![]() |
Ilustrasi |
Sejak pertama kali pindah ke rumah baru kami di
Hillshire, aku merasa ada yang aneh dengan hutan yang ada di belakang rumah
kami. Entah kenapa, rasanya aku sering mendengar suara aneh dari hutan itu.
Terutama di malam hari. Aku seperti mendengar suara seseorang, atau sesuatu,
entahlah! Yang jelas, suara itu terdengar memilukan. Tapi anehnya, hanya aku
yang mendengar suara itu. Seluruh anggota keluargaku mengaku tak pernah
mendengar suara apapun.
“Suara dari hutan? Kami tidak pernah
dengar,” ucap Ayahku, saat kutanyakan perihal suara yang sering kudengar.
“Mungkin itu hanya halusinasimu,”
tambah Ibuku.
“Mungkin kau bermimpi,” sahut
saudara kembar lelakiku, Will.
Aku hanya diam. Apa benar, suara itu
hanya halusinasiku? Atau seperti kata Will, itu hanya mimpi? Tidak mungkin! Aku
yakin tidak sedang tidur saat aku mendengar suara itu.
***
Jarum jam di dinding kamarku sudah
menunjukkan pukul 12 malam. Tapi, aku belum bisa memejamkan mataku. Entah
kenapa? Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu. Suara itu! Suara aneh itu terdengar
lagi. Aku menajamkan pendengaranku.
Benar! Aku benar-benar mendengar suara itu. Dan aku yakin aku tidak
berhalusinasi. Aku juga tidak sedang bermimpi.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan
memakai jaketku. Aku mengambil senter, lalu keluar dari kamarku. Orang tuaku
dan Will pasti sudah tidur. Sebisa mungkin aku tak menimbulkan suara saat
mengendap-endap keluar dari rumah. Bagaimana pun, aku harus mengetahui asal
suara misterius yang hanya terdengar olehku saja itu.
“Mau kemana kau malam-malam begini?”
Langkahku terhenti saat kudengar
suara Will. Aku menoleh. Will sedang berdiri di ambang pintu dapur.
“Aku….aku mendengar suara itu lagi,”
jawabku.
Will berjalan mendekatiku. “Suara
apa? Aku tak mendengar apapun,” sahutnya.
“Tapi aku mendengarnya, Will! Aku
benar-benar mendengar suara itu. Dan aku yakin aku tidak sedang bermimpi atau
berhalusinasi,” balasku.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”
tanya Will.
“Aku akan ke hutan. Aku akan
menyelidiki asal suara itu,” jawabku.
“Kau gila!” seru Will. “Orang tua
kita melarang kita memasuki hutan itu, apalagi ini sudah tengah malam!”
tambahnya.
“Kau jangan bilang pada Ayah dan
Ibu!” sahutku. “Bagaimana pun, aku harus tahu asal suara itu, Will!”
“Kau yakin, benar-benar mendengar
suara itu?” tanya Will sangsi.
Aku menghela nafas pendek. “Terserah
kalau kau tak percaya! Aku tetap akan menyelidiki suara itu,” tegasku seraya
melanjutkan langkahku.
Will memegang tanganku. “Tunggu! Aku
ikut!” ucapnya.
Aku menghentikan langkahku dan
menatapnya.
“Aku tidak mau membiarkan kau ke
hutan sendirian tengah malam begini,” ucap Will.
Aku mengangkat bahu. “Terserah,”
sahutku singkat.
Aku menyalakan senterku. Kami berdua
lalu berjalan memasuki hutan lebat di belakang rumah kami.
***
Kami berdua terus melangkah masuk
hutan dengan hati-hati. Cahaya yang berasal dari senterku tak terlalu berguna
dalam hutan selebat ini. Will terus memegang tanganku. Sepertinya, dia tidak
mau aku jauh-jauh darinya. Sikap protective Will yang dulu sering kurasakan.
Walaupun, beberapa tahun terakhir, sudah jarang dia lakukan.
“Kau tahu, ke arah mana kita harus
pergi?” tanya Will.
Aku mengangguk. “Aku mengikuti arah
suara itu,” sahutku.
“Suara apa?” tanya Will. “Sampai
sekarang aku tak mendengar apapun,” tambahnya.
“Aku benar-benar mendengarnya, Will!
Dan, kini suara itu semakin jelas terdengar. Itu tandanya, kita sudah semakin
dekat dengan suara itu,” balasku.
Will mengehentikan langkahku.
“Amanda, kau tidak sedang mengada-ada, kan?!” tanyanya.
Aku mengehla nafas kesal. “Untuk apa
aku repot-repot masuk ke dalam hutan selebat ini, di tengah malam begini, kalau
aku hanya mengada-ada?” balasku.
“Kau bukan hanya sedang mencari
perhatian, kan?!” tanyanya lagi.
Aku menatapnya tak mengerti. “Cari
perhatian? Untuk apa?”
“Yeah…karena, akhir-akhir ini, aku
terlalu sibuk dengan teman-temanku. Mungkin kau merasa kesepian,” sahut Will.
“Yeah…aku memang kesepian!” sahutku.
“Tapi, aku tak akan mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku juga tak
memaksamu untuk percaya atau ikut denganku ke sini,” tambahku seraya berjalan
mendahului Will.
Will mengejarku dan kembali memegang
tanganku. “Maaf,” ucapnya singkat.
Aku tak menjawab. Aku terus
melangkah menuju asal suara yang kini kudengar semakin jelas.
***
Aku memperlambat langkahku ketika
melihat sesuatu yang bersinar sangat terang tak jauh di depan kami.
“Apa itu?” tanya Will.
“Entahlah,” jawabku singkat.
Aku melangkah pelan mendekati
sesuatu yang bersinar itu.
“Amanda, hati-hati! Mungkin disana
ada orang!” seru Will seraya mengikutiku.
Aku tak menghiraukannya. Aku terus
berjalan mendekati sinar itu. Will terus mengikutiku, sampai kami benar-benar
berada di dekat sesuatu yang bersinar itu.
“Apa ini?” tanya Will sambil
mengamati benda yang masih bersinar terang itu.
Aku semakin mendekati benda itu,
agar bisa mengamatinya lebih seksama. Will melakukan hal yang sama denganku. Setelah
beberapa lama mengamati, kami memutuskan, bahwa yang ada di depan kami itu
bukan benda, tapi suatu makhluk raksasa berbentuk burung. Tapi, bagian ekornya
yang sangat panjang itu, seperti terbuat dari sebatang pohon yang sangat
panjang dan berdaun lebat.
“Apa ini hasil rekayasa genetik?”
tanya Will.
“Tidak mungkin!” sergahku.
“Apa dia hidup?” tanya Will lagi.
Aku mengangkat bahu. “Sampai
beberapa saat yang lalu, aku masih mendengar suaranya. Tapi, kini aku tak
mendengar apapun,” jawabku.
“Tapi kenapa hanya kau yang
mendengar suaranya?” tanya Will. “Makhluk sebesar ini, jika bersuara, pasti
akan mengeluarkan suara yang sangat keras.”
“Mungkin suara itu berasal dari
hatinya,” jawabku.
Will menatapku bingung.
“Seperti panggilan batin,” sahutku.
“Yeah…mungkin saja,” gumam Will.
“Mungkin dia memang sengaja memanggilmu,”
Kami terus mengamati makhluk aneh di
hadapan kami. Tiba-tiba, mata makhluk itu terbuka.
“Dia hidup!” seru Will.
Makhluk itu menatap kami. Matanya
terlihat sangat menyedihkan. Aku mendengar suara itu sekali lagi. Meskipun
kulihat, paruhnya sama sekalih tidak terbuka. Suara itu, seperti suara rintihan
yang memilukan. Aku melangkah mendekatinya.
“Hati-hati, Amanda!” seru Will.
Aku terus melangkah mendekat. Aku
merasa makhluk itu memanggilku. Kuulurkan tanganku menyentuh wajahnya. Makhluk
itu memejamkan matanya. Aku membelai lembut bulu-bulu di wajahnya.
“Amanda, sepertinya dia terluka,”
ucap Will setelah mengamati makhlik itu lebih dekat. Aku menoleh pada Will.
“Terluka?” tanyaku.
Will mengangguk. “Sayapnya terluka,”
jawab Will seraya menunjuk sayap makhluk itu.
Aku mengikuti arah yang di tunjuk
Will. Benar, sayapnya terluka.
“Will, kita harus menolongnya,”
ucapku.
Will mengangguk. “Tapi, sekarang
kita harus pulang dulu. Sudah hampir pagi. Kalau kita tidak pulang sekarang,
ayah dan ibu pasti tahu kita menyelinap keluar malam-malam.” Ucap Will.
“Apa kita harus memberi tahu Ayah
dan Ibu mengenai hal ini?” tanyaku.
Will menggeleng. “Kurasa tidak,”
sahutnya. “Untuk sementara, ini akan jadi rahasia kita. Kita tidak tahu apa
yang akan dilakukan orang dewasa jika melihatnya. Kita belum bisa mempercayai
orang dewasa.”
“Baiklah,” sahutku. “Jadi, sekarnag
kita pulang dulu?”
“Yeah, nanti kita kembali lagi
membawa obat untuknya,” jawab Will.
Aku kembali menatap makhluk itu.
“Kami pergi dulu. Jangan khawatir, kami akan kembali untuk menolongmu,” ucapku
pada makhluk itu.
“Ayo!” ajak Will.
Aku mengangguk dan melangkah
mengikuti Will, kembali menuju rumah kami.
***
Sejak itu, aku dan Will rajin ke
hutan mengunjungi makhluk besar itu. Selain untuk mengobati luka di sayapnya,
kami juga membawakannya makanan. Karena kami tidak tahu apa yang biasa dia
makan, kami membawakan apa saja yang ada di lemari es. Ternyata, dia hanya
memakan buah-buahan. Dia sama sekalih tak menyentuh daging yang kami bawa.
Setelah kami mengobati luka di sayapnya dan memberinya makan, kini kondisi
makhluk itu bersangsur membaik. Matanya sudah tak terlihat menyedihkan. Justru
terlihat indah bersinar. Meskipun belum bisa bergerak, setidaknya dia sudah
bisa sedikit menggerakkan sayap dan kepalanya.
Dan, karena makhluk itu berwujud
setengah burung dan setengah pohon, aku menyebutnya Treebird. Meskipun, menurut
Will, nama itu konyol. Aku tak peduli. Labih baik menyebutnya Treebird,
daripada harus menyebutnya ‘makhluk besar yang aneh’. Dan sampai kini, hanya
aku dan Will yang mengetahui keberadaan Treebird. Sampai saat ini, kami belum
memberi tahu orang tua kami.
“Aduh! Sudah sesore ini, aku harus
latihan baseball!” seru Will setelah melihat jam tangannya.
“Pergilah! Aku ingin disini sebentar
lagi,” sahutku.
“Kau tidak apa-apa sendirian?” tanya
Will.
Aku mengangguk.
“Baiklah, hati-hati ya! Jangan
pulang terlalu gelap! Pulanglah sebelum Ayah dan Ibu pulang, agar mereka tidak
curiga!” pesan Will.
“Iya,” sahutku singkat.
Will tak berkata apa-apa lagi, dan melangkah pergi
meninggalkan aku bersama Treebird seorang diri.
***
Sepeninggal Will, aku tetap bersama
Treebird. Aku bertanya-tanya, darimana Treebird berasal. Sepertinya, aku tak
pernah melihat makhluk seperti ini sebelumnya. Sampai kini, kadang aku pikir aku
hanya bermimpi. Ah, tentu saja aku tidak bermimpi.
“Apakah kau berasal dari sini?”
pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Treebird menatapku. Tiba-tiba
peristiwa aneh terjadi. Saat aku menatap mata Treebird, tiba-tiba saja aku jadi
mengetahui semua tentang Treebird. Meskipun tanpa berkata apapun, aku bisa
mengetahui asal Treebird, dan bagaimana dia sampai terdampar di sini. Seolah
semua memori Treebird di-transfer ke dalam kepalaku
“Jadi, kau rindu kampung halamanmu?
Kau ingin pulang?” tanyaku.
Treebird mengangguk.
“Tunggu ya, sebentar lagi lukamu
akan sembuh. Setelah itu kau bisa kembali ke tempat asalmu.” Ucapku lagi seraya
membelai lembut bulu-bulu Treebird. Treebird memejamkan matanya menikmati
belaianku.
***
“Gunung Odympus? Dimana itu? Aku
belum pernah dengar,” tanya Will ketika kuceritakan tentang asal usul Treebird
bisa sampai di hutan belakang rumah kami.
“Aku juga belum pernah dengar,”
balasku. “Tapi, Treebird mengatakan, dari gunung itulah dia berasal.”
“Coba kita cari di internet,” usul
Will seraya menghidupkan laptopnya dan mulai mencari tahu tentang Gunung
Odympus.
Dari semua informasi yang
berhubungan dengan Gunung Odympus, semuanya mengatakan gunung itu tak ada.
Gunung Odympus hanya ada dalam mitologi kuno. Entah siapa yang menciptakan dan
berasal dari negara mana, tak ada yang tahu. Tapi, penelitian tentang gunung
itu telah banyak dilakukan. Dan, tak satupun yang berhasil menemukan keberadaan
Gunung Odympus. Sehingga dipastikan, gunung itu memang tak pernah ada. Dalam
mitologi itu juga dijelaskan, konon di gunung itu terdapat kawanan makhluk
raksasa yang disebut Gaulloissa. Tapi tak di sebutkan seperti apa wujud makhluk
itu.
“Menurutmu, apa Treebird salah satu
Gaulloissa?” tanyaku pada Will.
“Mungkin saja,” sahut Will. “Tapi,
dikatakan disini, gunung itu tidak ada.” Tambahnya.
“Itu karena belum ada yang berhasil
menemukannya,” balasku. “Nyatanya, kita menemukan Treebird. Berarti, Gunung
Odympus benar-benar ada.”
“Hanya saja, kita tidak tahu letak
gunung itu.” Gumam Will. “Apalagi yang kau ketahui tentang Treebird? Kapan dia
terdampar disini?” tanya Will.
“Sudah lama,” jawabku. “Treebird
sendiri tak tahu kapan pastinya.”
“Menurutmu, apakah dia bisa
terbang?” tanya Will lagi.
“Sepertinya begitu,” jawabku.
“Maksudku, dulu dia bisa terbang. Karena dia terluka dan jatuh di hutan itu
saat dia terbang,” jelasku.
“Kenapa dia sampai terluka?” tanya
Will.
Aku mengangkat bahu. “Saat Treebird sedang terbang,
tiba-tiba ada yang menghantam sayapnya dari bawah, lalu dia terjatuh.” Jawabku.
“Setelah sekian lama terluka dan
berada di dalam hutan, apakah dia masih bisa terbang?” tanya Will.
“Entahlah! Semoga saja masih bisa,”
balasku.
Will menarik nafas. “Sudahlah,
sekarang yang terpenting, sayap Treebird harus sembuh dulu. Baru nanti kita
memikirkan, bagaimana caranya dia bisa pulang.” ujar Will.
Aku mengangguk. “Yeah… kau benar,”
sahutku. “Terima kasih, Will!”
“Untuk apa?” tanya Will tak
mengerti.
Aku tersenyum. “Untuk semuanya,”
balasku seraya keluar dari kamarnya.
***
Semakin lama, kondisi Treebird
semakin membaik. Luka di sayapnya berangsur sembuh. Bahkan, kini Treebird sudah
bisa berjalan kian kemari. Dia juga sudah bisa mengeluarkan suara dari
paruhnya. Hanya saja, aku melarangnya sering bersuara. Aku takut ada orang lain
yang mendengar suaranya. Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat orang lain jika
mengetahui keberadaan Treebird.
Meskipun hutan ini terletak cukup
jauh dari rumah penduduk lainnya, tapi tidak menutup kemungkinan ada orang yang
memasuki hutan. Aku tak mau ambil resiko. Selama ini saja, aku sering khawatir,
kalau-kalau ada orang lain yang tak sengaja mengetahui keberadaan Treebird. Aku
takut akan ada yang berbuat jahat padanya.
“Anak-anak….. kalian disini…?!”
Aku dan Will tersentak mendengar
suara Ayah kami. Kenapa Ayah tahu kami ada di sini?
“Will, bagaimana Ayah bisa sampai
disini?” tanyaku pada Will.
Will mengangkat bahu. “Aku tidak
tahu,” sahutnya.
“Aku akan membawa Treebird
bersembunyi. Kau, sebisa mungkin cegah Ayah kemari!” perintahku dengan panik.
Will hanya mengangguk tanpa
membantah. Dia segera berlari ke arah datangnya suara Ayah kami. Sementara aku,
langsung mencari tempat untuk menyembunyikan Treebird. Dengan badan Treebird
sebesar itu, sangat sulit menemukan tempat untuk menyembunyikannya. Meskipun,
pohon-pohon di sini juga berukuran sangat besar. Tapi, sepertinya, tak cukup
bisa menutupi tubuhnya jika Ayah sampai ke tempat ini.
“Sedang apa kalian di dalam hutan?”
kudengar suara Ayah bertanya.
“Eh, kami…sedang mengerjakan tugas
penelitian dari sekolah,” jawab Will berbohong. “Bagaimana Ayah tahu, kami ada
di sini?” tanya Will.
“Yeah….saat pulang tadi, aku melihat
kalian masuk ke dalam hutan,” jawab Ayah. “Bukankah aku sudah melarang kalian
masuk ke dalam hutan?”
“Iya, tapi kami mendapat tugas
meneliti macam-macam tumbuhan. Jadi, kami harus masuk ke dalam hutan untuk
mengerjakan tugas itu,” balas Will.
“Lalu, dimana Amanda?” tanya Ayah.
“Eh, dia sedang sibuk di sana,”
sahut Will sekenanya.
Sejauh ini, sepertinya Will berhasil
menahan Ayah. Tapi, sepertinya aku harus cepat-cepat muncul di hadapan ayah
agar Ayah tidak curiga. Setelah kurasa menemukan tempat yang cukup bisa
menyembunyikan tubuh Treebird, aku melangkah menuju tempat Ayah dan Will.
“Hai, Ayah!” sapaku seraya berjalan
mendekati Ayah dan Will. “Ayah sudah pulang?” tanyaku.
“Yeah...hari ini aku bekerja
setengah hari,” jawab Ayah. “Apa yang kalian lakukan disini?”
“Seperti yang Will katakan tadi.
Kami mengerjakan tugas penelitian dari sekolah.” Jawabku.
Tiba-tiba Treebird mengeluarkan
suara yang keras.
“Suara apa itu?” tanya Ayah
terkejut.
“Suara apa? Aku tak mendengar
apapun,” sahutku berpura-pura.
“Apa maksudmu tak mendengar apapun?
Suara itu terdengar sangat keras!” balas Ayah.
“Benar kata Amanda, aku juga tak
mendengar apa-apa,” ujar Will.
“Apa kalian bercanda?” tanya Ayah
seraya menatap kami tajam.
Sekali lagi suara Treebird
terdengar. Kali ini lebih keras. Aku dan Will tak bisa menyembunyikan kepanikan
kami.
“Anak-anak, kalian menyembunyikan
sesuatu?” tanya Ayah, tetap menatap tajam ke arah kami.
Aku dan Will saling berpandangan.
Lalu kami mengangkat bahu. Artinya, kami memutuskan akan bicara terus terang
pada Ayah kami.
“Kau yang katakan!” ucap Will
padaku.
“Kami, menemukan sesuatu,” ucapku
pada Ayah.
Ayah menatap kami tak mengerti.
“Akan kutunjukkan sesuatu,” ucapku
seraya meminta Ayah mengikutiku.
Ayah dan Will mengikutiku berjalan
menuju tempat aku menyembunyikan Treebird. Yeah… meskipun sebenarnya, tak
terlalu tersembunyi juga. Seperti yang kukatakan tadi, badan Treebird terlalu
besar untuk di sembunyikan. Apalagi, kini Treebird benar-benar keluar dari
persembunyiannya.
“A…apa itu…?!” seru ayahku terkejut
begitu melihat sosok Treebird. “Apa aku sedang bermimpi?” tanyanya kemudian.
“Tidak, Ayah. Dia nyata,” jawabku.
“Makhluk apa itu?” tanya Ayahku
lagi.
“Kami tidak tahu makhluk apa itu.
Kami menyebutnya Treebird,” jawabku.
Kemudian Will menjelaskan segala
tentang Treebird pada Ayah kami. Mulai dari suara aneh yang hanya bisa
terdengar olehku, sampai kami menemukan Treebird dan mengobati lukanya. Will
juga menceritakan darimana Treebird berasal, dan keinginan Treebird untuk
pulang ke asalnya.
“Ayah tidak akan menceritakan ini
pada siapapun, kan?” tanyaku.
“Menceritakan pada siapa maksudmu?”
tanya Ayah.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah,”
sahutku. “Sebagai orang dewasa, apa yang akan Ayah lakukan sekarang? Setelah
mengetahui keberadaan makhluk aneh ini?”
“Ayah tidak akan melaporkan pada
polisi, kan?” tanya Will. “Mereka pasti akan mengadakan macam-macam penelitian
pada Treebird, jika mereka mengetahui keberadaannya. Dengan begitu, mereka akan
menyakiti Treebird,” tambah Will.
“Hei….! Tunggu…! Aku tak mungkin
melakukan itu!” seru Ayah.
Aku dan Will menarik nafas lega.
“Lalu, apa rencana kalian untuk
mengembalikan makhluk ini ke tempat asalnya?” tanya Ayah.
Aku dan Will saling berpandangan.
Kemudian sama-sama mengangkat bahu.
“Kami belum punya ide,” sahut Will.
“Bisakah Ayah membantu kami?”
tanyaku kemudian.
Ayah mengehela nafas pendek. “Akan
kupikirkan sesuatu,” gumamnya.
***
Kini, luka Treebird benar-benar
telah sembuh. Dia sudah dapat mengepakkan sayapnya. Tapi, karena lebatnya
hutan, dia tak bisa mengepakkan sayapnya dengan bebas. Tak ada cukup ruang
untuknya membentangkan sayapnya. Seiring dengan kesembuhannya, tubuhnya juga
semakin bersinar. Aku semakin takut keberadaannya diketahui orang lain. Karena,
sinar yang keluar dari tubuhnya benar-benar terang. Apalagi di malam hari,
sinar terang dari tubuhnya memancar di seluruh penjuru hutan. Aku bisa melihat
sinar itu dari rumahku.
Bagaimanapun, aku harus segera
menemukan cara agar Treebird bisa pulang ke tempat asalnya. Kalau tidak, cepat
atau lambat keberadaannya pasti akan diketahui orang lain.
“Kita harus memastikan, apakah Treebird
masih bisa terbang?” ucap Will padaku.
“Itu dia masalahnya!” seruku.
“Bagaimana dia bisa mencoba terbang di dalam hutan yang lebat seperti itu?”
“Ada lapangan rumput luas di sisi
lain hutan itu,” ucap Ayah tiba-tiba.
Aku dan Will menoleh padanya secara
bersamaan. “Benarkah?” tanya kami hampir bersamaan.
“Yeah, aku menemukannya kemarin,”
sahut Ayah. “Aku sengaja mencari tempat untuk Treebird mencoba terbang. Dan aku
menemukannya. Kurasa lapangan itu cukup untuk Treebird mencoba mengepakkan
sayapnya.”
“Kita coba sekarang!” seru Will
bersemangat.
“Ayo!” balasku seraya berlari menuju
hutan tempat Treebird berada. Bersama-sama, kami mengajak Treebird ke lapangan
berumput yang diceritakan Ayah.
***
Treebird langsung berlari ke tengah
lapangan, begitu kami sampai di lapangan berumput itu. Yeah, kurasa lapangan
itu cukup luas untuk Treebird mencoba terbang. Semoga saja dia masih bisa
terbang. Agar dia bisa kembali ke Gunung Odympus. Tempat asalnya.
“Ayo Treebird…..!!! Kepakkan
sayapmu! Terbanglah…!!!” seruku.
Seolah mengerti ucapanku, Treebird
mulai mengepakkan sayapnya. Kedua sayap Treebird membentang lebar. Setiap
kepakan sayapnya menimbulkan hembusan angin yang kencang. Kami sampai tehuyung
dibuatnya.
Setelah beberapa saat mengepakkan
sayapnya, akhirnya Treebird mampu mengangkat tubuh besarnya.
“Berhasil! Treebird berhasil
terbang!” serukku senang.
Sementara Treebird terbang semakin
tinggi dan berputar-putar di atas kami. Kami menatapnya dengan sangat takjub.
Betapa ajaib rasanya, melihat makhluk sebesar itu terbang di udara.
Tiba-tiba Treebird mendarat dan
melangkah menghampiri kami.
“Ada apa?” tanya Will.
Treebird menatapku dan Will
bergantian, lalu membentangkan satu sayapnya menyentuh kami. Kepalanya menengok
ke arah punggungnya.
“Apa yang dia inginkan?” tanya Will
padaku.
“Sepertinya dia ingin kita naik ke
punggungnya,” jawabku.
“Dia ingin mengajak kita terbang?”
tanya Will.
“Sepertinya begitu,” sahutku.
Aku dan Will melangkah mendekat.
Dengan sayapnya, Treebird membantu kami naik ke punggungnya. Treebird
mengepakkan sayapnya dan mengajak kami terbang ke udara. Baru pertama kali aku
merasakan terbang di udara seperti ini. Naik di punggung burung raksasa.
Rasanya sangat menakjubkan.
Setelah cukup lama terbang, Treebird
mengajak kami kembali ke bumi. Kami mendarat di tempat yang sama saat kami
terbang. Aku dan Will turun dari punggung Treebird.
“Terima kasih! Ini pengalaman paling
menakjubkan dalam hidupku,” ucapku pada Treebird.
Treebird hanya mengedipkan matanya.
Setelah menyentuh kami dengan sayapnya yang lebar sebagai salam perpisahan,
Treebird memekik keras dan kembali terbang ke angkasa. Sejenak dia
berputar-putar di atas kami, lalu pergi menjauh dan semakin tinggi. Hingga
sosoknya tak terlihat lagi.
Tiba-tiba saja, air mataku meleleh.
Aku sadar, aku tak akan berjumpa dengan Treebird lagi. Sahabat besarku itu,
telah kembali ke asalnya.
Will merangkulku. “Jangan menangis,
Treebird akan lebih bahagia di tempat asalnya,” hibur Will.
“Aku tahu,” sahutku. “Aku hanya
sedih berpisah dengannya. Sekarang, aku akan kesepian lagi.”
“Tenanglah, aku tak akan
meninggalkanmu sendiri. Kau tak akan kesepian lagi,” janji Will.
Aku tersenyum dan memeluknya.
Ket: Lomba Cerpen Kastil FantasiBy : Cepi R Dini (KucingPipush)Ilustrasi By : Erdhi AgustiadiCerpen ini bisa dilihat di http://kastilfantasi.com/2012/07/terbanglah-treebird
0 komentar:
Posting Komentar