“Ranzi…!”
Aku hendak memasuki ruang siaran saat suara Bang Anton
terdengar memanggilku. Aku mengentikan langkahku. Bang Anton berjalan
menghampiriku diikuti seorang cowok yang tak kukenal.
“Ini,
ada penyiar baru,” ucap Bang Anton langsung memperkenalkanku pada cowok di
sampingnya.
“Hai..aku Ranzi,” ucapku memperkenalkan diri.
“Aku Leon,” balasnya menjabat tanganku.
“Karena dia masih baru, untuk sementara dia aku
pasangkan sama kamu. Yeah….sampai dia
bisa beradaptasi lah..” ucap Bang Anton padaku.
“Oke…! Nggak masalah,” sahutku santai.
“Ya udah, aku percayain dia sama kamu!” ucap Bang Anton
lagi.
“Tenang aja!” balasku.
“Ya udah, aku pergi dulu!” pamit Bang Anton seraya pergi
meninggalkan kami.
Aku mengajak Leon masuk ruang siaran dan memulai siaran
setelah lagu penutup segmen sebelumnya habis.
“Hallo guys…! Ketemu lagi with me Ranzi, di acara request
kamu. Tapi saat ini, Ranzi nggak sendirian. Ranzi ditemenin penyiar baru kita
yang cakep. Namanya Leon. Hai Leon..! Kenalan dong sama sobat muda di manapun
mereka berada…!” ucapku mengawali.
“Hai..! Nama gue Leon. Seperti yang Ranzi bilang tadi, gue
penyiar baru disini. Dan suatu kehormatan buat gue bisa siaran bareng Ranzi, yang
konon kabarnya, merupakan penyiar paling populer di radio ini, bahkan mungkin
di kota ini,” sahut Leon.
“Lebay deh…! Nggak gitu juga, kali..!” sahutku.
Leon tertawa.
“By the way…nama kamu Leon aja nih? Nggak ada
kepanjangannya gitu?” tanyaku.
“Panjangnya sih Napoleon, tapi cukup panggil Leon aja…!” jawab
Leon.
“Wuih…..keren banget nama lo..! Kayak nama kaisar Perancis
yang legendaries itu!” sahutku.
“Mungkin emang ortu gue ngasih nama itu dengan harapan
bisa hebat kayak Napoleon Bonaparte. Yeah..meskipun kenyataannya, jauh…!” balas
Leon lagi.
Aku tertawa. “Ya udah deh guys…cukup dulu perkenalannya. Kalau
sobat muda pingin tahu lebih banyak tentang penyiar baru kita ini, kalian bisa
call kita nanti, sekalian request lagu favorit kamu dari dalam or luar negeri. But
now, kita dengerin lagu dulu,” ucapku kemudian, seraya memutar lagu dan
mematikan microphone.
Leon
melakukan hal yang sama.
“Eh, beneran nama kamu Napoleon?” tanyaku pada Leon.
“Iya, kenapa? Nggak pantes ya?” tanyanya balik.
“Nggak gitu…!” sahutku. “Hebat aja ortumu ngasih nama.”
Aku membuka-buka halaman surat kabar di ruang tamu kantor
radio. Biasa...cari berita. Biar kayak orang intelek gitu!
Aku menghentikan gerakan tanganku membalik-balik halaman
surat kabar, ketika mataku tertambat pada sebuah gambar besar di halaman
olahraga. Tampak sosok Yama dalam gambar itu.
Yama, mantan striker di klub sepakbola kotaku yang
sekarang hijrah ke klub kota lain. Emang dia nggak lama disini. Cuma satu
musim.
Tapi waktu yang singkat itu cukup memberi warna dalam
hidupku. Dia telah mengambil hatiku dan sejenak memberi warna indah dalam
hari-hariku.
Walaupun akhirnya, dia pergi dengan membawa hatiku. Tanpa
memberikan status yang jelas dalam hubungan kami.
Entah, waktu itu dia cuma main-main saja denganku, atau
memang dia pernah benar-benar mencintaiku. Yang jelas, kini dia pergi untuk
meraih mimpinya. Dan dia telah memilih tidak melibatkanku lagi dalam
kehidupannya.
Tak terasa itu sudah berlalu dua tahun. Tapi, sampai saat
ini aku masih belum bisa membuangnya dari hatiku. Bahkan, kesibukanku pun tak
mampu menghapusnya dari memoriku.
“Ranzi, kamu kok melamun?” sebuah suara membuyarkan
lamunanku.
Aku tersadar dan melihat Leon sudah duduk di depanku.
“Eh, kamu udah lama?” tanyaku langsung.
“Nggak kok,” sahutnya. “Kamu baca apa sih? Sampai melamun
gitu?” tanyanya.
Buru-buru aku membalik halaman surat kabar di tanganku. Sebelum
Leon menyadari kalau aku melamun karena melihat foto Yama.
“Kamu suka olahraga ya?” tanyanya.
“Yeah….suka nonton. Kalau melakukan sendiri nggak bisa.
Suka juga sih, sebenarnya,” jawabku sambil membaca berita IBL.
“Kamu suka siapa di basket?” tanya Leon.
“Dalam or luar negeri?” tanyaku balik.
“Dua duanya,” sahut Leon.
“Kalau luar negeri, aku suka Kobe Bryant, Pau Gasol, dan
Dirk Nowitzky.” Jawabku.
“Kalau dalam negeri?”
“Paling suka sama Lolik! Bagiku, dia best playernya
Indonesia. Meskipun udah tua, tapi tetep hebat.” Jawabku.
“Kok nggak ngefans Rony Gunawan atau Denny Sumargo? Mereka
kan, idola cewek. Masih muda, keren, mainnya juga bagus,”
“Rony Gunawan aja ngefans Lolik, kok!” sahutku.
“Oh ya?” tanya Leon kaget.
“Dia pernah bilang gitu sih di tv,” sahutku.
“Oh…gitu ya,” gumamnya. “Aku jarang nonton soalnya, jadi
nggak tahu.”
“Nggak terlalu suka basket ya?” tanyaku.
“Cuma nonton kalau lagi iseng aja,” jawabnya. “Aku suka
Moto GP.” Tambahnya.
“Valentino Rossi idolaku. Dia pembalap terbaik sepanjang
sejarah Moto GP. Nggak ada pembalap lain yang bisa secerdik dan sehebat dia,” sahutku.
“Wow…kayaknya kamu tahu semua olahraga deh!” seru Leon.
“Nggak juga sih, aku nggak tahu banyak soal karate, tae
kwon do, dan sebangsanya. Aku juga nggak begitu tahu soal tinju atau angkat
besi. Paling-paling, aku cuma kenal Crish John atau Oscar de La Hoya di tinju. Dan
Eko Yuli di angkat besi,”sahutku.
“Kalau F1 kamu suka?” tanya Leon.
“Lumayan, aku suka Fernando Alonso.” Jawabku.
“Kok nggak Michael Schumacher? Dia kan juara dunia
legendaries,” tanya Leon lagi.
Aku cuma mengangkat bahu.
Aku cuma mengangkat bahu.
Aku melihat Mas Yasa memasuki ruangan. Cowok cakep ini
pemain bola. Sempet satu musim ke luar kota, tapi abis itu kembali lagi kesini.
Hubungan kami udah kayak kakak adik.
“Hallo, adik manis!” sapa Mas Yasa langsung seraya duduk
di sampingku.
“Tumben Mas, kesini? Kemana aja, dah lama nggak
kelihatan?” tanyaku langsung.
“Lagi sibuk Honey..! Kebetulan aja sekarang nganggur, jadi
ya kesini. Aku kan kangen dah lama nggak lihat kamu,” jawab Mas Yasa.
Aku cuma tersenyum kecil.
Mas
Yasa melihat Leon yang duduk di hadapan kami. “Temenmu ya? Kok, kayaknya aku
nggak kenal?” tanya Mas Yasa.
“Iya, dia anak baru. Kenalin deh!” balasku.
Mas Yasa langsung berkenalan sama Leon dan mereka
langsung ngobrol-ngobrol sebentar.
“By the way, kamu masih ada siaran?” tanya Mas Yasa.
“Udah nggak,” jawabku singkat.
“Pulang yuk!” ajaknya.
Aku
mengangguk.
“Kamu mau bareng sekalian Leon?” tanya mas Yasa pada
Leon.
“Nggak, makasih! Aku masih ada siaran,” sahut Leon.
“Kalau gitu, kita pergi dulu ya!” pamit Mas Yasa.
Leon
mengangguk.
“Bye Leon!” pamitku.
“Bye! Take care!” balas Leon.
Aku melangkah keluar kantor radio bersama Mas Yasa.
“Kita makan ice cream dulu yuk! Udah lama nggak kesana,” ajak
Mas Yasa.
“Setuju banget!” balasku semangat. Secara gitu, aku kan
penggemar ice cream sejati.
Kami berdua langsung cabut ke kafe ice cream langganan
kami.
“Udah
berapa lama Leon kerja di tempatmu?” tanya Mas Yasa.
Aku
menatapnya. “Kenapa mas Yasa tiba-tiba tanyain Leon?”
“Cuma
pingin tahu,” jawabnya singkat seraya memakan ice creamnya.
“Kurang
lebih satu bulan,” jawabku. “Sebenarnya kenapa sih Mas? Nggak biasanya Mas Yasa
nanyain temanku?”
Mas
Yasa tesenyum kecil. “Kayaknya dia baik,” sahutnya.
“So…?”
“Kayaknya
dia suka kamu,”
Aku
melongo denger jawaban Mas Yasa yang terkesan ngasal banget itu. Emang kakakku yang
satu ini suka aneh kadang-kadang.
“Atas
dasar apa Mas Yasa ngomong gitu?”
“Feeling
aja,” sahutnya. “Aku bisa lihat saat dia menatap kamu.”
“Hihi…kayak
psikolog aja..!” sahutku. “Sok tahu ah, Mas Yasa!”
“Tapi
kalau seandainya bener gimana?”
“Apanya
yang gimana?” tanyaku balik.
“Kamu
mau nggak, nerima dia?”
“Ih…jauh
amat deh mikirnya, belum tentu juga Mas Yasa bener. Ngaco aja!” balasku.
“Kan,
seandainya…”
“Au
ah, nggak penting!” sahutku cuek.
“Jangan-jangan
kamu masih nunggu Yama?!” ucap Mas Yasa tiba-tiba.
Aku
terdiam mendengar ucapan Mas Yasa. Kuletakkan sendok ice creamku. Meskipun
asal, ucapan Mas Yasa benar-benar telak mengenaiku.
“Jadi,
bener ya?” gumam Mas Yasa setelah melihatku terdiam.
“Ya…mau
gimana lagi…perasaan kan gak bisa di manage,” sahutku.
“Iya…aku
ngerti…” balas Mas Yasa. “Ya udah…makan aja ice creammu!” lanjutnya.
Aku
menurut dan melanjutkan makan ice creamku. Mas Yasa juga udah gak bahas Yama
ataupun Leon.
Aku
hanya terdiam mendengar pernyataan Leon. Ternyata bener kata Mas Yasa. Leon
memang menyukaiku. Baru saja dia menyampaikan perasaannya padaku.
“Zi,
aku nggak maksa kamu untuk nerima aku kok! Aku hanya menyampaikan perasaanku,”
ucap Leon setelah kami diam cukup lama.
“Maaf
ya, Leon,” balasku.
Leon tersenyum. “Nggak ada yang perlu
dimaafkan, Ranzi,” sahut Leon. “Aku juga nggak akan bertanya kenapa kamu
menolakku. Itu privasimu!” tambahnya.
Aku
tersenyum kecil.
“Hanya
saja, aku harap kamu nggak benci aku setelah tahu perasaanku. Aku harap kamu
tetep mau jadi temanku,” ucap Leon lagi.
“Leon,
mana mungkin aku bisa benci kamu. Kamu temanku yang sangat baik.” Balasku.
“Terima
kasih,” sahut Leon. “Jadi kita tetep temen ya?!”
“Tentu
saja,” jawabku.
Leon tersenyum manis.
“Ya
udah ya, aku mau pulang dulu,” pamitku.
“Perlu
aku antar?” tanya Leon.
“Nggak
usah, aku sama Mas Yasa,” balasku.
“Ow…”
“Bye
Leon..! Sekali lagi, sorry ya!”
“Nggak
perlu minta maaf!” balasnya.
Aku
tersenyum dan melambaikan tanganku. Leon
balas melambai. Aku melangkah meninggalkan Leon keluar ruangan.
Hh….kamu
memang sangat baik Leon. Tapi sayang, hatiku telah dibawa pergi oleh Yama.
Hanya cinta Yama yang kuharapkan. Bukan Leon.
~~~
Cepi
R. Dini [KucingPipush]
0 komentar:
Posting Komentar