![]() |
Cover KumCer Little Story in My Life |
Yeah…bisa
di bilang, kami cuma kenal secara tidak langsung. Hubungan kami hanya sebatas say
hi. Tapi,
sampai sekarang aku masih berharap dia kembali karena aku tahu, kalau dia juga
suka aku. Yeah…setidaknya itu yang kurasakan darinya, sampai hari terakhir
keberadaannya di kota ini. Entah sekarang.
“Kenapa
dari tadi melamun terus?” tegur Sony yang sudah ada di sampingku.
“Hm….cuma
merenung,” balasku sambil tersenyum kecil.
“Merenung
soal apa?” tanyanya lagi.
“Yeah…tentang
perjalanan hidupku selama ini,” jawabku asal.
Sony
tersenyum. “Kamu nggak lagi mikirin Andre, kan?”tanya Sony.
Uh….telak
sekalih tebakannya. Yeah…Sony dulu emang teman Andre. Satu tim sepak bola.
“Jadi,
bener kamu mikirin dia,”guman Sony karena aku tak menjawab.
Aku
cuma tersenyum kecil. Harus ngomong apa lagi? Tebakan Sony emang bener banget!
Sony tahu banget kalau aku suka Andre dan tetap menunggu
sampai sekarang. Dulu,dari Sony aku tahu Andre juga suka aku. Tapi karena Andre
udah pergi jauh dan mereka beda tim, komunikasi pun terputus. Jadi, Sony juga
sama nggak tahunyadenganku tentang perasaan Andre sekarang.
***
Sony menghampiriku sambil menenteng sepatu bola di
pundaknya. Biasa, pemain bola suka nggak kerasan lama-lama pake sepatu. Alasannya
sih, panas! Bikin bau kaki aja!
“Savina,
ada yang perlu aku omongin ama kamu. Entar aku ke rumahmu, ya,” ucap Sony
langsung.
“Kenapa
nggak ngomong sekarang aja?” tanyaku.
“Nggak
bisa. Ini penting banget!” balas Sony.
Tumben
Sony bicara serius.
“Gimana
kalau aku aja yang ke tempatmu? Nanti aku mau ke toko buku. Tempatnya, kan,
deket dengan tempatmu. Jadi, ntar aku sekalian mampir,”ucapku.
“Oke.
Terserah kamu,” jawab Sony seraya naik bus. Ia melambaikan tangan sebelum bus
benar-benar berangkat meninggalkan pelataran stadion.
Aku
pun langsung meninggalkan stadion menuju tempat kerjaku.
***
Aku memarkir mobilku di halaman mess tempat Sony dan
timnya bernaung.
“Savina,
langsung aja ke ruang tamu!” seru Sony dari balkon kamarnya begitu aku keluar
dari mobil.
Aku
mengiyakan dan langsung melangkah menuju ruang tamu.
“Ada
yang mau aku tunjukin ke kamu,” ucap Sony begitu dia masuk ke ruang tamu.
“Ada
apa sih? Kayaknya serius banget,” tanyaku seraya duduk di sofa.
“Tapi
sebelumnya aku minta kamu tenang dulu,” ucap Sony seraya duduk di depanku.
“Ha?
Aku udah tenang dari tadi,” balasku santai. “Sebenarnya ada apa, sih?” tanyaku
penasaran. Heran! Sony keliatan aneh banget hari ini!
Sony menarik nafas panjang dan perlahan mengeluarkan
sesuatu dari saku celana pendeknya, lalu memberikannya padaku.
“Undangan?
Buat kamu kan? Kenapa di kasih ke aku?” tanyaku heran.
“Baca
dulu,” sahut Sony.
Aku
membuka undangan berwarna biru muda itu. Hatiku bagai tersambar petir setelah
membaca nama calon mempelai dalam undangan pernikahan itu.
Di situ tertulis nama Andreas Daviano dan Liana Mayasari.
Entah siapa Liana itu. Aku belum pernah mendengar namanya. Yang jelas dia sudah
membuat semua impian dan harapanku hilang. Hatiku hancur berkeping-keping.
“Sa,
kamu nggak apa-apa?” tanya Sony.
Aku
langsung meletakkan undangan itu di atas meja. Aku bener-bener nggak bisa nahan
air mataku. Sumpah! Aku nggak bisa bilang aku nggak apa-apa. Aku udah
bener-bener hancur.
“Sa,
aku minta maaf. Aku…”
Aku mengangkat tanganku ke arah Sony, meminta dia tak
meneruskan ucapannya. “Kamu nggak salah apa-apa, Son. Kamu nggak perlu minta
maaf,” ucapku setelah agak tenang.
“Tapi…”
“Aku
mau pulang,” ucapku seraya menghapus air mataku.
“Aku
anter,” tawar Sony.
“Aku
bawa mobil,” balasku singkat seraya berdiri.
“Kamu
nggak apa-apa nyetir sendiri?” tanya Sony.
“Tenang
aja. Aku nggak akan bunuh diri, kok,” jawabku seraya keluar dari ruang tamu.
Aku menuju mobilku dan meluncur ke jalan raya.
***
Serius, aku belum pernah merasa sehancur ini dalam
hidupku.
Aku
udah berkali-kali patah hati, tapi semua itu gampang aja aku lewati. Sekarang, hatiku
benar-benar merasa hancur. Aku belum pernah merasa sesakit ini. Bagiku Andre
begitu berarti. Aku berharap banyak darinya. Tapi,ternyata begitu mudah dia
melupakanku.
Aku terus menyetir tanpa tujuan.Waktu sudah menunjukkan
pukul dua belas malam. Entah, rasanya aku nggak pingin pulang. Rasanya aku
nggak bisa menerima kenyataan ini. Mungkin lebih baik bumi hancur saat ini
juga. Atau..aku masih berharap ini semua nggak bener. Ini semua cuma mimpi. Ah,
Savina, kau begitu menyedihkan.
Sepertinya udah nggak ada lagi semangat dan harapan di
hatiku. Aku nggak tahu, apa aku bisa menjalani hari esok. Aku begitu takut
menghadapi kenyataan Andre bukan milikku dan nggak akan pernah jadi milikku. Nggak
akan pernah! Selamanya. He is not for me.
***
“Sa…! Savina…! Kamu ada di dalam…?”
Teriakan
Sony dari luar kudengar jelas. Tanpa
lelah dia terus mengetuk pintu rumahku. Akhirnya aku beranjak juga dan
membukakan pintu untuknya.
“Masuklah,”
ucapku pelan.
Dia
langsung mengikutiku masuk rumah.
“Hh…untunglah
kamu masih hidup,” gumam Sony.
Aku
tersenyum kecil.
“Gelap
sekali di sini. Nggak bagus untuk kesehatan,” ucap Sony seraya membuka semua
tirai dan jendela sehingga matahari bisa masuk ke rumah.
“Kamu
nggak apa-apa, kan?”tanya Sony seraya duduk di kursi ruang tengah.
“Nggak
apa-apa. Kamu nggak perlu terlalu khawatir,” balasku seraya meletakkan gelas
dan botol minuman di depan Sony.
“Nggak
khawatir gimana? Dua minggu kamu nggak masuk kerja. Hape nggak di aktifin,
telepon nggak bisa di hubungi, dan..aku lihat rumahmu seperti tak berpenghuni. Jelaslah
aku khawatir kamu kenapa-napa” balas Sony.
“Aku
nggak apa-apa, kok. Aku cuma nenangin diri,” balasku pelan.
“Selama
dua minggu,kamu kemana aja?” tanya Sony.
“Nggak
kemana-mana. Di rumah aja,” jawabku.
“Jadi,
ceritanya selama dua minggu kamu semedi di dalam rumah dan nggak
keluar-keluar?” tanya Sony.
Aku
mengangguk pelan.
Sony
menatapku tajam. “Udah berapa lama kamu nggak makan? ”tanya Sony.
“Hah?”
“Kamu
kurus banget! Aku bikinkan makanan, ya.” Sony langsung ngeloyor ke dapur tanpa menunggu
jawabanku.
Apa iya aku kurus? Perasaan biasa aja deh! Memang, sih, aku
juga nggak inget kapan terakhir kali aku makan. Aku bahkan nggak nyadar
bersemedi cukup lama. Waktu sepertinya berlalu begitu saja. Kalau sudah dua
minngu, berarti penikahan Andre sudah di gelar.
Sony
menaruh sepiring penuh sandwich dan secangkir susu coklat panas di depanku.
“Ayo
makan!” perintah Sony.
Aku
menghirup susu coklat sedikit, sedang Sony mencomot sandwich dan memakannya.
“Habis
dari tempatku dulu itu kamu pulang jam berapa?” tanya Sony.
“Entah!
Kira-kira mau shubuh gitu,” jawabku seraya mengambil sandwich.
“Pantes,”
gumam Sony pelan.
“Kenapa?”
tanyaku nggak ngerti.
“Abis
kamu pulang, aku trus cari kamu karena khawatir. Karena aku nggak nemu kamu di
jalan, aku langsung ke rumahmu. Ternyata kamu belum pulang. Aku tunggu lama,
kamu nggak dateng-dateng. Ya aku balik. Kamu, kan, tahu batas waktu keluarku
cuma sampai jam sepuluh malam kalau hari biasa,” jawab Sony panjang.
“Sorry
ya, bikin kamu khawatir,” ucapku pelan.
Sony
tersenyum kecil. “Kita, kan, teman. Lihat kamu baik-baik aja, aku jadi tenang,”
ucap Sony.
“Gimana
penikahannya? Kamu dateng, kan?”tanyaku.
Sony
agak ragu. “Gitu, deh. Biasa aja. Aku cuma bentar di sana,” jawab Sony.
“Kenapa?”
tanyaku nggak ngerti.
“Capek! Waktunya mepet
banget. Begitu sampai sana langsung ke pesta. Trus besoknya langsung pulang. Abis
nggak libur, sih. Latihan tetep jalan,” jelas Sony.
“Hh…nggak
nyangka dia nikah duluan,”gumamku.
“Mungkin
dia emang bukan jodoh kamu. Relain dia, ya,” ucap Sony.
Aku
tersenyum. “Aku tahu. Memang sakit, tapi ya…inilah kenyataannya. Rela nggak
rela aku harus rela. Kenyataannya demikian. Aku nggak bisa apa-apa. Aku harus
terima takdirku,”
“Aku
tahu kamu pasti bisa lanjutin hidup. Kamu nggak akan mati karena cowok, kan?” ucap
Sony.
“Aku
nggak sekuat itu, Son. Aku lemah banget. Aku begitu kehilangan Andre. Tapi,
ya…kadang kenyataan emang nggak sesuai harapan. Mungkin salahku juga terlalu
berharap.”
“Tapi
aku nggak bohong waktu dulu aku bilang Andre suka kamu. Andre sendiri yang
bilang ke aku. Aku juga nggak nyangka kalau Andre segitu cepatnya lupain kamu
dan menikah dengan orang lain.”
“Hh…aku
pikir, Andre cuma berpikir rasional. Kami berdua nggak ada hubungan apa-apa dan
nggak pernah ketemu selama dua tahun. Wajar kalau dia lebih memilih yang lain
yang lebih pasti, dan mungkin lebih baik. But it’s okay. It’s over. And now,
life must go on.”
“Itu
bagus!” ucap Sony sambil minum susu coklatnya.
“Setidaknya
aku bisa ambil sisi positif dari peristiwa ini. Setidaknya aku dapat kepastian
Andre udah nggak bisa di tunggu lagi. Aku jadi tahu apa yang harus ku lakukan karena
jelas, nggak ada harapan lagi. Yeah…setidaknya, cerita cintaku nggak ngambang
lagi. Udah ada kepastiannya,”ucapku panjang.
Andreas Daviano, aku akan merelakan pernikahanmu. Walaupun
sakit, aku akan terus hidup tanpamu. Tapi kau cinta sejatiku. Aku akan
menyimpanmu di hatiku. Semoga kau bahagia bersama istrimu.
Cepi
R. Dini [KucingPipush], 20 Februari 2006
4 komentar:
Like this cerpen :)
tengkyu :)
pa da referensi lain ttg buku y9 kmu tulis ini????
cerpen'y b9us. thank's dach shere
referensi seperti apa ya maksudnya? :)
Posting Komentar