Minggu, 26 Agustus 2012

Pacarku Oke Banget


Kelasku tercinta. Suasananya always rame. Apalagi kalau lagi jam kosong gini. Ada yang makan nasi, makan mi, bagi-bagi jambu, dan rebutan lihat hasil foto study tour minggu lalu. Ada juga yang tidur, seperti dua cewek di depanku ini. Nyenyak banget. Dan ada juga yang bermesra-mesra ria. Bikin ngiri ajach!

            Sedang aku, cuma diam di pojok memandang aktivitas makhluk-makhluk itu sambil coret-coret buku. Tiba-tiba aja di sampingku muncul penampakan makhluk manis. Yeah…dia Demi, pacarku tersayang.
            “Lagi ngapain, Yang?” tanyanya langsung.
            “Kamu liat ini aku lagi ngapain?” balasku cuek tak menjawab pertanyaannya.
            “Jutek banget sih jawabnya!” protes Demi.
            “Kamu sendiri, abis dari mana?” tanyaku balik.
            “Wah….ceritanya panjang..!” jawabnya.
            “Selalu deh..” gumamku. “Pasti dari toilet, t’rus tiba-tiba tercium harum aroma makanan yang membuat kaki begitu ringan melangkah ke sumber aroma itu, yang ternyata kantin. Setelah itu, tanpa sadar terduduk dan memesan makanan. Trus makan, kenyang deh!”
            “Nah ,itu tahu!” balas Demi ngakak.
            Aku mencibir sebal.
            “Kenapa sih, kok sewot banget?” tanyanya lagi.
            “Masa nggak liat sih modelku kayak gini..? Aku tuh bosen, bete! Kamu malah ngabur ke kantin nggak ngajak-ngajak. Nelantarin aku disini sendirian,” jawabku meluap-luap.
            “Sorry deh…! Yang tadi kan nggak bisa di replay lagi. Sekarang aku ada disini, terserah deh mau kam apain! Luapin deh, semua emosi kamu!” ujar Demi.
            Aku melengos dan kembali mencoret-coret bukuku.
            “Lho, kok malah diem sih? Ayo…aku udah siap kok diapain aja! Kamu boleh marah, boleh mukul, atau…cium juga boleh!” ucap Demi lagi.
            “Kayaknya kamu mendingan diem aja deh!” sergahku. “Kupingku udah sekarat denger suara kamu,”
            “Tapi suaraku kan merdu dan menyehatkan telinga,” balas Demi.
            “Demi…please deh! Jangan bikin aku tambah bete!” ucapku kesal.
            “Oke-oke, kalau kamu pingin aku diem. Aku diem deh,” balasnya.
            Dan kemudian dia emang bener-bener diem. Sementara aku nerusin nyoret-nyoret buku lagi. Kuletakkan bukuku setelah lelah nyoret-nyoret buku. Kulihat di sampingku, Demi lagi sibuk lipet-lipet kertas kecil.
            “Kamu ngapain, Dem?” tanyaku.
            Demi memandangku sejenak lalu nerusin lipet-lipet lagi.
            “Dem…kok nggak dijawab sih..!” protesku.
            Demi memberikan isyarat padaku yang artinya dia nggak boleh bicara. Sial, aku lupa!
            “Hh…kena deh gue,” gumamku. “Ya udah, sekarang kamu udah boleh ngomong!” ucapku akhirnya.
            Demi tertawa lebar.
            “Jangan smile! Kemanisan apa kamu?!” seruku sewot.
            “Emang manis kan?! Kalau nggak, mana mungkin kamu mau sama aku!”
            “Pede banget sih…! Jelek tau!”
            “Siapa yang nggak pede kalau bisa dapeti kamu,” balasnya nggombal.
            “Sok romance deh kamu! Aku nek dengernya,” sahutku nggak suka.
            “Lho, aku kan bicara yang sejujur-jujurnya! Kamu tuh emang…”
            “Demi…plese deh…! Gue hajar lo!” potongku ngancam.
            “Oke-oke Diva sayang, aku nggak akan ngomong romance lagi. Jadi, jangan marah ya..!” ucap Demi akhirnya.
            “Gitu kan keren,” pujiku.
            “Aku kan emang dari dulu keren,” balasnya.
            Mulai lagi deh….!! Kesalahan aku tadi muji dia. Demi…please deh….!
                                                                                   
            Kusandarkan kepalaku ke dinding. Uh…pusing banget kepalaku. Tapi masih ada tugas yang harus kukerjakan.
            “Diva kamu kenapa? Kayaknya lemes banget?” tanya Demi yang baru muncul.
            “Cuma pusing kok, Dem.” Jawabku singkat.
            “Kalau sakit istirahat dong, jangan kerja terus!” ucapnya seraya meraih laptopku.
            “Tapi Dem..proposalnya harus selesai, besok harus diserahkan!” balasku.
            “Proposal kegiatan PA?! Biar aku yang ngerjain,” sahut Demi. “Ke UKS aja yuk!” ajak Demi.
            Aku menggeleng.
            “Dasar keras kepala!” gumamnya seraya pergi keluar kelas.
            Kemana ya tuh anak? ah…sebodo! Kepalaku terasa semakin sakit. Kuletakkan kepalaku ke atas meja dan memejamkan mataku.
            “Ayo makan dulu!” suara Demi tiba-tiba muncul lagi.
            Aku membuka mataku.Demi menyerahkan sebuah roti padaku.
            “Males Dem,” sahutku pelan. “Aku nggak laper,”
            “Kali ini aku maksa! Cepet makan!” perintahnya.
            Akhirnya aku nurut juga. Kumakan roti itu perlahan.
            “Abis ini, minum obat ya!” ucapnya lagi seraya meletakkan sebiji obat sakit kepala di atas meja.
            “Hari ini kamu cerewet banget, sih!” ucapku heran.
            “Musti cerewet kalau menghadapi anak nakal kayak kamu!” balasnya.
            “Udah ah, aku kenyang!” ucapku seraya meletakkan rotiku yang tinggal separuh.
            “Ya udah, sekarang minim obat!” sahutnya.
            Aku menerima obat dari tangan Demi dan langsung meminumnya. Setelah itu, aku meletakkan kepalaku lagi dan mencoba tidur.
                                                                                   
            Senja mulai turun. Udara terasa semakin dingin. Kegelapan mulai menyelimuti area perkemahan kami.
            Kali ini, kami, anak-anak PA, sedang berada di bumi perkemahan Gunung Arjuna. Kami para senior sebagian emang duluan disini untuk mempersiapkan acara. Sedangkan para junior, besok baru datang bersama sebagian anak senior yang lain.
            Kurapatkan jaketku. Anak-anak yang bertugas mendirikan tenda masih sibuk berkutat dengan tenda.
            “Dingin ya?” tanya Demi seraya memberikan secangkir kopi padaku.
            “Makasih,” sahutku seraya menerima kopi dari tangan Demi. “Kamu nggak bantu mereka?”
            “Males ah! Kan bukan tugasku,” sahutnya. “Lagian, pasukannya udah banyak.”
            “Dem, tanda pos-pos udah dipasang semua kan?!” tanya Yudi sang ketua.
            “Udah finish semua!” jawab Demi.
            “Mm…kalian daripada gak ada kerjaan, gimana kalau cari kayu bakar buat acara besok?!” usul Novan.
            “Nggak masalah!” sahutku.
            Aku dan Demi baranjak berdiri dan mulai melangkah meninggalkan anak-anak menuju bagian lain hutan untuk mencari kayu bakar untuk acara api unggun besok.
                                                                                   
            Kami semakin jauh memasuki hutan. Memunguti ranting dan dahan-dahan pohon yang berserakan. Cukup banyak juga yang kami dapat.
            “Udah capek?” tanya Demi.
            Aku menggeleng.
            “Turunin!” perintahnya seraya menurunkan hasil perolehannya. Aku mengikuti jejaknya.
            Demi menyatukan kayu-kayu hasil perolehan kami dan mengikatnya dengan tali yang dibawanya.
            “Biar aku aja yang bawa,” ucapnya seraya mengangkat kayu-kayu itu di pundaknya.
            “Nggak berat?” tanyaku.
            “Nggak kok,” jawabnya. “Balik yuk!”ajaknya kemudian.
            Malam semakin gelap. Kami berjalan kembali menuju camp kami. Yeah…setidaknya menurut kami, kami berjalan ke arah camp kami. Udara semakin dingin dan gelap. Kami hampir nggak bisa melihat beberapa meter di depan kami.
            “Kayaknya, kabut mulai turun.” Ucapku.
            “Yeah..aku tahu. Ayo cepat!” ajak Demi bergegas.
            Kami mempercepat langkah. Tapi, sepertinya ada yang aneh. Demi menghentikan langkahnya. Aku ikut berhenti.
            “Merasa ada yang aneh nggak?” tanya Demi.
            “Kayaknya, kita makin jauh dari camp deh!” sahutku.
            “Yup..! Kamu benar!” sahut Demi seraya mengeluarkan kompas dari saku celananya.
            “Kita berada di sebelah barat,” ucap Demi. “Camp kita sebelah mana?” tanya Demi.
            “Tanya arah ke aku, mana ku tahu!” sahutku, “Kan kamu yang ahli soal arah,”
            “Yeah…kamu kan tahu, kalau sama kamu aku selalu kehilangan arah.” Ucap Demi asal.
            Aku memukul lengannya. “Bercanda aja!” sahutku kesal.
Demi malah ngakak. “Lho, aku serius…! Kan kamu selalu membuatku kehilangan arah,” balasnya.
            “Demi…udah deh..jangan bercanda…!” sahutku kesal.
            “Iya-iya…camp kita di sebelah timur. Ayo!” ajaknya menggandeng tanganku mengikutinya.
            Baru beberapa langkah kami berjalan, kami merasakan kabut semakin tebal. Kami bahkan tak bisa melihat lebih dari setengah meter. Demi menghentikan langkahnya.
            “Kita berhenti dulu,” ucapnya “Kita akan makin tersesat kalau terus jalan,” tambahnya.
            Aku merapatkan tubuhku pada Demi.
            “Di sekitar kita tadi nggak ada jurang kan?!” tanya Demi.
            “Kayaknya sih nggak,” sahutku.
            Kabut semakin tebal. Demi meletakkan kayu-kayu yang dibawanya dan berjalan menggandengku menuju pohon besar di dekat kami.
            “Kita diam disini dulu sampai kabut hilang,” ucapnya, seraya mengajakku duduk di bawah pohon.
            Kabut semakin tebal. Suasana semakin gelap. Aku nggak bisa melihat Demi. Bahkan tanganku sendiri nggak kelihatan. Aku merapatkan tubuhku pada Demi. Dan Demi merangkul pundakku.
            “Dem, senternya mana?” tanyaku.
            “Nggak akan berguna dalam kabut setebal ini,” sahutnya santai. “Kamu takut ya?” tanyanya.
            Aku tak menjawab. Tapi semakin merapatkan tubuhku padanya dan menenggelamkan kepalaku di dada Demi.
Demi memelukku erat. “Nggak usah takut, aku disini jagain kamu.” Ucapnya.
            “Menurutmu, anak-anak bakal nyariin nggak?” tanyaku.
            “Yeah…tapi setelah kabut hilang,” jawabnya. “Kalau nyari sekarang juga nggak ada gunanya,”
            “Tapi, kapan Dem kabutnya hilang?” tanyaku lagi.
            “Ya nggak tahu Huney…! Sabar aja lah…!” jawabnya, “Mending kamu tidur aja deh!”
            “Dem, kamu bisa lihat aku nggak?” tanyaku tak menghiraukan usulnya untuk tidur.
            “Nggak, kan gelap banget!” sahutnya.
            “Kalau seandainya yang kamu peluk bukan aku, tapi…”
            “Hei…ini hutan! Jangan ngomong macem-macem!” potong Demi.
            “Kan cuma bercanda Dem,” balasku.
            “Di hutan jangan ngomong macem-macem! Kejadian beneran tau rasa!”
            “Iya-iya, sorry…”
            “Udah…daripada kamu mikir macem-macem,mendingan kamu tidur aja deh! Kamu capek, kan?!” ucapnya kemudian.
            Aku mencoba menuruti usul Demi memejamkan mataku. Awalnya sih susah tidur. Tapi…akhirnya bisa tidur juga.
                                                                                   
            Aku mendengar suara burung-burung yang saling bersahutan. Perlahan kubuka mataku. Rupanya sudah pagi. Dan kabut sudah benar-benar hilang.
            “Udah bangun?!” celetuk Demi.
            Aku mengangkat kepalaku dan tersenyum padanya. “Kamu semalaman tidur?” tanyaku.
Demi menggeleng. Demi emang nggak pernah tidur kalau lagi di hutan. Entah kenapa?!
            “Udah segar? Jalan lagi yuk!” ajaknya.
            Aku mengangguk dan berdiri. Demi mengambil kayu-kayu yang diletakkan tak jauh dari tempat kami duduk dan mulai melangkah ke arah camp kami berada.
            “Kamu yakin kita nggak makin jauh dari camp?” tanyaku.
            “Percaya deh ama Demi!” jawab Demi santai.
            Sayup-sayup kudengar suara anak-anak. Kami menghentikan langkah kami.
            “Kamu dengar itu?” tanya Demi.
            “Yeah…kayaknya anak-anak nyariin kita,” sahutku.
            “Demi…..! Diva…..!” suara anak-anak semakin terdengar jelas.
            “Kami disini…!” sahut Demi balas berteriak.
            Suara anak-anak semakin terdengar dekat. Kami berjalan cepat ke arah sumber suara. Akhirnya kami ketemu juga sama bocah-bocah itu.
            “Kalian nggak apa-apa?” tanya Sony langsung.
            “Semua beres kok! Kita cuma agak dipusingkan kabut,” jawab Demi.
            “Ya udah kalau nggak terjadi apa-apa, kita balik aja ke camp” ajak Deman kemudian.
            Dan kami pun melangkah kembali menuju tempat perkemahan kami dengan selamat.
                                                                       
            Hari ini sibuk banget. Anak-anak junior udah pada datang. Dan tentu saja banyak sekali kegiatan yang harus kita kerjakan.
            “Kamu kalau capek, istirahat aja!” ucap Demi.
            “Kamu sendiri?” tanyaku.
            “Aku nggak apa-apa, aku masih bisa kerja.” Jawabnya.
            “Dem…makasih ya..!” ucapku.
            “Untuk?” tanya Demi bingung.
            “Untuk semuanya!” jawabku. “Kamu udah baik banget sama aku, dan selalu jagain aku.”
            Demi tersenyum “Nggak usah dramatis gitu deh..!” sahutnya, “Aku kan sayang kamu,” tambahnya.
            Aku cuma tersenyum denger jawaban Demi.
            “Udah, kamu istirahat aja!” ucapnya lagi.
            Aku mengangguk dan berjalan menjauhi Demi yang sibuk kerja bantuin anak-anak yang lain. Demi emang hebat! Meski kadang nyebelin, tapi dia baik banget. Aku beruntung jadi pacarnya.

                                                                                    ~~~
By: Cepi R Dini

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates