Sabtu, 04 Agustus 2012

Akhir Penantian Cinta (Little Story in My Life)

Cover KumCer Little Story in My Life
Kadang aku berpikir,aku ini bodoh banget! Gimana nggak? Aku suka sama cowok, yang sudah dua tahun ini pergi jauh. Sedangkan kami sama sekali tidak kenal.
Yeah…bisa di bilang, kami cuma kenal secara tidak langsung. Hubungan kami hanya sebatas say hi. Tapi, sampai sekarang aku masih berharap dia kembali karena aku tahu, kalau dia juga suka aku. Yeah…setidaknya itu yang kurasakan darinya, sampai hari terakhir keberadaannya di kota ini. Entah sekarang.
“Kenapa dari tadi melamun terus?” tegur Sony yang sudah ada di sampingku.
“Hm….cuma merenung,” balasku sambil tersenyum kecil.
“Merenung soal apa?” tanyanya lagi.
“Yeah…tentang perjalanan hidupku selama ini,” jawabku asal.
Sony tersenyum. “Kamu nggak lagi mikirin Andre, kan?”tanya Sony.
Uh….telak sekalih tebakannya. Yeah…Sony dulu emang teman Andre. Satu tim sepak bola.
“Jadi, bener kamu mikirin dia,”guman Sony karena aku tak menjawab.
Aku cuma tersenyum kecil. Harus ngomong apa lagi? Tebakan Sony emang bener banget!
            Sony tahu banget kalau aku suka Andre dan tetap menunggu sampai sekarang. Dulu,dari Sony aku tahu Andre juga suka aku. Tapi karena Andre udah pergi jauh dan mereka beda tim, komunikasi pun terputus. Jadi, Sony juga sama nggak tahunyadenganku tentang perasaan Andre sekarang.
                                                                        ***
            Sony menghampiriku sambil menenteng sepatu bola di pundaknya. Biasa, pemain bola suka nggak kerasan lama-lama pake sepatu. Alasannya sih, panas! Bikin bau kaki aja!
“Savina, ada yang perlu aku omongin ama kamu. Entar aku ke rumahmu, ya,” ucap Sony langsung.
“Kenapa nggak ngomong sekarang aja?” tanyaku.
“Nggak bisa. Ini penting banget!” balas Sony.
Tumben Sony bicara serius.
“Gimana kalau aku aja yang ke tempatmu? Nanti aku mau ke toko buku. Tempatnya, kan, deket dengan tempatmu. Jadi, ntar aku sekalian mampir,”ucapku.
            “Oke. Terserah kamu,” jawab Sony seraya naik bus. Ia melambaikan tangan sebelum bus benar-benar berangkat meninggalkan pelataran stadion.
Aku pun langsung meninggalkan stadion menuju tempat kerjaku.
                                                                        ***
            Aku memarkir mobilku di halaman mess tempat Sony dan timnya bernaung.
“Savina, langsung aja ke ruang tamu!” seru Sony dari balkon kamarnya begitu aku keluar dari mobil.
Aku mengiyakan dan langsung melangkah menuju ruang tamu.
“Ada yang mau aku tunjukin ke kamu,” ucap Sony begitu dia masuk ke ruang tamu.
“Ada apa sih? Kayaknya serius banget,” tanyaku seraya duduk di sofa.
“Tapi sebelumnya aku minta kamu tenang dulu,” ucap Sony seraya duduk di depanku.
“Ha? Aku udah tenang dari tadi,” balasku santai. “Sebenarnya ada apa, sih?” tanyaku penasaran. Heran! Sony keliatan aneh banget hari ini!
            Sony menarik nafas panjang dan perlahan mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya, lalu memberikannya padaku.
“Undangan? Buat kamu kan? Kenapa di kasih ke aku?” tanyaku heran.
“Baca dulu,” sahut Sony.
Aku membuka undangan berwarna biru muda itu. Hatiku bagai tersambar petir setelah membaca nama calon mempelai dalam undangan pernikahan itu.
            Di situ tertulis nama Andreas Daviano dan Liana Mayasari. Entah siapa Liana itu. Aku belum pernah mendengar namanya. Yang jelas dia sudah membuat semua impian dan harapanku hilang. Hatiku hancur berkeping-keping.
“Sa, kamu nggak apa-apa?” tanya Sony.
Aku langsung meletakkan undangan itu di atas meja. Aku bener-bener nggak bisa nahan air mataku. Sumpah! Aku nggak bisa bilang aku nggak apa-apa. Aku udah bener-bener hancur.
“Sa, aku minta maaf. Aku…”
            Aku mengangkat tanganku ke arah Sony, meminta dia tak meneruskan ucapannya. “Kamu nggak salah apa-apa, Son. Kamu nggak perlu minta maaf,” ucapku setelah agak tenang.
“Tapi…”
“Aku mau pulang,” ucapku seraya menghapus air mataku.
            “Aku anter,” tawar Sony.
“Aku bawa mobil,” balasku singkat seraya berdiri.
“Kamu nggak apa-apa nyetir sendiri?” tanya Sony.
“Tenang aja. Aku nggak akan bunuh diri, kok,” jawabku seraya keluar dari ruang tamu. Aku menuju mobilku dan meluncur ke jalan raya.
                                                                        ***
            Serius, aku belum pernah merasa sehancur ini dalam hidupku.
Aku udah berkali-kali patah hati, tapi semua itu gampang aja aku lewati. Sekarang, hatiku benar-benar merasa hancur. Aku belum pernah merasa sesakit ini. Bagiku Andre begitu berarti. Aku berharap banyak darinya. Tapi,ternyata begitu mudah dia melupakanku.
            Aku terus menyetir tanpa tujuan.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Entah, rasanya aku nggak pingin pulang. Rasanya aku nggak bisa menerima kenyataan ini. Mungkin lebih baik bumi hancur saat ini juga. Atau..aku masih berharap ini semua nggak bener. Ini semua cuma mimpi. Ah, Savina, kau begitu menyedihkan.
            Sepertinya udah nggak ada lagi semangat dan harapan di hatiku. Aku nggak tahu, apa aku bisa menjalani hari esok. Aku begitu takut menghadapi kenyataan Andre bukan milikku dan nggak akan pernah jadi milikku. Nggak akan pernah! Selamanya. He is not for me.
                                                                        ***
            “Sa…! Savina…! Kamu ada di dalam…?”
Teriakan Sony dari luar kudengar  jelas. Tanpa lelah dia terus mengetuk pintu rumahku. Akhirnya aku beranjak juga dan membukakan pintu untuknya.
“Masuklah,” ucapku pelan.
Dia langsung mengikutiku masuk rumah.
“Hh…untunglah kamu masih hidup,” gumam Sony.
Aku tersenyum kecil.
“Gelap sekali di sini. Nggak bagus untuk kesehatan,” ucap Sony seraya membuka semua tirai dan jendela sehingga matahari bisa masuk ke rumah.
“Kamu nggak apa-apa, kan?”tanya Sony seraya duduk di kursi ruang tengah.
“Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu terlalu khawatir,” balasku seraya meletakkan gelas dan botol minuman di depan Sony.
“Nggak khawatir gimana? Dua minggu kamu nggak masuk kerja. Hape nggak di aktifin, telepon nggak bisa di hubungi, dan..aku lihat rumahmu seperti tak berpenghuni. Jelaslah aku khawatir kamu kenapa-napa” balas Sony.
“Aku nggak apa-apa, kok. Aku cuma nenangin diri,” balasku pelan.
“Selama dua minggu,kamu kemana aja?” tanya Sony.
“Nggak kemana-mana. Di rumah aja,” jawabku.
“Jadi, ceritanya selama dua minggu kamu semedi di dalam rumah dan nggak keluar-keluar?” tanya Sony.
Aku mengangguk pelan.
Sony menatapku tajam. “Udah berapa lama kamu nggak makan? ”tanya Sony.
“Hah?”
“Kamu kurus banget! Aku bikinkan makanan, ya.” Sony langsung ngeloyor ke dapur tanpa menunggu jawabanku.
            Apa iya aku kurus? Perasaan biasa aja deh! Memang, sih, aku juga nggak inget kapan terakhir kali aku makan. Aku bahkan nggak nyadar bersemedi cukup lama. Waktu sepertinya berlalu begitu saja. Kalau sudah dua minngu, berarti penikahan Andre sudah di gelar.
Sony menaruh sepiring penuh sandwich dan secangkir susu coklat panas di depanku.
“Ayo makan!” perintah Sony.
Aku menghirup susu coklat sedikit, sedang Sony mencomot sandwich dan memakannya.
“Habis dari tempatku dulu itu kamu pulang jam berapa?” tanya Sony.
“Entah! Kira-kira mau shubuh gitu,” jawabku seraya mengambil sandwich.
“Pantes,” gumam Sony pelan.
“Kenapa?” tanyaku nggak ngerti.
“Abis kamu pulang, aku trus cari kamu karena khawatir. Karena aku nggak nemu kamu di jalan, aku langsung ke rumahmu. Ternyata kamu belum pulang. Aku tunggu lama, kamu nggak dateng-dateng. Ya aku balik. Kamu, kan, tahu batas waktu keluarku cuma sampai jam sepuluh malam kalau hari biasa,” jawab Sony panjang.
“Sorry ya, bikin kamu khawatir,” ucapku pelan.
Sony tersenyum kecil. “Kita, kan, teman. Lihat kamu baik-baik aja, aku jadi tenang,” ucap Sony.
“Gimana penikahannya? Kamu dateng,  kan?”tanyaku.
Sony agak ragu. “Gitu, deh. Biasa aja. Aku cuma bentar di sana,” jawab Sony.
“Kenapa?” tanyaku nggak ngerti.
“Capek! Waktunya mepet banget. Begitu sampai sana langsung ke pesta. Trus besoknya langsung pulang. Abis nggak libur, sih. Latihan tetep jalan,” jelas Sony.
“Hh…nggak nyangka dia nikah duluan,”gumamku.
“Mungkin dia emang bukan jodoh kamu. Relain dia, ya,” ucap Sony.
Aku tersenyum. “Aku tahu. Memang sakit, tapi ya…inilah kenyataannya. Rela nggak rela aku harus rela. Kenyataannya demikian. Aku nggak bisa apa-apa. Aku harus terima takdirku,”
“Aku tahu kamu pasti bisa lanjutin hidup. Kamu nggak akan mati karena cowok, kan?” ucap Sony.
“Aku nggak sekuat itu, Son. Aku lemah banget. Aku begitu kehilangan Andre. Tapi, ya…kadang kenyataan emang nggak sesuai harapan. Mungkin salahku juga terlalu berharap.”
“Tapi aku nggak bohong waktu dulu aku bilang Andre suka kamu. Andre sendiri yang bilang ke aku. Aku juga nggak nyangka kalau Andre segitu cepatnya lupain kamu dan menikah dengan orang lain.”
“Hh…aku pikir, Andre cuma berpikir rasional. Kami berdua nggak ada hubungan apa-apa dan nggak pernah ketemu selama dua tahun. Wajar kalau dia lebih memilih yang lain yang lebih pasti, dan mungkin lebih baik. But it’s okay. It’s over. And now, life must go on.”
“Itu bagus!” ucap Sony sambil minum susu coklatnya.
“Setidaknya aku bisa ambil sisi positif dari peristiwa ini. Setidaknya aku dapat kepastian Andre udah nggak bisa di tunggu lagi. Aku jadi tahu apa yang harus ku lakukan karena jelas, nggak ada harapan lagi. Yeah…setidaknya, cerita cintaku nggak ngambang lagi. Udah ada kepastiannya,”ucapku panjang.
            Andreas Daviano, aku akan merelakan pernikahanmu. Walaupun sakit, aku akan terus hidup tanpamu. Tapi kau cinta sejatiku. Aku akan menyimpanmu di hatiku. Semoga kau bahagia bersama istrimu.

Cepi R. Dini [KucingPipush], 20 Februari 2006

4 komentar:

Yulianto Wibowo mengatakan...

Like this cerpen :)

Kucing Pipush mengatakan...

tengkyu :)

khacip's_88pejuang mengatakan...

pa da referensi lain ttg buku y9 kmu tulis ini????
cerpen'y b9us. thank's dach shere

Kucing Pipush mengatakan...

referensi seperti apa ya maksudnya? :)

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates