Minggu, 12 Agustus 2012

Terbanglah, Treebird

Ilustrasi
Sejak pertama kali pindah ke rumah baru kami di Hillshire, aku merasa ada yang aneh dengan hutan yang ada di belakang rumah kami. Entah kenapa, rasanya aku sering mendengar suara aneh dari hutan itu. Terutama di malam hari. Aku seperti mendengar suara seseorang, atau sesuatu, entahlah! Yang jelas, suara itu terdengar memilukan. Tapi anehnya, hanya aku yang mendengar suara itu. Seluruh anggota keluargaku mengaku tak pernah mendengar suara apapun.
“Suara dari hutan? Kami tidak pernah dengar,” ucap Ayahku, saat kutanyakan perihal suara yang sering kudengar.
“Mungkin itu hanya halusinasimu,” tambah Ibuku.
“Mungkin kau bermimpi,” sahut saudara kembar lelakiku, Will.
Aku hanya diam. Apa benar, suara itu hanya halusinasiku? Atau seperti kata Will, itu hanya mimpi? Tidak mungkin! Aku yakin tidak sedang tidur saat aku mendengar suara itu.
***
Jarum jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tapi, aku belum bisa memejamkan mataku. Entah kenapa? Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu. Suara itu! Suara aneh itu terdengar lagi.  Aku menajamkan pendengaranku. Benar! Aku benar-benar mendengar suara itu. Dan aku yakin aku tidak berhalusinasi. Aku juga tidak sedang bermimpi.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan memakai jaketku. Aku mengambil senter, lalu keluar dari kamarku. Orang tuaku dan Will pasti sudah tidur. Sebisa mungkin aku tak menimbulkan suara saat mengendap-endap keluar dari rumah. Bagaimana pun, aku harus mengetahui asal suara misterius yang hanya terdengar olehku saja itu.
“Mau kemana kau malam-malam begini?”
Langkahku terhenti saat kudengar suara Will. Aku menoleh. Will sedang berdiri di ambang pintu dapur.
“Aku….aku mendengar suara itu lagi,” jawabku.
Will berjalan mendekatiku. “Suara apa? Aku tak mendengar apapun,” sahutnya.
“Tapi aku mendengarnya, Will! Aku benar-benar mendengar suara itu. Dan aku yakin aku tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi,” balasku.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Will.
“Aku akan ke hutan. Aku akan menyelidiki asal suara itu,” jawabku.
“Kau gila!” seru Will. “Orang tua kita melarang kita memasuki hutan itu, apalagi ini sudah tengah malam!” tambahnya.
“Kau jangan bilang pada Ayah dan Ibu!” sahutku. “Bagaimana pun, aku harus tahu asal suara itu, Will!”
“Kau yakin, benar-benar mendengar suara itu?” tanya Will sangsi.
Aku menghela nafas pendek. “Terserah kalau kau tak percaya! Aku tetap akan menyelidiki suara itu,” tegasku seraya melanjutkan langkahku.
Will memegang tanganku. “Tunggu! Aku ikut!” ucapnya.
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya.
“Aku tidak mau membiarkan kau ke hutan sendirian tengah malam begini,” ucap Will.
Aku mengangkat bahu. “Terserah,” sahutku singkat.
Aku menyalakan senterku. Kami berdua lalu berjalan memasuki hutan lebat di belakang rumah kami.
***
Kami berdua terus melangkah masuk hutan dengan hati-hati. Cahaya yang berasal dari senterku tak terlalu berguna dalam hutan selebat ini. Will terus memegang tanganku. Sepertinya, dia tidak mau aku jauh-jauh darinya. Sikap protective Will yang dulu sering kurasakan. Walaupun, beberapa tahun terakhir, sudah jarang dia lakukan.
“Kau tahu, ke arah mana kita harus pergi?” tanya Will.
Aku mengangguk. “Aku mengikuti arah suara itu,” sahutku.
“Suara apa?” tanya Will. “Sampai sekarang aku tak mendengar apapun,” tambahnya.
“Aku benar-benar mendengarnya, Will! Dan, kini suara itu semakin jelas terdengar. Itu tandanya, kita sudah semakin dekat dengan suara itu,” balasku.
Will mengehentikan langkahku. “Amanda, kau tidak sedang mengada-ada, kan?!” tanyanya.
Aku mengehla nafas kesal. “Untuk apa aku repot-repot masuk ke dalam hutan selebat ini, di tengah malam begini, kalau aku hanya mengada-ada?” balasku.
“Kau bukan hanya sedang mencari perhatian, kan?!” tanyanya lagi.
Aku menatapnya tak mengerti. “Cari perhatian? Untuk apa?”
“Yeah…karena, akhir-akhir ini, aku terlalu sibuk dengan teman-temanku. Mungkin kau merasa kesepian,” sahut Will.
“Yeah…aku memang kesepian!” sahutku. “Tapi, aku tak akan mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku juga tak memaksamu untuk percaya atau ikut denganku ke sini,” tambahku seraya berjalan mendahului Will.
Will mengejarku dan kembali memegang tanganku. “Maaf,” ucapnya singkat.
Aku tak menjawab. Aku terus melangkah menuju asal suara yang kini kudengar semakin jelas.
***
Aku memperlambat langkahku ketika  melihat sesuatu yang bersinar sangat terang tak jauh di depan kami.
“Apa itu?” tanya Will.
“Entahlah,” jawabku singkat.
Aku melangkah pelan mendekati sesuatu yang bersinar itu.
“Amanda, hati-hati! Mungkin disana ada orang!” seru Will seraya mengikutiku.
Aku tak menghiraukannya. Aku terus berjalan mendekati sinar itu. Will terus mengikutiku, sampai kami benar-benar berada di dekat sesuatu yang bersinar itu.
“Apa ini?” tanya Will sambil mengamati benda yang masih bersinar terang itu.
Aku semakin mendekati benda itu, agar bisa mengamatinya lebih seksama. Will melakukan hal yang sama denganku. Setelah beberapa lama mengamati, kami memutuskan, bahwa yang ada di depan kami itu bukan benda, tapi suatu makhluk raksasa berbentuk burung. Tapi, bagian ekornya yang sangat panjang itu, seperti terbuat dari sebatang pohon yang sangat panjang dan berdaun lebat.
“Apa ini hasil rekayasa genetik?” tanya Will.
“Tidak mungkin!” sergahku.
“Apa dia hidup?” tanya Will lagi.
Aku mengangkat bahu. “Sampai beberapa saat yang lalu, aku masih mendengar suaranya. Tapi, kini aku tak mendengar apapun,” jawabku.
“Tapi kenapa hanya kau yang mendengar suaranya?” tanya Will. “Makhluk sebesar ini, jika bersuara, pasti akan mengeluarkan suara yang sangat keras.”
“Mungkin suara itu berasal dari hatinya,” jawabku.
Will menatapku bingung.
“Seperti panggilan batin,” sahutku.
“Yeah…mungkin saja,” gumam Will. “Mungkin dia memang sengaja memanggilmu,”
Kami terus mengamati makhluk aneh di hadapan kami. Tiba-tiba, mata makhluk itu terbuka.
“Dia hidup!” seru Will.
Makhluk itu menatap kami. Matanya terlihat sangat menyedihkan. Aku mendengar suara itu sekali lagi. Meskipun kulihat, paruhnya sama sekalih tidak terbuka. Suara itu, seperti suara rintihan yang memilukan. Aku melangkah mendekatinya.
“Hati-hati, Amanda!” seru Will.
Aku terus melangkah mendekat. Aku merasa makhluk itu memanggilku. Kuulurkan tanganku menyentuh wajahnya. Makhluk itu memejamkan matanya. Aku membelai lembut bulu-bulu di wajahnya.
“Amanda, sepertinya dia terluka,” ucap Will setelah mengamati makhlik itu lebih dekat. Aku menoleh pada Will. “Terluka?” tanyaku.
Will mengangguk. “Sayapnya terluka,” jawab Will seraya menunjuk sayap makhluk itu.
Aku mengikuti arah yang di tunjuk Will. Benar, sayapnya terluka.
“Will, kita harus menolongnya,” ucapku.
Will mengangguk. “Tapi, sekarang kita harus pulang dulu. Sudah hampir pagi. Kalau kita tidak pulang sekarang, ayah dan ibu pasti tahu kita menyelinap keluar malam-malam.” Ucap Will.
“Apa kita harus memberi tahu Ayah dan Ibu mengenai hal ini?” tanyaku.
Will menggeleng. “Kurasa tidak,” sahutnya. “Untuk sementara, ini akan jadi rahasia kita. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan orang dewasa jika melihatnya. Kita belum bisa mempercayai orang dewasa.”
“Baiklah,” sahutku. “Jadi, sekarnag kita pulang dulu?”
“Yeah, nanti kita kembali lagi membawa obat untuknya,” jawab Will.
Aku kembali menatap makhluk itu. “Kami pergi dulu. Jangan khawatir, kami akan kembali untuk menolongmu,” ucapku pada makhluk itu.
“Ayo!” ajak Will.
Aku mengangguk dan melangkah mengikuti Will, kembali menuju rumah kami.
***
Sejak itu, aku dan Will rajin ke hutan mengunjungi makhluk besar itu. Selain untuk mengobati luka di sayapnya, kami juga membawakannya makanan. Karena kami tidak tahu apa yang biasa dia makan, kami membawakan apa saja yang ada di lemari es. Ternyata, dia hanya memakan buah-buahan. Dia sama sekalih tak menyentuh daging yang kami bawa. Setelah kami mengobati luka di sayapnya dan memberinya makan, kini kondisi makhluk itu bersangsur membaik. Matanya sudah tak terlihat menyedihkan. Justru terlihat indah bersinar. Meskipun belum bisa bergerak, setidaknya dia sudah bisa sedikit menggerakkan sayap dan kepalanya.
Dan, karena makhluk itu berwujud setengah burung dan setengah pohon, aku menyebutnya Treebird. Meskipun, menurut Will, nama itu konyol. Aku tak peduli. Labih baik menyebutnya Treebird, daripada harus menyebutnya ‘makhluk besar yang aneh’. Dan sampai kini, hanya aku dan Will yang mengetahui keberadaan Treebird. Sampai saat ini, kami belum memberi tahu orang tua kami.
“Aduh! Sudah sesore ini, aku harus latihan baseball!” seru Will setelah melihat jam tangannya.
“Pergilah! Aku ingin disini sebentar lagi,” sahutku.
“Kau tidak apa-apa sendirian?” tanya Will.
Aku mengangguk.
“Baiklah, hati-hati ya! Jangan pulang terlalu gelap! Pulanglah sebelum Ayah dan Ibu pulang, agar mereka tidak curiga!” pesan Will.
“Iya,” sahutku singkat.
Will tak berkata apa-apa lagi, dan melangkah pergi meninggalkan aku bersama Treebird seorang diri.
***
Sepeninggal Will, aku tetap bersama Treebird. Aku bertanya-tanya, darimana Treebird berasal. Sepertinya, aku tak pernah melihat makhluk seperti ini sebelumnya. Sampai kini, kadang aku pikir aku hanya bermimpi. Ah, tentu saja aku tidak bermimpi.
“Apakah kau berasal dari sini?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Treebird menatapku. Tiba-tiba peristiwa aneh terjadi. Saat aku menatap mata Treebird, tiba-tiba saja aku jadi mengetahui semua tentang Treebird. Meskipun tanpa berkata apapun, aku bisa mengetahui asal Treebird, dan bagaimana dia sampai terdampar di sini. Seolah semua memori Treebird di-transfer ke dalam kepalaku
“Jadi, kau rindu kampung halamanmu? Kau ingin pulang?” tanyaku.
Treebird mengangguk.
“Tunggu ya, sebentar lagi lukamu akan sembuh. Setelah itu kau bisa kembali ke tempat asalmu.” Ucapku lagi seraya membelai lembut bulu-bulu Treebird. Treebird memejamkan matanya menikmati belaianku.
***
“Gunung Odympus? Dimana itu? Aku belum pernah dengar,” tanya Will ketika kuceritakan tentang asal usul Treebird bisa sampai di hutan belakang rumah kami.
“Aku juga belum pernah dengar,” balasku. “Tapi, Treebird mengatakan, dari gunung itulah dia berasal.”
“Coba kita cari di internet,” usul Will seraya menghidupkan laptopnya dan mulai mencari tahu tentang Gunung Odympus.
Dari semua informasi yang berhubungan dengan Gunung Odympus, semuanya mengatakan gunung itu tak ada. Gunung Odympus hanya ada dalam mitologi kuno. Entah siapa yang menciptakan dan berasal dari negara mana, tak ada yang tahu. Tapi, penelitian tentang gunung itu telah banyak dilakukan. Dan, tak satupun yang berhasil menemukan keberadaan Gunung Odympus. Sehingga dipastikan, gunung itu memang tak pernah ada. Dalam mitologi itu juga dijelaskan, konon di gunung itu terdapat kawanan makhluk raksasa yang disebut Gaulloissa. Tapi tak di sebutkan seperti apa wujud makhluk itu.
“Menurutmu, apa Treebird salah satu Gaulloissa?” tanyaku pada Will.
“Mungkin saja,” sahut Will. “Tapi, dikatakan disini, gunung itu tidak ada.” Tambahnya.
“Itu karena belum ada yang berhasil menemukannya,” balasku. “Nyatanya, kita menemukan Treebird. Berarti, Gunung Odympus benar-benar ada.”
“Hanya saja, kita tidak tahu letak gunung itu.” Gumam Will. “Apalagi yang kau ketahui tentang Treebird? Kapan dia terdampar disini?” tanya Will.
“Sudah lama,” jawabku. “Treebird sendiri tak tahu kapan pastinya.”
“Menurutmu, apakah dia bisa terbang?” tanya Will lagi.
“Sepertinya begitu,” jawabku. “Maksudku, dulu dia bisa terbang. Karena dia terluka dan jatuh di hutan itu saat dia terbang,” jelasku.
“Kenapa dia sampai terluka?” tanya Will.
Aku mengangkat bahu. “Saat Treebird sedang terbang, tiba-tiba ada yang menghantam sayapnya dari bawah, lalu dia terjatuh.” Jawabku.
“Setelah sekian lama terluka dan berada di dalam hutan, apakah dia masih bisa terbang?” tanya Will.
“Entahlah! Semoga saja masih bisa,” balasku.
Will menarik nafas. “Sudahlah, sekarang yang terpenting, sayap Treebird harus sembuh dulu. Baru nanti kita memikirkan, bagaimana caranya dia bisa pulang.” ujar Will.
Aku mengangguk. “Yeah… kau benar,” sahutku. “Terima kasih, Will!”
“Untuk apa?” tanya Will tak mengerti.
Aku tersenyum. “Untuk semuanya,” balasku seraya keluar dari kamarnya.
***
Semakin lama, kondisi Treebird semakin membaik. Luka di sayapnya berangsur sembuh. Bahkan, kini Treebird sudah bisa berjalan kian kemari. Dia juga sudah bisa mengeluarkan suara dari paruhnya. Hanya saja, aku melarangnya sering bersuara. Aku takut ada orang lain yang mendengar suaranya. Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat orang lain jika mengetahui keberadaan Treebird.
Meskipun hutan ini terletak cukup jauh dari rumah penduduk lainnya, tapi tidak menutup kemungkinan ada orang yang memasuki hutan. Aku tak mau ambil resiko. Selama ini saja, aku sering khawatir, kalau-kalau ada orang lain yang tak sengaja mengetahui keberadaan Treebird. Aku takut akan ada yang berbuat jahat padanya.
“Anak-anak….. kalian disini…?!”
Aku dan Will tersentak mendengar suara Ayah kami. Kenapa Ayah tahu kami ada di sini?
“Will, bagaimana Ayah bisa sampai disini?” tanyaku pada Will.
Will mengangkat bahu. “Aku tidak tahu,” sahutnya.
“Aku akan membawa Treebird bersembunyi. Kau, sebisa mungkin cegah Ayah kemari!” perintahku dengan panik.
Will hanya mengangguk tanpa membantah. Dia segera berlari ke arah datangnya suara Ayah kami. Sementara aku, langsung mencari tempat untuk menyembunyikan Treebird. Dengan badan Treebird sebesar itu, sangat sulit menemukan tempat untuk menyembunyikannya. Meskipun, pohon-pohon di sini juga berukuran sangat besar. Tapi, sepertinya, tak cukup bisa menutupi tubuhnya jika Ayah sampai ke tempat ini.
“Sedang apa kalian di dalam hutan?” kudengar suara Ayah bertanya.
“Eh, kami…sedang mengerjakan tugas penelitian dari sekolah,” jawab Will berbohong. “Bagaimana Ayah tahu, kami ada di sini?” tanya Will.
“Yeah….saat pulang tadi, aku melihat kalian masuk ke dalam hutan,” jawab Ayah. “Bukankah aku sudah melarang kalian masuk ke dalam hutan?”
“Iya, tapi kami mendapat tugas meneliti macam-macam tumbuhan. Jadi, kami harus masuk ke dalam hutan untuk mengerjakan tugas itu,” balas Will.
“Lalu, dimana Amanda?” tanya Ayah.
“Eh, dia sedang sibuk di sana,” sahut Will sekenanya.
Sejauh ini, sepertinya Will berhasil menahan Ayah. Tapi, sepertinya aku harus cepat-cepat muncul di hadapan ayah agar Ayah tidak curiga. Setelah kurasa menemukan tempat yang cukup bisa menyembunyikan tubuh Treebird, aku melangkah menuju tempat Ayah dan Will.
“Hai, Ayah!” sapaku seraya berjalan mendekati Ayah dan Will. “Ayah sudah pulang?” tanyaku.
“Yeah...hari ini aku bekerja setengah hari,” jawab Ayah. “Apa yang kalian lakukan disini?”
“Seperti yang Will katakan tadi. Kami mengerjakan tugas penelitian dari sekolah.” Jawabku.
Tiba-tiba Treebird mengeluarkan suara yang keras.
“Suara apa itu?” tanya Ayah terkejut.
“Suara apa? Aku tak mendengar apapun,” sahutku berpura-pura.
“Apa maksudmu tak mendengar apapun? Suara itu terdengar sangat keras!” balas Ayah.
“Benar kata Amanda, aku juga tak mendengar apa-apa,” ujar Will.
“Apa kalian bercanda?” tanya Ayah seraya menatap kami tajam.
Sekali lagi suara Treebird terdengar. Kali ini lebih keras. Aku dan Will tak bisa menyembunyikan kepanikan kami.
“Anak-anak, kalian menyembunyikan sesuatu?” tanya Ayah, tetap menatap tajam ke arah kami.
Aku dan Will saling berpandangan. Lalu kami mengangkat bahu. Artinya, kami memutuskan akan bicara terus terang pada Ayah kami.
“Kau yang katakan!” ucap Will padaku.
“Kami, menemukan sesuatu,” ucapku pada Ayah.
Ayah menatap kami tak mengerti.
“Akan kutunjukkan sesuatu,” ucapku seraya meminta Ayah mengikutiku.
Ayah dan Will mengikutiku berjalan menuju tempat aku menyembunyikan Treebird. Yeah… meskipun sebenarnya, tak terlalu tersembunyi juga. Seperti yang kukatakan tadi, badan Treebird terlalu besar untuk di sembunyikan. Apalagi, kini Treebird benar-benar keluar dari persembunyiannya.
“A…apa itu…?!” seru ayahku terkejut begitu melihat sosok Treebird. “Apa aku sedang bermimpi?” tanyanya kemudian.
“Tidak, Ayah. Dia nyata,” jawabku.
“Makhluk apa itu?” tanya Ayahku lagi.
“Kami tidak tahu makhluk apa itu. Kami menyebutnya Treebird,” jawabku.
Kemudian Will menjelaskan segala tentang Treebird pada Ayah kami. Mulai dari suara aneh yang hanya bisa terdengar olehku, sampai kami menemukan Treebird dan mengobati lukanya. Will juga menceritakan darimana Treebird berasal, dan keinginan Treebird untuk pulang ke asalnya.
“Ayah tidak akan menceritakan ini pada siapapun, kan?” tanyaku.
“Menceritakan pada siapa maksudmu?” tanya Ayah.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah,” sahutku. “Sebagai orang dewasa, apa yang akan Ayah lakukan sekarang? Setelah mengetahui keberadaan makhluk aneh ini?”
“Ayah tidak akan melaporkan pada polisi, kan?” tanya Will. “Mereka pasti akan mengadakan macam-macam penelitian pada Treebird, jika mereka mengetahui keberadaannya. Dengan begitu, mereka akan menyakiti Treebird,” tambah Will.
“Hei….! Tunggu…! Aku tak mungkin melakukan itu!” seru Ayah.
Aku dan Will menarik nafas lega.
“Lalu, apa rencana kalian untuk mengembalikan makhluk ini ke tempat asalnya?” tanya Ayah.
Aku dan Will saling berpandangan. Kemudian sama-sama mengangkat bahu.
“Kami belum punya ide,” sahut Will.
“Bisakah Ayah membantu kami?” tanyaku kemudian.
Ayah mengehela nafas pendek. “Akan kupikirkan sesuatu,” gumamnya.
***
Kini, luka Treebird benar-benar telah sembuh. Dia sudah dapat mengepakkan sayapnya. Tapi, karena lebatnya hutan, dia tak bisa mengepakkan sayapnya dengan bebas. Tak ada cukup ruang untuknya membentangkan sayapnya. Seiring dengan kesembuhannya, tubuhnya juga semakin bersinar. Aku semakin takut keberadaannya diketahui orang lain. Karena, sinar yang keluar dari tubuhnya benar-benar terang. Apalagi di malam hari, sinar terang dari tubuhnya memancar di seluruh penjuru hutan. Aku bisa melihat sinar itu dari rumahku.
Bagaimanapun, aku harus segera menemukan cara agar Treebird bisa pulang ke tempat asalnya. Kalau tidak, cepat atau lambat keberadaannya pasti akan diketahui orang lain.
“Kita harus memastikan, apakah Treebird masih bisa terbang?” ucap Will padaku.
“Itu dia masalahnya!” seruku. “Bagaimana dia bisa mencoba terbang di dalam hutan yang lebat seperti itu?”
“Ada lapangan rumput luas di sisi lain hutan itu,” ucap Ayah tiba-tiba.
Aku dan Will menoleh padanya secara bersamaan. “Benarkah?” tanya kami hampir bersamaan.
“Yeah, aku menemukannya kemarin,” sahut Ayah. “Aku sengaja mencari tempat untuk Treebird mencoba terbang. Dan aku menemukannya. Kurasa lapangan itu cukup untuk Treebird mencoba mengepakkan sayapnya.”
“Kita coba sekarang!” seru Will bersemangat.
“Ayo!” balasku seraya berlari menuju hutan tempat Treebird berada. Bersama-sama, kami mengajak Treebird ke lapangan berumput yang diceritakan Ayah.
***
Treebird langsung berlari ke tengah lapangan, begitu kami sampai di lapangan berumput itu. Yeah, kurasa lapangan itu cukup luas untuk Treebird mencoba terbang. Semoga saja dia masih bisa terbang. Agar dia bisa kembali ke Gunung Odympus. Tempat asalnya.
“Ayo Treebird…..!!! Kepakkan sayapmu! Terbanglah…!!!” seruku.
Seolah mengerti ucapanku, Treebird mulai mengepakkan sayapnya. Kedua sayap Treebird membentang lebar. Setiap kepakan sayapnya menimbulkan hembusan angin yang kencang. Kami sampai tehuyung dibuatnya.
Setelah beberapa saat mengepakkan sayapnya, akhirnya Treebird mampu mengangkat tubuh besarnya.
“Berhasil! Treebird berhasil terbang!” serukku senang.
Sementara Treebird terbang semakin tinggi dan berputar-putar di atas kami. Kami menatapnya dengan sangat takjub. Betapa ajaib rasanya, melihat makhluk sebesar itu terbang di udara.
Tiba-tiba Treebird mendarat dan melangkah menghampiri kami.
“Ada apa?” tanya Will.
Treebird menatapku dan Will bergantian, lalu membentangkan satu sayapnya menyentuh kami. Kepalanya menengok ke arah punggungnya.
“Apa yang dia inginkan?” tanya Will padaku.
“Sepertinya dia ingin kita naik ke punggungnya,” jawabku.
“Dia ingin mengajak kita terbang?” tanya Will.
“Sepertinya begitu,” sahutku.
Aku dan Will melangkah mendekat. Dengan sayapnya, Treebird membantu kami naik ke punggungnya. Treebird mengepakkan sayapnya dan mengajak kami terbang ke udara. Baru pertama kali aku merasakan terbang di udara seperti ini. Naik di punggung burung raksasa. Rasanya sangat menakjubkan.
Setelah cukup lama terbang, Treebird mengajak kami kembali ke bumi. Kami mendarat di tempat yang sama saat kami terbang. Aku dan Will turun dari punggung Treebird.
“Terima kasih! Ini pengalaman paling menakjubkan dalam hidupku,” ucapku pada Treebird.
Treebird hanya mengedipkan matanya. Setelah menyentuh kami dengan sayapnya yang lebar sebagai salam perpisahan, Treebird memekik keras dan kembali terbang ke angkasa. Sejenak dia berputar-putar di atas kami, lalu pergi menjauh dan semakin tinggi. Hingga sosoknya tak terlihat lagi.
Tiba-tiba saja, air mataku meleleh. Aku sadar, aku tak akan berjumpa dengan Treebird lagi. Sahabat besarku itu, telah kembali ke asalnya.
Will merangkulku. “Jangan menangis, Treebird akan lebih bahagia di tempat asalnya,” hibur Will.
“Aku tahu,” sahutku. “Aku hanya sedih berpisah dengannya. Sekarang, aku akan kesepian lagi.”
“Tenanglah, aku tak akan meninggalkanmu sendiri. Kau tak akan kesepian lagi,” janji Will.
Aku tersenyum dan memeluknya.
Ket: Lomba Cerpen Kastil Fantasi
By : Cepi R Dini (KucingPipush)
Ilustrasi By : Erdhi Agustiadi

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates