Kamis, 02 Agustus 2012

Bukan Cinta Itu

“Ranzi…!”
            Aku hendak memasuki ruang siaran saat suara Bang Anton terdengar memanggilku. Aku mengentikan langkahku. Bang Anton berjalan menghampiriku diikuti seorang cowok yang tak kukenal.
“Ini, ada penyiar baru,” ucap Bang Anton langsung memperkenalkanku pada cowok di sampingnya.

            “Hai..aku Ranzi,” ucapku memperkenalkan diri.
            “Aku Leon,” balasnya menjabat tanganku.
            “Karena dia masih baru, untuk sementara dia aku pasangkan sama kamu. Yeah….sampai dia bisa beradaptasi lah..” ucap Bang Anton padaku.
            “Oke…! Nggak masalah,” sahutku santai.
            “Ya udah, aku percayain dia sama kamu!” ucap Bang Anton lagi.
            “Tenang aja!” balasku.
            “Ya udah, aku pergi dulu!” pamit Bang Anton seraya pergi meninggalkan kami.
            Aku mengajak Leon masuk ruang siaran dan memulai siaran setelah lagu penutup segmen sebelumnya habis.
            “Hallo guys…! Ketemu lagi with me Ranzi, di acara request kamu. Tapi saat ini, Ranzi nggak sendirian. Ranzi ditemenin penyiar baru kita yang cakep. Namanya Leon. Hai Leon..! Kenalan dong sama sobat muda di manapun mereka berada…!” ucapku mengawali.
            “Hai..! Nama gue Leon. Seperti yang Ranzi bilang tadi, gue penyiar baru disini. Dan suatu kehormatan buat gue bisa siaran bareng Ranzi, yang konon kabarnya, merupakan penyiar paling populer di radio ini, bahkan mungkin di kota ini,” sahut Leon.
            “Lebay deh…! Nggak gitu juga, kali..!” sahutku.
            Leon tertawa.
            “By the way…nama kamu Leon aja nih? Nggak ada kepanjangannya gitu?” tanyaku.
            “Panjangnya sih Napoleon, tapi cukup panggil Leon aja…!” jawab Leon.
            “Wuih…..keren banget nama lo..! Kayak nama kaisar Perancis yang legendaries itu!” sahutku.
            “Mungkin emang ortu gue ngasih nama itu dengan harapan bisa hebat kayak Napoleon Bonaparte. Yeah..meskipun kenyataannya, jauh…!” balas Leon lagi.
            Aku tertawa. “Ya udah deh guys…cukup dulu perkenalannya. Kalau sobat muda pingin tahu lebih banyak tentang penyiar baru kita ini, kalian bisa call kita nanti, sekalian request lagu favorit kamu dari dalam or luar negeri. But now, kita dengerin lagu dulu,” ucapku kemudian, seraya memutar lagu dan mematikan microphone.
Leon melakukan hal yang sama.
            “Eh, beneran nama kamu Napoleon?” tanyaku pada Leon.
            “Iya, kenapa? Nggak pantes ya?” tanyanya balik.
            “Nggak gitu…!” sahutku. “Hebat aja ortumu ngasih nama.”

            Aku membuka-buka halaman surat kabar di ruang tamu kantor radio. Biasa...cari berita. Biar kayak orang intelek gitu!
            Aku menghentikan gerakan tanganku membalik-balik halaman surat kabar, ketika mataku tertambat pada sebuah gambar besar di halaman olahraga. Tampak sosok Yama dalam gambar itu.
            Yama, mantan striker di klub sepakbola kotaku yang sekarang hijrah ke klub kota lain. Emang dia nggak lama disini. Cuma satu musim.
            Tapi waktu yang singkat itu cukup memberi warna dalam hidupku. Dia telah mengambil hatiku dan sejenak memberi warna indah dalam hari-hariku.
            Walaupun akhirnya, dia pergi dengan membawa hatiku. Tanpa memberikan status yang jelas dalam hubungan kami.
            Entah, waktu itu dia cuma main-main saja denganku, atau memang dia pernah benar-benar mencintaiku. Yang jelas, kini dia pergi untuk meraih mimpinya. Dan dia telah memilih tidak melibatkanku lagi dalam kehidupannya.
            Tak terasa itu sudah berlalu dua tahun. Tapi, sampai saat ini aku masih belum bisa membuangnya dari hatiku. Bahkan, kesibukanku pun tak mampu menghapusnya dari memoriku.
            “Ranzi, kamu kok melamun?” sebuah suara membuyarkan lamunanku.
            Aku tersadar dan melihat Leon sudah duduk di depanku.
            “Eh, kamu udah lama?” tanyaku langsung.
            “Nggak kok,” sahutnya. “Kamu baca apa sih? Sampai melamun gitu?” tanyanya.
            Buru-buru aku membalik halaman surat kabar di tanganku. Sebelum Leon menyadari kalau aku melamun karena melihat foto Yama.
            “Kamu suka olahraga ya?” tanyanya.
            “Yeah….suka nonton. Kalau melakukan sendiri nggak bisa. Suka juga sih, sebenarnya,” jawabku sambil membaca berita IBL.
            “Kamu suka siapa di basket?” tanya Leon.
            “Dalam or luar negeri?” tanyaku balik.
            “Dua duanya,” sahut Leon.
            “Kalau luar negeri, aku suka Kobe Bryant, Pau Gasol, dan Dirk Nowitzky.” Jawabku.
            “Kalau dalam negeri?”
            “Paling suka sama Lolik! Bagiku, dia best playernya Indonesia. Meskipun udah tua, tapi tetep hebat.” Jawabku.
            “Kok nggak ngefans Rony Gunawan atau Denny Sumargo? Mereka kan, idola cewek. Masih muda, keren, mainnya juga bagus,”
            “Rony Gunawan aja ngefans Lolik, kok!” sahutku.
            “Oh ya?” tanya Leon kaget.
            “Dia pernah bilang gitu sih di tv,” sahutku.
            “Oh…gitu ya,” gumamnya. “Aku jarang nonton soalnya, jadi nggak tahu.”
            “Nggak terlalu suka basket ya?” tanyaku.
            “Cuma nonton kalau lagi iseng aja,” jawabnya. “Aku suka Moto GP.” Tambahnya.
            “Valentino Rossi idolaku. Dia pembalap terbaik sepanjang sejarah Moto GP. Nggak ada pembalap lain yang bisa secerdik dan sehebat dia,” sahutku.
            “Wow…kayaknya kamu tahu semua olahraga deh!” seru Leon.
            “Nggak juga sih, aku nggak tahu banyak soal karate, tae kwon do, dan sebangsanya. Aku juga nggak begitu tahu soal tinju atau angkat besi. Paling-paling, aku cuma kenal Crish John atau Oscar de La Hoya di tinju. Dan Eko Yuli di angkat besi,”sahutku.
            “Kalau F1 kamu suka?” tanya Leon.
            “Lumayan, aku suka Fernando Alonso.” Jawabku.
            “Kok nggak Michael Schumacher? Dia kan juara dunia legendaries,” tanya Leon lagi. 
            Aku cuma mengangkat bahu.
            Aku melihat Mas Yasa memasuki ruangan. Cowok cakep ini pemain bola. Sempet satu musim ke luar kota, tapi abis itu kembali lagi kesini. Hubungan kami udah kayak kakak adik.
            “Hallo, adik manis!” sapa Mas Yasa langsung seraya duduk di sampingku.
            “Tumben Mas, kesini? Kemana aja, dah lama nggak kelihatan?” tanyaku langsung.
            “Lagi sibuk Honey..! Kebetulan aja sekarang nganggur, jadi ya kesini. Aku kan kangen dah lama nggak lihat kamu,” jawab Mas Yasa.
            Aku cuma tersenyum kecil.
Mas Yasa melihat Leon yang duduk di hadapan kami. “Temenmu ya? Kok, kayaknya aku nggak kenal?” tanya Mas Yasa.
            “Iya, dia anak baru. Kenalin deh!” balasku.
            Mas Yasa langsung berkenalan sama Leon dan mereka langsung ngobrol-ngobrol sebentar.
            “By the way, kamu masih ada siaran?” tanya Mas Yasa.
            “Udah nggak,” jawabku singkat.  
            “Pulang yuk!” ajaknya.
Aku mengangguk.
            “Kamu mau bareng sekalian Leon?” tanya mas Yasa pada Leon.
            “Nggak, makasih! Aku masih ada siaran,” sahut Leon.
            “Kalau gitu, kita pergi dulu ya!” pamit Mas Yasa.
Leon mengangguk.
            “Bye Leon!” pamitku.
            “Bye! Take care!” balas Leon.
            Aku melangkah keluar kantor radio bersama Mas Yasa.
            “Kita makan ice cream dulu yuk! Udah lama nggak kesana,” ajak Mas Yasa.
            “Setuju banget!” balasku semangat. Secara gitu, aku kan penggemar ice cream sejati.
            Kami berdua langsung cabut ke kafe ice cream langganan kami.

“Udah berapa lama Leon kerja di tempatmu?” tanya Mas Yasa.
Aku menatapnya. “Kenapa mas Yasa tiba-tiba tanyain Leon?”
“Cuma pingin tahu,” jawabnya singkat seraya memakan ice creamnya.
“Kurang lebih satu bulan,” jawabku. “Sebenarnya kenapa sih Mas? Nggak biasanya Mas Yasa nanyain temanku?”
Mas Yasa tesenyum kecil. “Kayaknya dia baik,” sahutnya.
“So…?”
“Kayaknya dia suka kamu,”
Aku melongo denger jawaban Mas Yasa yang terkesan ngasal banget itu. Emang kakakku yang satu ini suka aneh kadang-kadang.
“Atas dasar apa Mas Yasa ngomong gitu?”
“Feeling aja,” sahutnya. “Aku bisa lihat saat dia menatap kamu.”
“Hihi…kayak psikolog aja..!” sahutku. “Sok tahu ah, Mas Yasa!”
“Tapi kalau seandainya bener gimana?”
“Apanya yang gimana?” tanyaku balik.
“Kamu mau nggak, nerima dia?”
“Ih…jauh amat deh mikirnya, belum tentu juga Mas Yasa bener. Ngaco aja!” balasku.
“Kan, seandainya…”
“Au ah, nggak penting!” sahutku cuek.
“Jangan-jangan kamu masih nunggu Yama?!” ucap Mas Yasa tiba-tiba.
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yasa. Kuletakkan sendok ice creamku. Meskipun asal, ucapan Mas Yasa benar-benar telak mengenaiku.
“Jadi, bener ya?” gumam Mas Yasa setelah melihatku terdiam.
“Ya…mau gimana lagi…perasaan kan gak bisa di manage,” sahutku.
“Iya…aku ngerti…” balas Mas Yasa. “Ya udah…makan aja ice creammu!” lanjutnya.
Aku menurut dan melanjutkan makan ice creamku. Mas Yasa juga udah gak bahas Yama ataupun Leon.

Aku hanya terdiam mendengar pernyataan Leon. Ternyata bener kata Mas Yasa. Leon memang menyukaiku. Baru saja dia menyampaikan perasaannya padaku.
“Zi, aku nggak maksa kamu untuk nerima aku kok! Aku hanya menyampaikan perasaanku,” ucap Leon setelah kami diam cukup lama.
“Maaf ya, Leon,” balasku.
 Leon tersenyum. “Nggak ada yang perlu dimaafkan, Ranzi,” sahut Leon. “Aku juga nggak akan bertanya kenapa kamu menolakku. Itu privasimu!” tambahnya.
Aku tersenyum kecil.
“Hanya saja, aku harap kamu nggak benci aku setelah tahu perasaanku. Aku harap kamu tetep mau jadi temanku,” ucap Leon lagi.
“Leon, mana mungkin aku bisa benci kamu. Kamu temanku yang sangat baik.” Balasku.
“Terima kasih,” sahut Leon. “Jadi kita tetep temen ya?!”
“Tentu saja,” jawabku.
 Leon tersenyum manis.
“Ya udah ya, aku mau pulang dulu,” pamitku.
“Perlu aku antar?” tanya Leon.
“Nggak usah, aku sama Mas Yasa,” balasku.
“Ow…”
“Bye Leon..! Sekali lagi, sorry ya!”
“Nggak perlu minta maaf!” balasnya.
Aku tersenyum dan melambaikan tanganku.  Leon balas melambai. Aku melangkah meninggalkan Leon keluar ruangan.
Hh….kamu memang sangat baik Leon. Tapi sayang, hatiku telah dibawa pergi oleh Yama. Hanya cinta Yama yang kuharapkan. Bukan Leon.

                                                            ~~~
 Cepi R. Dini [KucingPipush]

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates