Senin, 17 September 2012

KAK KIN YANG BAIK


Mobil yang mengangkutku berhenti di halaman rumah Kak Siwa yang luas. Aku keluar dari mobil dan menatap rumah besar di hadapanku. Sementara, sopirku langsung mengeluarkan barang-barangku.
            Tiba-tiba, seseorang menarik kuncir rambutku. Aku menoleh. Rupanya Kak Wika, adik Kak Siwa. “Berapa lama kamu mau disini?” tanya Kak Wika.
“Forever. Biar kalian pusing,” jawabku.
“Bukan aku yang bakal pusing, tapi Kak Siwa dan istrinya. Aku kan nggak tinggal disini,” ucapnya santai seraya melangkah menuju rumah.
            Aku tahu pertanyaan Kak Wika barusan cuma menggoda. Dia tahu benar aku akan tinggal disini dalam waktu yang tak ditentukan. Setidaknya, sampai mereka merasa aku cukup mampu untuk dilepas tinggal sendiri. Meskipun aku tahu, Kak Siwa dan Kak Wika tak akan pernah bisa melepasku sendiri.
            Sejak kematian orang tuaku akibat kecelakaan pesawat sebulan yang lalu, aku memang harus tinggal bersama Kak Siwa. Karena, aku masih dianggap belum dewasa.
            Saat ini semua yang menyangkut diriku berada dalam tanggung jawab Kak Siwa dan Kak Wika. Termasuk aset pribadi dan perusahaan peninggalan orang tuaku.
            Jangan berpikir, bahwa Kak Siwa dan Kak Wika ingin menguasai semua kekayaan orang tuaku. Tidak, mereka bukan orang seperti itu. Kedua kakak sepupuku itu sangat baik. Mereka sangat menyayangiku seperti adik kandung mereka.
Aku adalah anak tunggal dan mereka lah kerabat terdekatku. Makanya, orang tuaku menunjuk mereka sebagai waliku dalam surat wasiat mereka.
Lalu, perihal aku tinggal di rumah Kak Siwa dan bukan rumah Kak Wika, itu semata-mata karena Kak Siwa yang paling tua. Sehingga, dia merasa lebih bertanggung jawab mengurusku.
“Kok aku ditinggal…!!!!” protesku demi melihat Kak Wika mulai melangkah ke teras rumah.
“Kamu mau diapain..? Digendong..? Males! Kamu kan udah nggak kecil lagi,” balasnya.
“Tunjukin kamarku dong…!! Masa aku disuruh tidur disini?” sahutku.
“Ya, ayo masuk!” ajaknya.
Aku mengikuti Kak Wika memasuki rumah. Sopirku mengikuti dengan setia sambil membawakan barang-barangku.
“Lagian, tumben sih kamu nunggu disuruh masuk dulu? Biasanya langsung nyelonong masuk,” tanya Kak Wika heran.
Aku tak membalas ucapan Kak Wika dan terus mengikuti Kak Wika sampai ke kamarku.
“Silakan masuk..!” ucap kak Wika, seraya membukakan pintu kamar. “Semua sudah ditata rapi, sesuai dengan kamarmu yang asli.” Lanjutnya.
Aku melangkah memasuki kamar. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar yang luas itu. Benar juga. Semua yang ada di kamarku yang dulu, sudah bermigrasi kesini.
“Apakah barangnya dimasukkan sekarang, Nona Viar?” tanya sopirku.
“Eh, iya.” Jawabku.
Dan dia mulai mengangkut semua barang-barangku ke kamar baruku.“Sudah selesai semua, Nona Viar,” lapornya setelah semua barangku berpindah ke kamar.
“Oke…terima kasih,” balasku.
“Baik, saya permisi dulu,” pamitnya seraya melangkah pergi.
“Istrimu mana?” tanyaku pada Kak Wika.
“Tentu saja di rumah,” jawabnya singkat.
“Kak Siwa dan Kak Racha mana sih?” tanyaku lagi.
“Masih ada urusan sebentar,” jawab Kak Wika. “Kamu istirahat aja ya!”
Aku mengangguk.
Kak Wika melangkah keluar kamar. “Oh ya Viar, ngomong-ngomong, kamu masih nakal nggak?” tanya Kak Wika sebelum benar-benar keluar.
“Ntar juga tau sendiri,” balasku cuek seraya menutup pintu kamar dan langsung menghempaskan tubuhku diatas tempat tidur.
                                                           
Aku melangkah menuju pintu kamarku yang diketuk-ketuk sedari tadi, dan membukanya. Wajah Kak Siwa muncul di hadapanku.
“Ada apa?” tanyaku malas. Rasanya mataku belum sepenuhnya terbuka.
“Udah malam, cepet mandi dan makan malam!” perintahnya.
Aku cuma mengangguk, seraya kembali menutup pintu dan melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Setelah 10 menit di kamar mandi, aku keluar dan langsung ganti baju. Di ruang makan ternyata semua sudah berkumpul. Termasuk Kak Wika dan istrinya, Kak Reka.
“Kok, pada ngumpul semua?” tanyaku heran.
“Kan, menyambut kamu,” jawab Kak Racha, istri Kak Siwa, dengan manis.
“Wow…!!! Kayak orang penting aja,” balasku tersanjung.
“Udah…nggak usah banyak coment, ayo makan deh!” sahut kak Wika.
Aku menurut dan langsung duduk di salah satu kursi. Kak Siwa memulai dengan berdoa sebelum acara makan dimulai.
                                                           
“Viar, karena sekolah barumu belum dimulai, kami mau ngajak kamu liburan. Kamu mau?” tanya Kak Siwa setelah acara makan selesai.
“Kemana?” tanyaku.
“Ke kampung halaman Kak Racha. Tempatnya di pegunungan. Suasananya sangat menyenangkan. Kamu pasti suka,” jawab Kak Siwa.
“Kamu bisa main ke hutan dan sungai,” tambah Kak Wika.
“Sepertinya seru,” sahutku.
“Jadi…kamu mau?” tanya Kak Siwa.
“Iya, aku mau!” jawabku.
“Benar, kamu setuju?” tanya kak Racha. “Kalau kamu ingin liburan ke tempat lain nggak apa-apa kok, kita akan berlibur kemanapun yang kamu suka,” tambahnya.
Aku tersenyum. “Makasih…tapi aku senang kok dengan tawaran kalian. Lagipula. aku kan belum pernah berkunjung ke kampung halaman kak Racha. Kedengarannya menyenangkan,” balasku.
“Baiklah kalau kamu setuju. Kita berangkat besok ya!” ujar kak Siwa.
Aku mengangguk. “Aku masih capek nih, aku mau istirahat dulu ya ,Kak,” pamitku seraya beranjak dari kursiku.
“Oke..selamat istirahat…!” balas mereka.
Aku melangkah meninggalkan ruang makan kembali ke kamarku melanjutkan istirahat.
Keluargaku yang baik. Mereka benar-benar berusaha membuatku senang. Padahal, aku sudah baik-baik saja dengan kepergian kedua orang tuaku. Aku sudah bisa menerimanya dengan baik.
However….aku beruntung mempunyai keluarga seperti mereka.
                                                           
Kubuka lebar jendela kamarku. Kuhirup udara pagi desa di kaki pegunungan yang segar. Ternyata, kampung halaman Kak Racha sangat menyenangkan.
“Viar…kamu udah bangun..??” teriak Kak Wika dari luar kamar.
“Iya..!” seruku singkat.
“Cepat mandi..! Sarapan udah siap,” lanjutnya seraya melangkahkan kakinya menjauhi kamarku.
Aku beranjak dari ambang jendela dan melangkah menuju kamar mandi.
                                                           
Setelah sarapan, aku berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Udara disini begitu bersih dan menyegarkan. Sepertinya diluar lebih menyenangkan.
Aku mulai melangkahkan kakiku keluar halaman. Bukankah kata Kak Wika aku bisa bermain di hutan atau sungai.
“Viar, mau kemana?” tanya Kak Siwa, tiba-tiba muncul di belakangku.
“Mau jalan-jalan,” jawabku singkat.
“Kemana?”
“Aku pengin jalan-jalan ke hutan,”
“Jangan sekarang! Nanti aja sama kakak,”
“Kenapa nggak sekarang aja?”
“Sekarang Kak Siwa masih ada urusan. Nanti aja ya!” jelas Kak Siwa.
“Tapi, aku maunya sekarang,” sahutku. “Udahlah…nggak papa kok aku pergi sendiri,” lanjutku seraya melangkah.
Kak Siwa menahanku. “Viar, kamu nggak kenal daerah sini, kalau kamu tersesat gimana?”
“Aku nggak akan pergi jauh, nggak akan tersesat!” seruku bersikeras.
“Pokoknya nggak bisa! Kamu tetap disini!” seru Kak Siwa tegas.
Aku berusaha melepaskan tanganku dari pegangan Kak Siwa yang menahanku. Tapi Kak Siwa lebih kuat.
“Kak Siwa…lepasin dong….! Aku mau pergi sekarang…!” seruku.
“Nggak bisa!” tegas Kak Siwa.
“Aku bukan anak kecil! Jangan larang-larang aku!” seruku keras, terus berusaha melepaskan diri.
“Viar…jangan bandel!” seru Kak Siwa keras.
Aku merengut. Bagaimanapun, agak keder juga aku, kalau Kak Siwa sudah bicara keras.
“Ada apa sih? Rame banget” Kak Wika muncul bersama Kak Reka dan Kak Racha.
“Adik kamu nih, mau ke hutan sendirian. Padahal, dia kan belum kenal daerah sini,” jawab Kak Siwa.
“Tapi aku sudah biasa main ke hutan! Jadi nggak masalah,” sahutku.
“Tapi, kamu kan belum kenal daerah sini sama sekali, Sayang. Kami semua khawatir kamu tersesat,” ujar Kak Reka lembut.
“Aku nggak akan jauh-jauh kok, nggak akan tersesat!”
“Keras kepala banget sih!” seru Kak Siwa kesal.
“Siwa…jangan marah-marah begitu,” ucap kak Racha seraya melepaskan tanganku dari pegangan Kak Siwa.
“Viar sabar dulu ya, nanti kita pergi sama-sama,” ucap Kak Racha.
“Tapi, aku pinginnya sekarang!” aku tetap bersikeras.
Semua menarik nafas panjang.
“Selamat pagi..!”
Sebuah suara merdu tiba-tiba muncul.
Kami semua menoleh ke arah suara tersebut. Seorang cowok cakep berdiri di hadapan kami semua.
“Aku, mengganggu ya?” tanyanya.
“Ah…nggak kok, Kin,” jawab Kak Wika.
“Kenalkan. Ini adik sepupuku, namanya Viar.” Kak Wika memperkenalkanku pada cowok yang dipanggil Kin itu.
“Hai…! Aku Kin,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.
“Viar,” jawabku seraya membalas uluran tangannya singkat. Mukaku tetap cemberut.
“Sepertinya, aku datang di saat yang kurang tepat ya,” ucap cowok itu. “Ada apa sih?” tanyanya kemudian.
“Biasalah…Viar merajuk,” sahut Kak Wika.
Aku makin merengut.
Cowok yang mengaku bernama Kin itu tertawa. “Memangnya kenapa?” tanyanya kemudian.
Kak Siwa menceritakan pada cowok itu masalah yang terjadi saat ini. Cowok itu mendengarkan dengan serius. Sepertinya, mereka sudah sangat akrab.
“Bagaimana, kalau aku yang menemani?” tawar cowok itu kemudian.
Aku menatapnya.
“Mau?” tanyanya padaku.
“Benar?” aku balik nanya.
Dia mengangguk mantap dan tersenyum manis.
“Kamu yakin Kin? Viar ini nakal lho!” Kak Wika memperingatkan.
“Aku nggak nakal kok!” belaku.
Kak Kin tersenyum. “Ya udah…ayo pergi!” ajaknya.
“Ayo!” balasku bersemangat.
Tanpa pamit lagi sama kakak-kakaku, aku langsung melangkah mendului Kak Kin keluar rumah.
                                                           
Aku berjalan memasuki hutan dan menyibak rimbunan semak yang menghalangi jalanku. Sudah cukup lama aku tidak jalan-jalan ke hutan. Aku jadi sangat bersemangat.
“Viar…hati-hati..!!!” seru Kak Kin.
Aku menurut dan memperlambat langkahku. “Kak Kin orang asli sini ya?” tanyaku.
Kak Kin mengangguk.
“Jadi, hafal daerah sini dong!” sahutku.
“Aku emang sering main kesini sejak kecil. Tapi hutan itu sesuatu yang unik. Sesering apapun kita kunjungi, tetap saja ada yang selalu berubah,” jawab Kak Kin.
“Jadi, bahkan Kak Kin juga bisa aja tersesat dong,” ucapku.
“Yeah bisa aja…semua orang bisa tersesat,” jawabnya.
“Kalau kita tersesat gimana?” tanyaku.
Kak Kin tersenyum. “Ikutin feeling aja! Biarkan kaki melangkah,” jawabnya santai.
Aku tersenyum kecil. Asal banget nih orang.
“Kamu bisa berenang?” tanya kak Kin.
Aku mengangguk.
“Mau berenang?” tanyanya lagi.
Kami berhenti tepat di pinggir sungai yang airnya sangat jernih.
“Saat ini lagi nggak pengin,” sahutku.
Kak Kin melepas t-shirtnya dan menceburkan dirinya ke sungai.
“Aku suka sekali sungai! Aku tak tahan untuk berenang kalau melihat sungai,” jelasnya sambil terus berenang di air sungai ynag bening.
Aku duduk di atas sebatang pohon di pinggir sungai.
“Yakin nggak mau ikut berenang? Airnya segar lho..!!!” promosinya.
Aku menggeleng pelan. “Kak Kin sering berenang disini?” tanyaku.
“Yeah….seperti aku bilang tadi, aku suka sekali sungai,” jawabnya.
“Kak Kin sudah lama kenal Kak Siwa dan Kak Wika?” tanyaku.
“Yeah…mereka sering kesini,”
“Kak Kin teman kak Racha?” tanyaku lagi.
“Yeah….kami teman dekat sejak kecil,” sahutnya.
“Kalian dulu pacaran?”
Kak Kin tertawa keras mendengar pertanyaanku. “Nggak lah…kami tumbuh bersama. Kami dekat seperti saudara,” jawabnya.
“Kamu tahu nggak? Sejak pertama lihat kamu, aku seperti melihat Racha yang dulu,” ucapnya lagi.
“Maksudnya?”
“Watak kamu dan Racha tuh sama. Bersemangat, pemberontak, dan nggak mau diatur.” Jelasnya.
“Tahu darimana sifatku kayak gitu?” tanyaku.
“Sudah keliahatan sejak pertama ketemu kamu,” jawabnya. “Lagipula, Wika sudah cerita sedikit sih tentang kamu,” tambahnya.
“Tapi aku nggak senakal itu kok! Aku kadang-kadang menurut,” belaku.
Kak Kin tertawa. “Iya…aku tahu…! Kamu kan, anak yang baik,” balasnya.
Aku tersenyum dan tak bertanya apa-apa lagi. Kak Kin terus berenang dengan gembira. Kelihatannya, dia memang suka sekali dengan sungai.
                                                           
Sudah seminggu aku liburan di kampung halaman kak Racha. Minggu depan, sekolah baruku akan dimulai.
Selama liburan disini, Kak Kin selalu menemaniku. Dia mengajakku berkeliling ke seluruh penjuru desa, menjelajahi hutan dan sungai-sungai, berjalan-jalan ke kota, juga bermain-main di peternakan sapi dan kambing milik Kak Kin.
Kak Kin juga mengajakku memanen macam-macam buah di perkebunan milik orang tuanya yang sangat luas.
Yang jelas, selama seminggu aku disini, Kak Kin selalu mengajakku bersenang-senang.
Tapi sayang, besok aku harus kembali ke kota. Masih banyak yang harus dipersiapkan untuk masuk sekolah yang baru. Itu artinya aku harus berpisah dengan Kak Kin.
Padahal, baru seminggu aku mengenalnya. Tapi rasanya aku sudah sangat dekat dengannya dan berat sekali berpisah dengannya.
“Ngelamun aja nih…!” suara khas Kak Kin muncul tiba-tiba.
Aku menoleh. “Syirik aja!” sahutku.
Kak Kin tertawa kecil dan duduk di sebelahku. “Lagian, ngapain sih malam-malam duduk sendirian?  Ntar kesurupan lho!” ucapnya.
“Ih….do’ain ya..??!!!” sahutku sewot.
“Nggak do’ain…tapi bisa saja kan terjadi,” balasnya santai.
Aku cuma mencibir.
“Besok kamu pulang ya?!” tanya Kak Kin.
Aku mengangguk.
“Sayang sekali,” gumamnya. “Padahal aku senang kamu disini,”
Aku menatapnya dan tersenyum kecil.
“Kamu senang disini?” tanya Kak Kin kemudian.
“Yeah…disini sangat menyenangkan. Banyak hal baru yang kupelajari disini,” jawabku. “Terima kasih ya, sudah mau menemaniku,” tambahku.
“Aku senang bisa menemanimu,” sahutnya. “Kamu sangat menyenangkan,”
Aku hanya tersenyum kecil dan tidak berkata apa-apa lagi.
“Sudah malam. Sebaiknya kamu tidur! Besok kamu berangkat pagi kan,” ucap Kak Kin.
Aku mengangguk seraya berdiri. “Selamat malam, Kak Kin!” pamitku seraya pergi meninggalkan Kak Kin yang masih duduk di bangku taman di depan rumah.
                                                           
Aku memasukkan barang-barangku ke dalam bagasi mobil. Sebentar lagi, aku benar-benar harus berpisah dengan tempat ini.
“Perlu bantuan?” lagi-lagi suara Kak Kin muncul tiba-tiba.
“Selalu saja muncul tiba-tiba, mengagetkan orang saja!” omelku.
“Maaf,” sahutnya singkat. “Jadi, perlu bantuan?”
“Nggak perlu,” balasku seraya memasukkan barang terakhirku ke dalam bagasi.
“Hai Kin..! Mau ikut sekalian?” tanya Kak Siwa yang baru muncul.
“Nggak deh…mungkin next time,” balas Kak Kin.
“Benar ya…kapan-kapan kesana!” seruku.
“Iya…pasti kesana,” sahutnya. “Kalau ada waktu,” tambahnya.
Aku merengut. Itu berarti dia nggak janji.
“Lebih baik kamu sering-sering kesana Kin, bantu Kak Siwa menghadapi kucing yang sangat nakal,” ujar Kak Wika. “Kucing itu kan, nurutnya cuma sama kamu,”
“Kucing itu, Viar maksudnya?” tanya Kak Kin.
“Udah tahu kan..!” balas Kak Wika.
Dengan kesal aku menggigit lengan kak Wika.
“Tuh kan, galak…!” ledek Kak Wika.
Aku makin merengut. Sementara yang lain malah ketawa.
“Udah….jangan cemberut terus…ntar jelek lho!” ucap Kak Kin.
“Biarin!” seruku cuek.
Kak Kin tertawa. “Iya deh…aku janji akan kesana dalam waktu dekat,” ucapnya kemudian.
“Benar ya..?!”
“Janji!” balasnya sambil mengacungkan dua jarinya.
Aku tersenyum senang.
“Ya udah, ayo kita berangkat!” ajak Kak Siwa.
Kami semua mulai memasuki mobil.
“Hati-hati ya!” pesan Kak Kin.
“Smpai jumpa Kak Kin..!” pamitku seraya melambaikan tangan. “Bener ya kesana..?! Aku tunggu lho..!”
“Bye!” balas Kak Kin singkat, sambil melambaikan tangannya.
Mobil yang dikemudikan Kak Siwa meluncur menjauhi halaman rumah. Aku terus melambai pada Kak Kin sampai mobil benar-benar menjauh.
Kak Kin yang sangat baik dan penuh perhatian. Rasanya berat sekali berpisah dengannya. Hh…mungkin aku sudah jatuh cinta padanya.  
                                                            ~~~~~~~~


By: Cepi R Dini {KucingPipush}

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates