebentar”, lanjutnya lalu berdiri.
Pulang sekolah, aku menunggu Kian di gerbang sekolah. Kian mengacuhkanku. Aku menarik bajunya sehingga dia jatuh.
“Aku perlu bicara sama kamu”, sergahku dengan cepat. Dengan muka malas Kian menyuruhku naik ke boncengannya. Kami berada di tempat biasanya kami  bolos sekolah,  sebuah sawah yang sangat luas.
“Kamu apa-apaan sih Kian kok  membabi-buta gitu ama Radit?”, serangku.
“Kenapa? Kamu enggak rela Radit kugebukin?”, serang Kian balik. “Lagipula dia udah ngelanggar janji kalau enggak akan dekatin kamu. Itu udah konsekuensi dia kalau dia kuhajar”, ucap Kian dengan menantang.
“Kau gila apa? Kita udah enggak ada hubungan apa-apa. Sinting”, aku membelalakkan mata.
“Aku sinting gara-gara sapa?”, balas Kian. “Gara-gara kamu tau!”, teriak Kian. “Aku sayang banget ama kamu tapi kamu malah selingkuh ama Jefri. Sekarang malah ama Radit. Kau itu cewek enggak tau diri”, cemooh Kian.
“BUK”, sebuah pukulan keras membuat badan besar Kian mundur beberapa langkah dan jatuh ke belakang. Kian memegangi  pipinya dan aku menoleh ke samping. Radit masih mengepalkan tangannya.
“Kau mau belagu Dit di depan dia?”, sambar Kian. Kini Kian berdiri di depan Radit. Perbedaan tubuh dan tinggi badan itu semakin kentara. Radit terlihat tak gentar menghadapi. Dia menangkis bogem mentah dari Kian. Dan tuk yang kedua kalinya Kian terpukul mundur.
“Maaf, kau boleh memukul  aku sampai puas tapi jangan  hina Yesi. Kau jelas tahu apa yang ada di pikiranku dari dulu tapi kamu pura-pura enggak tahu. Untuk saat ini,  aku enggak akan nyerah bro”, tatapan Radit masih terlihat buas menatap Kian. Radit menarik tanganku menjauh dari Kian yang masih tak percaya mendengar ucapan Radit.
Radit membawaku pergi dengan motornya ke rumah Dona. Rumah Dona yang sepi itu membuat kami berani masuk ke ruang tamu. Semua yang ada di ruangan itu terdiam, tak terkecuali Radit yang dari tadi menunduk.
“Maaf Yes, aku melibatkanmu dalam masalah ini”,  ucap Radit. “Ini salahku yang begitu pengecut enggak mau mengakui perasaanku dari dulu. Kamu jadi terombang-ambing dengan cowok-cowok  itu”, lanjut Radit.  Aku masih enggak tahu apa yang Radit katakan. Melihat alisku yang masih mengkerut Radit sadar kalau aku enggak ngerti apa yang dia katakan.
“Aku”, Radit terdiam sesaat. “Aku suka kamu Yes dari dulu”,  ucapnya sambil tertunduk malu. Aku terbelalak sesaat. Kucoba untuk menguasai diriku.
“Kalau aku enggak pengecut, mungkin kamu enggak akan pacaran ama Kian sama Jefri. Dan mungkin kamu enggak akan dicap sebagai playgirl sama cewek enggak tahu diri”, lanjut Radit. Kutatap wajahnya tersenyum. Dadaku sesak mendengar kata-katanya.
“Jangan nangis. Aku minta maaf Yes. Maaf”, Radit menyeretku ke pelukannya. “Aku, akan melindungimu mulai saat ini. Aku akan lebih jujur dengan perasaanku. Aku enggak mau kamu terluka lagi”, imbuh Radit. Aku mengangguk sambil terisak.
“Dit, apa kamu mau nerima aku apa adanya? Apa kamu mau nerima aku yang udah buruk di mata orang lain? Apa kamu enggak apaapa denganku?”, tanyaku bertubi-tubi dengan air mata yang masih mengalir deras.
“Iya Yes. Aku terima kamu apa adanya. Termasuk sifat buasmu. Hehehe”, kekeh Radit.
“Jahat”, kataku sambil memukul Radit.
“Iya-iya. Aku terima kamu apa  adanya Yes. Mulai sekarang, apapun yang terjadi, aku akan tetap ada di sampingmu”, jelas Radit. Aku tersenyum kecil.
“Nah, gitu dong. Coba kalau jujur dari dulu, kan enggak kaya gini jadinya. Kalian sih sok jaim”, celetuk Dona dari dalam. “Itu tuh Dit, si Yesi sebenarnya dari dulu suka ama kau. Tapi dia malah kecantol ama sapalah itu namanya, oh ya si Kian. Emang dasar si bodat Yesi ini, ngerepotin orang ajalh kerjaannya”, cerocos Dona.
“Aku jadi ge-er nih”, kekeh Radit.
“Jahat.  Awas ya kalian berdua”, kataku sambil menggembungkan pipi. Mereka berdua tertawa. Akhirnya Radit mengantarkanku  pulang
“Yes”, aku menoleh mendengar panggilan Radit. “Besok, kita hadapi berdua ya?”, kata Radit dengan tersenyum. Aku mengangguk. Radit mengecup keningku lembut. Dia menoleh setelah menstarter motornya.
“Jaga anak kita baik-baik ya sayang”, kata Radit dengan sedikit teriak.
“Radit gila!”, balasku. Kami terkekeh bersama. Akhirnya dia menghilang dengan sinar matahari senja.
Keesokan harinya, aku bertemu Radit, Dona dan Tio-pacar Dona yang entah kapan jadiannya-di pintu gerbang. Kami bersama-sama menyelaraskan langkah masuk sekolah. Kita berpandangan sejenak dan tersenyum penuh kemenangan.
Aku merasa lebih kuat bersama Radit. Meski banyak kata-kata dan perbuatan yang menyakitiku, kalau bersama Radit, mungkin aku bisa tahan sampai akhir. I love you Radit. Hanya kamu yang bisa menerima bagian dari diriku yang tak bisa diterima oleh pria lain.
“HORAAAS!”, teriak kami bersamaan lalu tertawa terbahak-bahak bersama.

Cerpen Oleh: Esa Mariya Ajikan
Sedikit Tentang Penulis
Pecinta binatang, hobi berenang, cita-cita ingin jadi warga negara Jepang, bertekuk lutut dengan cowok manis, sekarang lagi sok sibuk jadi pendengar yang baik dan pengoceh yang benar.

3 komentar:

Kucing Pipush mengatakan...

weleh...weleh...weleh.... (kayak si komo aja!)
sepertinya sistaku yang cantik ini penggemar beratnya si Raditya Dika a.k.a Dikung a.k.a Mutun a.k.a si Kambing Jantan hehehehe.... :D

sekali lagi makasih banget ya sist...!!! lagi-lagi mau berbagi cerpennya di blog ini :)
arigato gozaimasu

xixixi... ternyata sist Esa ganas banget ya.. (udah tau sih dari dulu :P)
aku harus melindungi *** nih, biar nggak dimakan sist Esa ^^v

Esa mengatakan...

kalau ama bang Dika seh iya zizt. tapi Dika itu kuambil dari nama teman adekku. teruz Radit itu berhubungan dengan Vino. Nama Belakang dia kan Radit zizt. hehehehe.... ;)

mumpung lagi banyak ide zizt. Jadi langzung cap cuz cyiinn hehehehe :D

lho, kan aku memang ganaz zizt... tuh zi Yezi adalah pribadiku yang lain. hehehe... :-o

Kucing Pipush mengatakan...

ow....gitu ta sist...
yowes ndang balikan ja sist ma Veno ^^

iya sist, aku tahu pean ganas
makanya aku harus melindungi si *** biar gak pean bantai :D

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates