Aku memasuki lapangan
dan duduk di bence pemain. Semua pemain masih latihan. Mungkin bentar lagi
selesai. Dan bener aja, beberapa menit kemudian, mereka udah pada finish
latihan.
Mas
Irwan, kakak iparku, berjalan menghampiriku. “Udah selesai ya, siarannya?! Tunggu
bentar ya!” ucapnya padaku.
Aku cuma mengangguk.
Mas
Irwan gabung lagi sama teman-temannya untuk cooling down. Ganti Remi yang
menghampiriku.
“Nev, besok malam keluar yuk!” ajaknya langsung, seraya
duduk disampingku.
“Tanya aja ke Mas Irwan,” balasku.
“Kamu sendiri, mau nggak? Percuma n’tar kalau Irwan
ngijinin, tapi kamunya yang nggak mau.” sahut Remi.
“Aku sih oke…kalau Mas Irwan ngijinin,” balasku.
“Nah…gitu..! Sekarang, tinggal minta persetujuan bos.” Ucapnya
seraya berjalan menghampiri Mas Irwan, dan mulai mengeluarkan jurus-jurus
rayuannya.
Mas Irwan cuma melirik Remi cuek sambil membuka tali
sepatunya. Abis itu, Mas Irwan bicara sesuatu. Entah mereka ngomong apa. Kayaknya
sih negosiasi waktu.
Akhirnya pembicaraan mereka berakhir juga. Remi berlari
pelan menghampiriku. “Oke, aku jemput jam tujuh, ya?!” ucapnya langsung.
“Mas Irwan ngasih waktu berapa lama?” tanyaku.
“Cuma sampai jam sembilan. Nggak apa-apa sih, daripada
nggak sama sekali,” jawab Remi. “Heran…sadis banget kakakmu kalau ngasih waktu,”
gumamnya kemudian.
“Emang, dua jam nggak cukup?” tanyaku.
“Yeah….cukup sih, kalau keluarnya deket-deket sini aja!” jawab
Remi.
“Makanya Mas Irwan nggak mau ngasih waktu lama-lama, biar
kamu nggak ngajak keluar jauh-jauh,” sahutku. “Lagian, nggak pantes kan, bawa
anak gadis orang diatas jam sembilan!” tambahku.
“Iya juga sih,” sahut Remi singkat.
“Hei…jangan mepet-mepet!” seru Mas Irwan yang tiba-tiba
muncul.
“Iya…” sahut Remi menurut, seraya menggeser duduknya agak
menjauhiku.
Aku cuma ketawa kecil lihat tingkah Remi.
“Ayo Nev, pulang!” ajak Mas Irwan.
“Yeah…Irwan…bentaran dikit lah! Aku kan masih pingin
ngobrol ama Nevi,” protes Remi.
“Kalian kan udah ngobrol cukup lama,” sahut Mas Irwan.
“Lagian, kalau kamu ngobrol lama-lama ama Nevi sekarang, besok udah nggak
kangen lagi. Bukannya besok kalian mau keluar?!” tambah Mas Irwan santai seraya
berjalan keluar.
Aku berjalan mengkuti Mas Irwan dan melambaikan tangan
pada Remi. Remi membalas lambaianku. Kulihat wajahnya memerah.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima
menit. Bentar lagi, Remi pasti datang. Tapi si kecil Syahra masih bergelayut
dalam gendonganku, nggak mau lepas.
“Syahra ikut mama, ya!” bujuk mbakku.
“Nggak mau…! Mau ikut Ante jalan-jalan!” seru Syahra
bersikeras.
“Adek nggak boleh nakal gitu dong..! Ayo turun! Tante
udah mau pergi,” Mas Irwan ikut membujuk putrinya. Tapi Syahra malah merapatkan
pelukannya padaku.
Terdengar deru motor dari halaman rumah. Remi sudah
datang. Aku keluar sambil tetap membawa Syahra dalam gendonganku.
“Hai…barangkat sekarang?” tanya Remi langsung, begitu
menginjakkan kakinya di teras rumah.
“Syahra nggak mau lepas, nih!” sahutku.
“Syahra, ayo beli ice cream sama ayah!” ajak Mas Irwan
pada putrinya.
“Nggak mau….mau cama Ante…!” si kecil tetap ngeyel.
“Ya udah, ajak aja nggak apa-apa,” sahut Remi.
“Bener, nggak apa-apa?” tanyaku dan Mas Irwan bareng.
“Yeah…nggak masalah kan?!” balas Remi.
“Yeah…boleh lah, buat pengawas.” Gumam Mas Irwan.
“Tanpa pengawas pun, aku nggak akan macem-macem.” Balas
Remi.
Mas Irwan tertawa.
“Ya udahlah..ayo berangkat, keburu melem!” ucapku
kemudian.
“Bentar, aku ambilin jaket Syahra dulu,” ucap mbakku
seraya masuk dan kembali lagi dalam beberapa menit, sambil bawa jaket Syahra.
“Adek nanti nggak boleh nakal ya! Nggak boleh rewel, nggak
boleh nangis, nggak boleh minta macem-macem!” pesan Mas Irwan menasihati
putrinya.
“Iya,” jawab si kecil mantap.
“Janji ya, sama Ayah?!”
“Janji!” sahut Syahra lagi.
“Ya udah, kalian berangkat deh!” ucap Mas Irwan kemudian.
Mbakku memakaikan jaket Syahra. Aku dan Remi berpamitan
dan langsung pergi dari rumah.
Kami memasuki pelataran mall yang lumayan ramai. Weekend
gini mall emang jadi tujuan orang-orang buat hang out.
Sebenarnya sih, tadi niatnya mau ke taman. Tapi berhubung
Syahra ikut, kami memutuskan ke mall aja. Di malam yang sedingin ini, kasihan
Syahra kalau diajak ke tempat terbuka. Angin malam kan nggak bagus buat anak
kecil.
“Adek turun ya?! Tante capek nih,” ucapku pada Syahra
yang sedari tadi berada dalam gendonganku.
Syahra mengangguk. Aku mulai menurunkannya.
“Biar aku aja yang gendong! Kasihan dia, kalau jalan di
tempat seramai ini,” ucap Remi seraya mengambil Syahra dari tanganku. Aku cuma mengangkat
bahu. Terserah!
Dasar anak kecil. Meskipun tadi udah janji nggak akan
rewel dan minta macem-macem. Tetep aja minta apapun yang dilihatnya. Bahkan
uang nggak penting pun diminta. Aku sampai kesel. Tapi Remi sabar banget
menghadapi Syahra. Sehingga si kecil nurut sama apapun yang dibilang Remi.
“Makan yuk! Kayaknya Syahra laper,” ajak Remi.
Aku mengangguk. Kami memasuki restoran favorit kami yang
menyediakan menu makanan buat anak-anak. Kami langsung cari tempat dan pesan
makanan.
“Adek mau disuapin Tante?” tanyaku setelah makanan
datang.
“Nggak! Adek udah gede, udah bica maem cendili,” sahutnya
sok tua, seraya menyantap makanannya.
“Kalau adeknya nggak mau, omnya juga mau lho!” ujar Remi.
Mulai deh….
“Males!” sahutku ketus.
Remi cuma nyengir.
Aku melihat jam tanganku. Masih jam setengah sembilan
malam. Bocah kecil berumur dua setengah tahun itu sudah terlelap dalam
gendonganku. Lucu banget kalau lagi tidur gini.
“Mau kemana lagi nih?” tanya Remi.
Saat ini kami sedang duduk-duduk aja di tepian kolam air
mancur yang ada di tengah-tengah mall.
“Terserah,” sahutku.
Remi
tampak berpikir sejenak. “Pulang aja yuk!” ajaknya kemudian.
“Ayo deh,” sahutku setuju.
Kami beranjak dari tepian kolam air mancur dan keluar
dari mall yang masih ramai itu menuju pulang.
Mas Irwan dan mbak Mona langsung menyambut kami sesampai
kami di rumah. Aku langsung menyerahkan Syahra yang masih terlelap pada mbakku.
“Tumben, belum jam sembilan udah pulang?” tanya Mas
Irwan.
“Syahra udah tidur,” sahut Remi santai.
“Dia nyusahin nggak?” tanya Mas Irwan lagi.
“Banget!” sahutku.
“Biasalah…namanya juga anak kecil,” sahut Remi.
“Tapi sewaktu Syahra tidur tadi, kamu nggak ngapa-ngapain
Nevi kan?!” tanya Mas Irwan.
“Selalu deh…! Kamu ini kenapa sih Wan?! Nggak percaya
banget sama aku!” protes Remi.
“Biasa deh, Mas Irwan..!” aku ikutan protes.
“Lho..aku kan cuma khawatir terjadi sesuatu yang nggak
diinginkan,” balas Mas Irwan.
“Nggak percaya banget sih sama aku!” seru Remi.
“Bukan nggak percaya, tapi orang kan bisa khilaf,” kilah
Mas Irwan.
“Yeah…aku ngerti,” ucap Remi akhirnya. “Tapi percaya deh,
aku nggak mungkin macem-macem sama Nevi.” Lanjutnya.
Mas Irwan mengangguk dan tersenyum kecil.
“Ya udah, aku balik dulu. Udah malem,” pamit Remi.
Kami mengantarnya sampai ke halaman tempat motornya
diparkir.
“Hati-hati Rem!” pesanku dan Mas Irwan sebelum Remi
meluncur pergi dengan motornya dan menghilang dari hadapan kami.
Aku memasuki halaman rumah bersamaan dengan Mas Irwan
yang baru pulang setelah bertanding tadi sore. Aku langsung memasukkan motorku
ke garasi. Mas Irwan melakuakan yang sama.
“Tumben Mas, udah pulang? Biasanya lama di mess?” tanyaku
setelah mematikan motorku dan melepas helmku.
“Iya, disana tadi cuma mandi dan makan bareng.” Jawab Mas
Irwan.
Aku mengangguk ngerti dan melangkah masuk rumah bersama
mas Irwan. Dan si kecil Syahra langsung berlari mengahampiri kami dan langsung
melompat ke dalam gendongan ayahnya. Dasar daddy’s little girl.
“Kamu nggak nengok Remi Nev?” tanya Mas Irwan tiba-tiba.
“Ha? Emang Remi kenapa?” tanyaku balik.
“Emang kamu tadi nggak nonton pertandingan? Dari tempatmu
siaran kan, kelihatan!”
“Ya nonton sih, tapi nggak penuh. Pas muter lagu aja,” jawabku.
“Jadi, kamu nggak tahu Remi cidera?” tanyanya.
Aku
menggeleng. “Emangnya parah?” tanyaku.
“Tangannya patah, tadi langsung dibawa ke rumah sakit
sama dokter tim,” jawab Mas Irwan.
“Sekarang masih di rumah sakit?” tanyaku.
Mas
Irwan mengangguk.
“Kalau gitu, aku mau kesana sekarang!” Ucapku.
“Sendirian berani, kan?” tanya Mas Irwan.
“Mas Irwan nggak kesana?” aku balik nanya.
“Udah tadi, sama anak-anak.” Jawabnya. “Lagian,aku males
jadi obat nyamuk! Soalnya, kalau lihat kalian berdua, aku bawaannya pingin
ngusilin terus!” lanjutnya.
Aku
tersenyum. “Ya udah, aku pergi dulu, deh!” ucapku kemudian.
“Tapi, kalian jangan macem-macem lho, ya..!” pesan Mas
Irwan.
“Tenang aja Mas, percaya deh sama Nevi! Lagian, Mas Irwan
kenal Remi kayak gimana kan..?!” sahutku.
Mas
Irwan tersenyum.
“Aku pergi dulu Mas! Tolong pamitin ke mbak Mona,” pamitku
seraya keluar rumah menuju garasi untuk ngambil motor, lalu meluncur ke rumah
sakit.
Aku membuka pintu kamar Remi. Dia sedang tidur. Kuletakkan
buah-buahan yang kubawa di atas meja dan duduk di atas kursi di samping
ranjangnya. Aku menatap wajah Remi yang pulas. Wajahnya terlihat begitu damai. Nggak
tega aku bangunin dia.
Aku terlonjak saat hp-ku tiba-tiba berbunyi. Buru-buru
kujawab panggilan itu biar nggak bangunin Remi. “Halo?!” ucapku pelan.
“Kamu udah nyampe’ Nev?” tanya Mas Irwan di seberang
panggilan.
“Iya udah, ini udah di kamar Remi,” jawabku pelan.
“Gimana kondisisnya? Kamu kok bisik-bisik gitu sih?” tanya
Mas Irwan lagi.
“Kondisinya stabil. Sekarang dia lagi tidur, aku nggak
mau bangunin dia, makanya aku bisik-bisik.” jawabku cepat dengan suara sepelan
mungkin.
“Oh…disana nggak ada siapa-siapa?”
“Nggak. Disini sepi,”
“Ya udah, salam aja kalau dia bangun. Kamu jangan
malem-malem pulangnya!”
“Iya,”
jawabku singkat.
Mas
Irwan memutuskan panggilan. Aku meletakkan hpku di atas meja. Rupanya Remi udah
bangun.
“Hei…kamu
kok bangun?” tanyaku langsung.
Remi
tersenyum. “Sayang dong, aku tidur, sementara kamu disini.” Jawabnya “Udah
lama?”
“Barusan
kok,” sahutku. “Kamu pasti bangun gara-gara denger suara hpku!”
Lagi-lagi
Remi cuma smile. “Siapa? Irwan ya?!” tebaknya.
Aku
mengangguk.
“Tumben
dia biarin kamu sendirian?! Biasanya, selalu ngawal, biar nggak terjadi sesuatu
yang nggak diinginkan.” Ucap Remi heran.
Aku
tertawa. “Kamu kayak nggak tahu mas Irwan aja! Kelihatannya aja dia keras dan
sok gangguin hubungan kita. Tapi sebenarnya dia dukung hubungan kita kok! Dia
kan merasa bertanggung jawab jagain aku, makanya dia protective. Lagian, itu
kan demi kebaikan kita juga,” ucapku.
“Aku
ngerti kok. Aku kenal Irwan. Kalau Irwan nggak suka sama hubungan kita, nggak
mungkin aku bisa jalan sama kamu, dan nggak mungkin sekarang kamu disini,” balas
Remi.
Aku tersenyum. “Kok sepi Rem, anak-anak nggak
kesini?” tanyaku, ganti topik.
“Tadi
udah kesini, abis itu balik. Mereka kan, capek. Butuh istirahat,” jawab Remi.
“Kamu,
kapan keluar dari sini?” tanyaku.
“Besok
kayaknya udah pulang. Cuma patah lengan aja kok! Biasanya juga nggak pake
nginep,”
“T’rus,
kenapa kamu pake nginep?”
“Kata
dokternya sih, untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Jawab Remi.
Aku
mengangguk mengerti dan nggak tanya apa-apa lagi. Aku menemani Remi sampai jam
sembilan malam. Dan baru pulang setelah Mas Irwan telepon nyuruh aku cepet
pulang karena udah malam.
Aku
cuma bengong melihat mas Irwan masuk rumah bersama Remi sambil bawa travel bag
kayak mau pindahan. Dan tanpa berniat menjelaskan apa-apa, mereka langsung
menuju kamar tamu.
“Please,
ada yang mau ngasih tahu aku nggak, ini ada apa?” tanyaku minta penejelasan.
“Kenapa?
Nggak suka Remi disini?” Mas Irwan balik nanya.
“Yeah….nggak
gitu..! Tapi, apa maksudnya ini?”
“Remi
kan lagi sakit, dan di mess cowok semua. Nggak ada yang rawat dia. Daripada
pulang kampung kejauhan, kan mendingan dia disini. Ada kamu yang bisa rawat
dia. Lagipula, Remi kan harus rutin check up, jadi ribet kalau harus pulang
kampung,” jelas mas Irwan.
“Oh…t’rus,
ini idenya siapa?” tanyaku lagi.
“Idenya
Irwan,” sahut mbakku.
“Jadi
mbak tahu?!” tanyaku.
Mbakku mengangguk.
Iya
sih, nggak mungkin mas Irwan ngambil keputusan gitu aja tanpa dibicarakan dulu
sama istrinya.
“Tumben,
Mas Irwan baik?!” gumamku.
“Heran
kan..! Aku juga awalnya gitu. However, thank’s banget, Wan!” ucap Remi.
Mas
Irwan tersenyum. “Tapi…kalian….”
“Iya-iya….kami
nggak akan macem-macem..!” sahutku dan Remi bareng.
Mas
Irwan dan Mbakku tertawa. Klasik banget gitu lho peringatan mas Irwan. Tapi
yeah…emang demi kebaikan kita sih.
However,
meskipun kadang suka rese, kakak iparku ini baik banget.
~~~~~~~
By:
Cepi R Dini [Kucing Pipush]
0 komentar:
Posting Komentar