Tiba-tiba, seseorang menarik kuncir rambutku. Aku menoleh.
Rupanya Kak Wika, adik Kak Siwa. “Berapa lama kamu mau disini?” tanya Kak Wika.
“Forever.
Biar kalian pusing,” jawabku.
“Bukan
aku yang bakal pusing, tapi Kak Siwa dan istrinya. Aku kan nggak tinggal disini,”
ucapnya santai seraya melangkah menuju rumah.
Aku tahu pertanyaan Kak Wika barusan cuma menggoda. Dia
tahu benar aku akan tinggal disini dalam waktu yang tak ditentukan. Setidaknya,
sampai mereka merasa aku cukup mampu untuk dilepas tinggal sendiri. Meskipun
aku tahu, Kak Siwa dan Kak Wika tak akan pernah bisa melepasku sendiri.
Sejak kematian orang tuaku akibat kecelakaan pesawat
sebulan yang lalu, aku memang harus tinggal bersama Kak Siwa. Karena, aku masih
dianggap belum dewasa.
Saat ini semua yang menyangkut diriku berada dalam tanggung
jawab Kak Siwa dan Kak Wika. Termasuk aset pribadi dan perusahaan peninggalan
orang tuaku.
Jangan berpikir, bahwa Kak Siwa dan Kak Wika ingin menguasai
semua kekayaan orang tuaku. Tidak, mereka bukan orang seperti itu. Kedua kakak
sepupuku itu sangat baik. Mereka sangat menyayangiku seperti adik kandung
mereka.
Aku
adalah anak tunggal dan mereka lah kerabat terdekatku. Makanya, orang tuaku
menunjuk mereka sebagai waliku dalam surat wasiat mereka.
Lalu,
perihal aku tinggal di rumah Kak Siwa dan bukan rumah Kak Wika, itu semata-mata
karena Kak Siwa yang paling tua. Sehingga, dia merasa lebih bertanggung jawab
mengurusku.
“Kok
aku ditinggal…!!!!” protesku demi melihat Kak Wika mulai melangkah ke teras
rumah.
“Kamu
mau diapain..? Digendong..? Males! Kamu kan udah nggak kecil lagi,” balasnya.
“Tunjukin
kamarku dong…!! Masa aku disuruh tidur disini?” sahutku.
“Ya,
ayo masuk!” ajaknya.
Aku
mengikuti Kak Wika memasuki rumah. Sopirku mengikuti dengan setia sambil
membawakan barang-barangku.
“Lagian,
tumben sih kamu nunggu disuruh masuk dulu? Biasanya langsung nyelonong masuk,” tanya
Kak Wika heran.
Aku
tak membalas ucapan Kak Wika dan terus mengikuti Kak Wika sampai ke kamarku.
“Silakan
masuk..!” ucap kak Wika, seraya membukakan pintu kamar. “Semua sudah ditata
rapi, sesuai dengan kamarmu yang asli.” Lanjutnya.
Aku
melangkah memasuki kamar. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar yang
luas itu. Benar juga. Semua yang ada di kamarku yang dulu, sudah bermigrasi
kesini.
“Apakah
barangnya dimasukkan sekarang, Nona Viar?” tanya sopirku.
“Eh,
iya.” Jawabku.
Dan
dia mulai mengangkut semua barang-barangku ke kamar baruku.“Sudah selesai
semua, Nona Viar,” lapornya setelah semua barangku berpindah ke kamar.
“Oke…terima
kasih,” balasku.
“Baik,
saya permisi dulu,” pamitnya seraya melangkah pergi.
“Istrimu
mana?” tanyaku pada Kak Wika.
“Tentu
saja di rumah,” jawabnya singkat.
“Kak
Siwa dan Kak Racha mana sih?” tanyaku lagi.
“Masih
ada urusan sebentar,” jawab Kak Wika. “Kamu istirahat aja ya!”
Aku
mengangguk.
Kak
Wika melangkah keluar kamar. “Oh ya Viar, ngomong-ngomong, kamu masih nakal
nggak?” tanya Kak Wika sebelum benar-benar keluar.
“Ntar
juga tau sendiri,” balasku cuek seraya menutup pintu kamar dan langsung
menghempaskan tubuhku diatas tempat tidur.
Aku
melangkah menuju pintu kamarku yang diketuk-ketuk sedari tadi, dan membukanya. Wajah
Kak Siwa muncul di hadapanku.
“Ada
apa?” tanyaku malas. Rasanya mataku belum sepenuhnya terbuka.
“Udah
malam, cepet mandi dan makan malam!” perintahnya.
Aku
cuma mengangguk, seraya kembali menutup pintu dan melangkah ke kamar mandi yang
ada di dalam kamarku. Setelah 10 menit di kamar mandi, aku keluar dan langsung
ganti baju. Di ruang makan ternyata semua sudah berkumpul. Termasuk Kak Wika
dan istrinya, Kak Reka.
“Kok,
pada ngumpul semua?” tanyaku heran.
“Kan,
menyambut kamu,” jawab Kak Racha, istri Kak Siwa, dengan manis.
“Wow…!!!
Kayak orang penting aja,” balasku tersanjung.
“Udah…nggak
usah banyak coment, ayo makan deh!” sahut kak Wika.
Aku
menurut dan langsung duduk di salah satu kursi. Kak Siwa memulai dengan berdoa
sebelum acara makan dimulai.
“Viar,
karena sekolah barumu belum dimulai, kami mau ngajak kamu liburan. Kamu mau?” tanya
Kak Siwa setelah acara makan selesai.
“Kemana?”
tanyaku.
“Ke
kampung halaman Kak Racha. Tempatnya di pegunungan. Suasananya sangat
menyenangkan. Kamu pasti suka,” jawab Kak Siwa.
“Kamu
bisa main ke hutan dan sungai,” tambah Kak Wika.
“Sepertinya
seru,” sahutku.
“Jadi…kamu
mau?” tanya Kak Siwa.
“Iya,
aku mau!” jawabku.
“Benar,
kamu setuju?” tanya kak Racha. “Kalau kamu ingin liburan ke tempat lain nggak apa-apa
kok, kita akan berlibur kemanapun yang kamu suka,” tambahnya.
Aku
tersenyum. “Makasih…tapi aku senang kok dengan tawaran kalian. Lagipula. aku
kan belum pernah berkunjung ke kampung halaman kak Racha. Kedengarannya
menyenangkan,” balasku.
“Baiklah
kalau kamu setuju. Kita berangkat besok ya!” ujar kak Siwa.
Aku
mengangguk. “Aku masih capek nih, aku mau istirahat dulu ya ,Kak,” pamitku
seraya beranjak dari kursiku.
“Oke..selamat
istirahat…!” balas mereka.
Aku
melangkah meninggalkan ruang makan kembali ke kamarku melanjutkan istirahat.
Keluargaku
yang baik. Mereka benar-benar berusaha membuatku senang. Padahal, aku sudah
baik-baik saja dengan kepergian kedua orang tuaku. Aku sudah bisa menerimanya
dengan baik.
However….aku
beruntung mempunyai keluarga seperti mereka.
Kubuka
lebar jendela kamarku. Kuhirup udara pagi desa di kaki pegunungan yang segar. Ternyata,
kampung halaman Kak Racha sangat menyenangkan.
“Viar…kamu
udah bangun..??” teriak Kak Wika dari luar kamar.
“Iya..!”
seruku singkat.
“Cepat
mandi..! Sarapan udah siap,” lanjutnya seraya melangkahkan kakinya menjauhi
kamarku.
Aku
beranjak dari ambang jendela dan melangkah menuju kamar mandi.
Setelah
sarapan, aku berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Udara disini begitu
bersih dan menyegarkan. Sepertinya diluar lebih menyenangkan.
Aku
mulai melangkahkan kakiku keluar halaman. Bukankah kata Kak Wika aku bisa
bermain di hutan atau sungai.
“Viar,
mau kemana?” tanya Kak Siwa, tiba-tiba muncul di belakangku.
“Mau
jalan-jalan,” jawabku singkat.
“Kemana?”
“Aku
pengin jalan-jalan ke hutan,”
“Jangan
sekarang! Nanti aja sama kakak,”
“Kenapa
nggak sekarang aja?”
“Sekarang
Kak Siwa masih ada urusan. Nanti aja ya!” jelas Kak Siwa.
“Tapi,
aku maunya sekarang,” sahutku. “Udahlah…nggak papa kok aku pergi sendiri,” lanjutku
seraya melangkah.
Kak
Siwa menahanku. “Viar, kamu nggak kenal daerah sini, kalau kamu tersesat
gimana?”
“Aku
nggak akan pergi jauh, nggak akan tersesat!” seruku bersikeras.
“Pokoknya
nggak bisa! Kamu tetap disini!” seru Kak Siwa tegas.
Aku
berusaha melepaskan tanganku dari pegangan Kak Siwa yang menahanku. Tapi Kak
Siwa lebih kuat.
“Kak
Siwa…lepasin dong….! Aku mau pergi sekarang…!” seruku.
“Nggak
bisa!” tegas Kak Siwa.
“Aku
bukan anak kecil! Jangan larang-larang aku!” seruku keras, terus berusaha
melepaskan diri.
“Viar…jangan
bandel!” seru Kak Siwa keras.
Aku
merengut. Bagaimanapun, agak keder juga aku, kalau Kak Siwa sudah bicara keras.
“Ada
apa sih? Rame banget” Kak Wika muncul bersama Kak Reka dan Kak Racha.
“Adik
kamu nih, mau ke hutan sendirian. Padahal, dia kan belum kenal daerah sini,” jawab
Kak Siwa.
“Tapi
aku sudah biasa main ke hutan! Jadi nggak masalah,” sahutku.
“Tapi,
kamu kan belum kenal daerah sini sama sekali, Sayang. Kami semua khawatir kamu
tersesat,” ujar Kak Reka lembut.
“Aku
nggak akan jauh-jauh kok, nggak akan tersesat!”
“Keras
kepala banget sih!” seru Kak Siwa kesal.
“Siwa…jangan
marah-marah begitu,” ucap kak Racha seraya melepaskan tanganku dari pegangan Kak
Siwa.
“Viar
sabar dulu ya, nanti kita pergi sama-sama,” ucap Kak Racha.
“Tapi,
aku pinginnya sekarang!” aku tetap bersikeras.
Semua
menarik nafas panjang.
“Selamat
pagi..!”
Sebuah
suara merdu tiba-tiba muncul.
Kami
semua menoleh ke arah suara tersebut. Seorang cowok cakep berdiri di hadapan
kami semua.
“Aku,
mengganggu ya?” tanyanya.
“Ah…nggak
kok, Kin,” jawab Kak Wika.
“Kenalkan.
Ini adik sepupuku, namanya Viar.” Kak Wika memperkenalkanku pada cowok yang dipanggil
Kin itu.
“Hai…!
Aku Kin,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.
“Viar,”
jawabku seraya membalas uluran tangannya singkat. Mukaku tetap cemberut.
“Sepertinya,
aku datang di saat yang kurang tepat ya,” ucap cowok itu. “Ada apa sih?” tanyanya
kemudian.
“Biasalah…Viar
merajuk,” sahut Kak Wika.
Aku
makin merengut.
Cowok
yang mengaku bernama Kin itu tertawa. “Memangnya kenapa?” tanyanya kemudian.
Kak
Siwa menceritakan pada cowok itu masalah yang terjadi saat ini. Cowok itu
mendengarkan dengan serius. Sepertinya, mereka sudah sangat akrab.
“Bagaimana,
kalau aku yang menemani?” tawar cowok itu kemudian.
Aku
menatapnya.
“Mau?”
tanyanya padaku.
“Benar?”
aku balik nanya.
Dia
mengangguk mantap dan tersenyum manis.
“Kamu
yakin Kin? Viar ini nakal lho!” Kak Wika memperingatkan.
“Aku
nggak nakal kok!” belaku.
Kak
Kin tersenyum. “Ya udah…ayo pergi!” ajaknya.
“Ayo!”
balasku bersemangat.
Tanpa
pamit lagi sama kakak-kakaku, aku langsung melangkah mendului Kak Kin keluar
rumah.
Aku
berjalan memasuki hutan dan menyibak rimbunan semak yang menghalangi jalanku. Sudah
cukup lama aku tidak jalan-jalan ke hutan. Aku jadi sangat bersemangat.
“Viar…hati-hati..!!!”
seru Kak Kin.
Aku
menurut dan memperlambat langkahku. “Kak Kin orang asli sini ya?” tanyaku.
Kak
Kin mengangguk.
“Jadi,
hafal daerah sini dong!” sahutku.
“Aku
emang sering main kesini sejak kecil. Tapi hutan itu sesuatu yang unik. Sesering
apapun kita kunjungi, tetap saja ada yang selalu berubah,” jawab Kak Kin.
“Jadi,
bahkan Kak Kin juga bisa aja tersesat dong,” ucapku.
“Yeah
bisa aja…semua orang bisa tersesat,” jawabnya.
“Kalau
kita tersesat gimana?” tanyaku.
Kak
Kin tersenyum. “Ikutin feeling aja! Biarkan kaki melangkah,” jawabnya santai.
Aku
tersenyum kecil. Asal banget nih orang.
“Kamu
bisa berenang?” tanya kak Kin.
Aku
mengangguk.
“Mau
berenang?” tanyanya lagi.
Kami
berhenti tepat di pinggir sungai yang airnya sangat jernih.
“Saat
ini lagi nggak pengin,” sahutku.
Kak
Kin melepas t-shirtnya dan menceburkan dirinya ke sungai.
“Aku
suka sekali sungai! Aku tak tahan untuk berenang kalau melihat sungai,” jelasnya
sambil terus berenang di air sungai ynag bening.
Aku
duduk di atas sebatang pohon di pinggir sungai.
“Yakin
nggak mau ikut berenang? Airnya segar lho..!!!” promosinya.
Aku
menggeleng pelan. “Kak Kin sering berenang disini?” tanyaku.
“Yeah….seperti
aku bilang tadi, aku suka sekali sungai,” jawabnya.
“Kak
Kin sudah lama kenal Kak Siwa dan Kak Wika?” tanyaku.
“Yeah…mereka
sering kesini,”
“Kak
Kin teman kak Racha?” tanyaku lagi.
“Yeah….kami
teman dekat sejak kecil,” sahutnya.
“Kalian
dulu pacaran?”
Kak
Kin tertawa keras mendengar pertanyaanku. “Nggak lah…kami tumbuh bersama. Kami
dekat seperti saudara,” jawabnya.
“Kamu
tahu nggak? Sejak pertama lihat kamu, aku seperti melihat Racha yang dulu,” ucapnya
lagi.
“Maksudnya?”
“Watak
kamu dan Racha tuh sama. Bersemangat, pemberontak, dan nggak mau diatur.” Jelasnya.
“Tahu
darimana sifatku kayak gitu?” tanyaku.
“Sudah
keliahatan sejak pertama ketemu kamu,” jawabnya. “Lagipula, Wika sudah cerita
sedikit sih tentang kamu,” tambahnya.
“Tapi
aku nggak senakal itu kok! Aku kadang-kadang menurut,” belaku.
Kak
Kin tertawa. “Iya…aku tahu…! Kamu kan, anak yang baik,” balasnya.
Aku
tersenyum dan tak bertanya apa-apa lagi. Kak Kin terus berenang dengan gembira.
Kelihatannya, dia memang suka sekali dengan sungai.
Sudah
seminggu aku liburan di kampung halaman kak Racha. Minggu depan, sekolah baruku
akan dimulai.
Selama
liburan disini, Kak Kin selalu menemaniku. Dia mengajakku berkeliling ke
seluruh penjuru desa, menjelajahi hutan dan sungai-sungai, berjalan-jalan ke
kota, juga bermain-main di peternakan sapi dan kambing milik Kak Kin.
Kak
Kin juga mengajakku memanen macam-macam buah di perkebunan milik orang tuanya
yang sangat luas.
Yang
jelas, selama seminggu aku disini, Kak Kin selalu mengajakku bersenang-senang.
Tapi
sayang, besok aku harus kembali ke kota. Masih banyak yang harus dipersiapkan
untuk masuk sekolah yang baru. Itu artinya aku harus berpisah dengan Kak Kin.
Padahal,
baru seminggu aku mengenalnya. Tapi rasanya aku sudah sangat dekat dengannya
dan berat sekali berpisah dengannya.
“Ngelamun
aja nih…!” suara khas Kak Kin muncul tiba-tiba.
Aku
menoleh. “Syirik aja!” sahutku.
Kak
Kin tertawa kecil dan duduk di sebelahku. “Lagian, ngapain sih malam-malam duduk
sendirian? Ntar kesurupan lho!” ucapnya.
“Ih….do’ain
ya..??!!!” sahutku sewot.
“Nggak
do’ain…tapi bisa saja kan terjadi,” balasnya santai.
Aku
cuma mencibir.
“Besok
kamu pulang ya?!” tanya Kak Kin.
Aku
mengangguk.
“Sayang
sekali,” gumamnya. “Padahal aku senang kamu disini,”
Aku
menatapnya dan tersenyum kecil.
“Kamu
senang disini?” tanya Kak Kin kemudian.
“Yeah…disini
sangat menyenangkan. Banyak hal baru yang kupelajari disini,” jawabku. “Terima
kasih ya, sudah mau menemaniku,” tambahku.
“Aku
senang bisa menemanimu,” sahutnya. “Kamu sangat menyenangkan,”
Aku
hanya tersenyum kecil dan tidak berkata apa-apa lagi.
“Sudah
malam. Sebaiknya kamu tidur! Besok kamu berangkat pagi kan,” ucap Kak Kin.
Aku
mengangguk seraya berdiri. “Selamat malam, Kak Kin!” pamitku seraya pergi
meninggalkan Kak Kin yang masih duduk di bangku taman di depan rumah.
Aku
memasukkan barang-barangku ke dalam bagasi mobil. Sebentar lagi, aku
benar-benar harus berpisah dengan tempat ini.
“Perlu
bantuan?” lagi-lagi suara Kak Kin muncul tiba-tiba.
“Selalu
saja muncul tiba-tiba, mengagetkan orang saja!” omelku.
“Maaf,”
sahutnya singkat. “Jadi, perlu bantuan?”
“Nggak
perlu,” balasku seraya memasukkan barang terakhirku ke dalam bagasi.
“Hai
Kin..! Mau ikut sekalian?” tanya Kak Siwa yang baru muncul.
“Nggak
deh…mungkin next time,” balas Kak Kin.
“Benar
ya…kapan-kapan kesana!” seruku.
“Iya…pasti
kesana,” sahutnya. “Kalau ada waktu,” tambahnya.
Aku
merengut. Itu berarti dia nggak janji.
“Lebih
baik kamu sering-sering kesana Kin, bantu Kak Siwa menghadapi kucing yang
sangat nakal,” ujar Kak Wika. “Kucing itu kan, nurutnya cuma sama kamu,”
“Kucing
itu, Viar maksudnya?” tanya Kak Kin.
“Udah
tahu kan..!” balas Kak Wika.
Dengan
kesal aku menggigit lengan kak Wika.
“Tuh
kan, galak…!” ledek Kak Wika.
Aku
makin merengut. Sementara yang lain malah ketawa.
“Udah….jangan
cemberut terus…ntar jelek lho!” ucap Kak Kin.
“Biarin!”
seruku cuek.
Kak
Kin tertawa. “Iya deh…aku janji akan kesana dalam waktu dekat,” ucapnya
kemudian.
“Benar
ya..?!”
“Janji!”
balasnya sambil mengacungkan dua jarinya.
Aku
tersenyum senang.
“Ya
udah, ayo kita berangkat!” ajak Kak Siwa.
Kami
semua mulai memasuki mobil.
“Hati-hati
ya!” pesan Kak Kin.
“Smpai
jumpa Kak Kin..!” pamitku seraya melambaikan tangan. “Bener ya kesana..?! Aku
tunggu lho..!”
“Bye!”
balas Kak Kin singkat, sambil melambaikan tangannya.
Mobil
yang dikemudikan Kak Siwa meluncur menjauhi halaman rumah. Aku terus melambai
pada Kak Kin sampai mobil benar-benar menjauh.
Kak
Kin yang sangat baik dan penuh perhatian. Rasanya berat sekali berpisah
dengannya. Hh…mungkin aku sudah jatuh cinta padanya.
~~~~~~~~
By:
Cepi R Dini {KucingPipush}
0 komentar:
Posting Komentar