Ditto berjalan pulang
sendirian. Wajahnya tampak lesu. Minggu depan akan ada pertandingan sepak bola
antar Sekolah Dasar. Tapi, Ditto tidak punya sepatu bola untuk dipakai pada
pertandingan nanti. Selama ini, Ditto selalu latihan dengan mengenakan sepatu
olahraga biasa. Guru olahraga yang menjadi pelatih tim sepak bola sekolahnya
memaklumi keadaan Ditto. Tapi, untuk pertandingan nanti, Ditto harus mengenakan
sepatu sepak bola. Begitulah aturannya.
Sebenarnya
Ditto sudah lama meminta orang tuanya membelikan sepatu bola untuknya. Tetapi,
pekerjaan ayahnya yang hanya pegawai perusahaan sepatu rumahan dan ibunya yang
seorang penjahit, tidak bisa memenuhi permintaan Ditto untuk membeli sepatu
bola yang berharga mahal tersebut. Untuk menabung pun, Ditto susah. Uang saku
Ditto hanya cukup untuk membeli sebuah roti dan es teh di kantin. Bahkan, Ditto
sering terpaksa tidak jajan di sekolah karena ibunya tak punya cukup uang untuk
memberi Ditto uang saku.
Jika sampai saatnya pertandingan nanti Ditto
tetap tidak punya sepatu bola, terpaksa Ditto tidak bisa ikut pertandingan
tersebut. Padahal Ditto adalah kapten dalam timnya. Ditto juga pemain terbaik
dalam tim sepak bola sekolahnya itu. Akan sangat disayangkan jika Ditto sampai
tidak bisa mengikuti pertandingan tersebut.
Tuk!
Tiba-tiba kaki Ditto tersandung sesuatu. Sebuah tas tangan kecil berwarna merah
muda, tergeletak di atas jalanan berpaving. Tepat di ujung sepatu Ditto.
Sejenak Ditto hanya diam mengamati benda tersebut. Rasanya Ditto tak asing dengan
benda itu. Ditto membungkuk untuk memungut tas tangan kecil itu.
Ya,
benar! Ditto memang mengenal tas tangan kecil tersebut. Tas tangan kecil itu
memang milik Rani, teman sekelas Ditto yang berasal dari keluarga kaya raya.
Tadi
di sekolah, Rani memang memamerkan tas tangan kecil berwarna merah muda itu
pada teman-teman sekelasnya. Katanya, tas itu pemberian tantenya yang tinggal
di luar negeri. Katanya lagi, tas itu asli buatan Italia. Tak cuma itu, Rani
juga memamerkan uangnya yang sangat banyak memenuhi tas kecil berwarna merah
muda tersebut. Uang itu dia peroleh dari om-om dan tante-tantenya pada waktu
liburan sekolah beberapa waktu yang lalu. Agar aman dan tidak cepat habis, uang
itu akan Rani tabungkan di bank.
Teman-teman
sekelas Ditto sangat kagum mendengar cerita Rani. Untuk ukuran anak kelas 4 SD,
mempunyai uang sebanyak itu untuk ditabung di bank adalah hal yang mengagumkan.
Tak semua anak kelas 4 SD bisa memiliki tabungan di bank. Apalagi berisi uang
sebanyak itu. Ditto bahkan tak tahu berapa jumlah uang yang dipamerkan Rani
tadi. Ditto belum pernah melihat uang berwarna merah dan biru sebanyak itu.
Perlahan,
tangan Ditto membuka resleting penutup tas kecil itu. Di dalamnya terdapat uang
yang sangat banyak. Persis seperti yang dipamerkan Rani di sekolah tadi.
Sejenak Ditto bingung, apa yang harus dilakukannya. Tapi, kemudian Ditto
memutuskan memasukkan tas tangan kecil berwarna merah muda tersebut ke dalam
tas sekolahnya. Lalu Ditto cepat-cepat berjalan pulang ke rumah.
Di dalam kamarnya, Ditto hanya diam memandangi
tas tangan kecil berwarna merah muda yang ada di tangannya. Sesekali Ditto
mengintip isi tas itu. Ditto tak tahu berapa jumlah uang dalam tas itu. Tapi
sepertinya banyak sekalih. Karena hampir seluruhnya terdiri dari nominal lima
puluh dan seratus ribu rupiah. Dengan uang sebanyak itu, Ditto bisa membeli
sepatu bola untuk dipakainya pada pertandingan sepak bola minggu depan.
“Rani
kan, anak orang kaya. Dia nggak akan terlalu kehilangan uang ini. Nanti juga
dia akan dapat lagi,” pikir Ditto.
“Tapi,
kamu nggak boleh mengambil milik orang lain, Ditto!” suara hati Ditto berbisik.
“Tapi
kan, aku nggak ngambil. Aku cuma menemukan,”
“Sama
aja! Itu kan bukan milik kamu!”
Perang
batin Ditto terus terjadi. Antara keinginan untuk memiliki uang itu untuk
membeli sepatu bola, atau mengembalikan uang itu pada pemiliknya. Tiba-tiba
Ditto teringat pada pesan ibunya.
“Meskipun
kita miskin, kita tidak boleh mengambil milik orang lain. Barang yang ditemukan
secara tak sengaja juga termasuk milik orang lain. Maka, jika kita menemukan
barang di mana saja, kita wajib mengembalikan pada pemiliknya.”
Setelah
teringat pesan ibunya, tiba-tiba Ditto merasa malu sempat berpikir akan
mengambil uang itu untuk membeli sepatu bola. Kalau ibunya tahu, ibunya pasti
merasa sangat kecewa.
“Aku
nggak boleh ambil uang ini. Aku harus mengembalikannya,” ucap Ditto, seraya beranjak
dari kamarnya. Cepat-cepat berlari menuju rumah Rani.
Ditto
memencet bel di samping pagar rumah Rani. Tak lama, Bik Surti, salah seorang
pembantu Rani muncul membukakan pintu pagar.
“Cari
siapa?” tanya Bik Surti.
“Eh,
saya mau ketemu Rani, Bik.” Jawab Ditto.
“Silakan
masuk dan duduk dulu. Akan saya panggilkan Non Rani,” Bik Surti mempersilakan
Ditto masuk , lalu melangkah ke dalam rumah.
Ditto
duduk di ruang tamu. Tak lama, Rani muncul. Wajahnya terlihat kusut. Matanya
sembab, seperti habis menangis.
“Eh,
Ditto? Tumben main. Ada apa?” tanya Rani langsung, seraya duduk di depan Ditto.
“Muka
kamu kenapa Rani? Kamu habis nangis ya?” Ditto balik bertanya.
Rani
tak menjawab. Hanya tersenyum kecil. “Sebenarnya, kamu ada perlu apa sama aku?”
tanya Rani mengalihkan.
“Eh,
ini. Tadi di jalan, aku menemukan tas ini.” jawab Ditto seraya menyerahkan tas
tangan kecil itu pada Rani.
“Eh,
ini kan tasku yang hilang!” seru Rani seraya menagmbil tas itu dari tangan
Ditto. “Terima kasih ya, Ditto! Kamu sudah mengembalikan tas ini padaku.
Padahal, tadi aku sedih banget. Kalau orang tuaku tahu tas ini hilang, mereka
pasti akan marah. Habis, memang salahku sih! Aku nekad bawa tas ini ke sekolah,
padahal oarng tuaku sudah melarang.” Ucap Rani panjang. Wajahnya kembali ceria.
“Ehm,
baiklah kalau begitu. Aku pamit dulu ya, Ran?!” ucap Ditto seraya berdiri.
Rani
mengangguk. “Sekali lagi, terima kasih banyak ya, Ditto!” ucap Rani.
Ditto
hanya tersenyum dan mengangguk, seraya melangkah menuju pintu.
“Eh,
tunggu!” cegah Rani.
Ditto
menoleh.
“Aku
dengar, minggu depan kamu ada pertandingan sepak bola ya?” tanya Rani.
Ditto
mengangguk. “Iya, kenapa?”
“Aku
dengar, kamu terancam nggak bisa ikut karena nggak punya sepatu bola.
Benarkah?” tanya Rani lagi.
Kali
ini Ditto hanya tersenyum kecil.
“Kalau
kamu mau, kamu bisa pakai sepatu bekas kakakku. Masih bagus, kok! Tapi udah
nggak muat sama kakakku. Kamu boleh memilikinya!” tawar Rani.
“Eh,
benarkah?” tanya Ditto tak percaya.
Rani
mengangguk. “Sebentar ya, aku ambilkan dulu!” ucap Rani seraya melangkah masuk.
Ditto
tersenyum senang. Syukurlah, dia tidak jadi mengambil uang itu tadi. Untung
saja dia ingat pesan ibunya yang melarang mengambil milik orang lain.
~~~
By: Cepi R Dini {KucingPipush}
By: Cepi R Dini {KucingPipush}
0 komentar:
Posting Komentar