Note : Karena bab pertama agak panjang, saya bagi dua postingan.
Selamat membaca 😙
Satu (Part 1)
“Gavin
setan! Gue bunuh, lo!”
Gavin
yang tengah asyik bermain gim refleks melempar ponselnya dan melompat turun
dari tempat tidur. Cepat-cepat ia berlari ke arah pintu. Sayang, belum sempat
niatnya mengunci pintu kamar tercapai, sesosok makhluk yang menyerupai dewa
kematian sudah menerjang masuk lebih dahulu.
“Wow
… wow … santai, Bray ….” Gavin mundur dengan kedua tangan terangkat.
Mana
bisa Abrar tenang. Ia tetap melangkah maju dengan hasrat ingin menguliti
temannya. “Lo ngerjain gue, setan!”
Gavin
sulit menahan diri untuk tak tertawa. Namun, saat melihat tangan Abrar terulur
dengan gestur ingin mencekik, Gavin spontan melompat ke tempat tidur dan
menyeberangi ruangan. Berlindung di sisi lain ranjang dengan bantal sebagai
tameng. “Hei, nggak boleh marah!” serunya. “Kan April Mop. Lo sendiri yang
bilang.”
Abrar
menggeram, tapi tetap menurunkan tangannya. Sial! Kemarin ia memang bilang begitu
kepada Gavin dan tentu saja tidak mungkin ia menjilat ludah sendiri. Meski demikian,
matanya masih memancarkan aura membunuh.
“Lo
kenapa ngerjain gue, monyet?”
“Mana
ada?” bantah Gavin. “Lo minta gue ngasih surat itu ke Vika dan udah gue kasih.”
“Tapi
kan bukan Vika yang itu!” seru Abrar gemas.
“Lo
nggak bilang Vika yang mana,” bela Gavin. “Mana gue tahu.”
“Lo
tahu,” bantah Abrar. “Tapi emang sengaja ngerjain gue. Kemarin gue bilang Pika.
Dan lo tahu banget siapa yang gue panggil kayak gitu.”
Gavin
tertawa. Sekarang ia tidak bisa mengelak kalau memang sengaja mengerjai Abrar.
Pika yang dimaksud Abrar adalah Ervika, teman main Abrar sejak kecil, bukan
Savika si anak baru. Abrar memanggilnya Pika, lengkapnya Pikachu, karena
menurutnya Ervika tak jauh beda dari ikon Pokemon itu. Kelihatan manis, tapi
bisa mengeluarkan petir.
Abrar ingin mengerjai Ervika karena sejak
dulu, cewek itu suka sekali merisak Abrar. Waktu kecil, tubuh Abrar memang
kalah besar dan cenderung penakut, jadi tak pernah bisa melawan Ervika. Sekarang,
meskipun Abrar sudah tumbuh lebih besar daripada Ervika, tetap saja ia tidak
bisa melawan cewek bermuka malaikat itu. Malaikat bertanduk kalau kata Abrar.
Namun,
Gavin masih punya satu pembelaan, “Lo nulis nama Vika di amplop, bukan Pika. Di
suratnya juga.”
Abrar
menggeram. Mana mungkin ia menulis “Pika” untuk surat cinta. Pika kan bisa
dibilang nama julukan. Kalau ia menulis Pika, rasanya kurang pas, kurang
romantis. Meski isi suratnya juga jauh dari kata romantis.
“Lo
pikir bisa ngerjain gue heh, anak kecil?” Sebuah suara dari dasar neraka
menghampiri telinga Abrar, dibarengi dengan cubitan maut di pipi kirinya.
Abrar meringis,
segera menepis jemari lentik nan mematikan itu seraya bergeser. Ia cukup kaget
melihat kemunculan Ervika yang tiba-tiba. Tidak ada bunyi langkah kaki,
benar-benar seperti hantu. “Kok lo bisa di sini, sih?” sungutnya. Setengah
heran juga. Kalau ia kan memang sudah terbiasa keluar-masuk rumah Gavin, begitu
pun sebaliknya. Tapi Ervika?
“Suka-suka gue lah,” sahut cewek cantik berkulit
putih itu sambil bersedekap.
Sebuah
pemikiran tiba-tiba menghantam kepala Abrar. “Jangan bilang kalian sekongkol
ngerjain gue!”
Sejak
kapan mereka menjadi begitu dekat sampai bisa membentuk aliansi?
Gavin
dan Ervika bertatapan, kemudian menyeringai. Dan itu sudah cukup menjawab
pertanyaan Abrar.
***
“Yang
bener lo?!” Salma berseru pada seseorang di telepon. “Dengar dari siapa?”
“Nggak
dengar dari siapa-siapa. Gue lihat sendiri waktu Savika datengin Abrar dan
nunjukin surat yang ditulis Abrar buat dia.”
Lalu Salma mendengar teman dekatnya yang bernama Mega
itu mulai bercerita tentang kejadian tadi sore, saat ia tengah duduk di salah
satu bangku di bawah pohon flamboyan dan melihat interaksi Abrar dan Savika.
Baik Abrar dan Savika tak menyadari keberadaannya, karena ia berada di balik
sisi lain pohon raksasa itu. Tadinya ia juga tak mengetahui keberadaan Abrar
karena saat ia datang, taman itu sepi. Bisa dipastikan kalau Abrar muncul
setelahnya. Baru setelah ia mendengar suara-suara dari balik pohon, ia jadi
penasaran dan mengintip. Ia cukup terkejut saat melihat Abrar dan Savika,
sepupu yang bisa dibilang tidak diakui oleh Salma—hanya teman dekat Salma yang mengetahui
kalau mereka saudara sepupu. Dan lebih kaget lagi saat mengetahui bahwa Abrar
menulis surat cinta untuk Savika.
“Lo …
nggak bohong, kan?” Sulit bagi Salma untuk percaya begitu saja penuturan
temannya.
“Nggak, lah. Apa pentingnya gue bohong sama lo?”
“Karena sekarang masih April Mop?”
“Please, deh. Gue nggak tertarik sama
hal-hal kekanakan macam itu.”
“Jadi, lo serius?”
“Dua rius.”
“Tapi nggak biasanya lo main di taman,” ujar
Salma curiga. Ia masih menolak untuk percaya.
“Kan tadi gue bilang alasannya.”
Ah, iya. Salma baru ingat, temannya itu menolak
ikut hang out dengan alasan ada janji dengan kakak kelas yang wakil
kapten tim basket dan diminta menunggu di taman belakang.
“Kalau nggak percaya, tanya aja sendiri sama
Abrar atau … sepupu lo.”
Sulit bagi Salma untuk tetap menolak percaya
sekarang. Kalau temannya itu berani menyuruh Salma bertanya kepada Abrar atau
Savika, berarti ia memang berkata jujur. Kecuali kalau ia berniat membuat Salma
malu karena menanyakan hal konyol pada yang bersangkutan.
“Jadi … sekarang pesona lo dikalahkan sama sepupu
lo yang cupu itu?”
Salma mendengus dan memutuskan sambungan tanpa
pamit. Ia kesal mendengar nada mengejek dari temannya. Seenaknya saja
mengatakan pesonanya kalah oleh Savika. Itu mustahil terjadi.
Salma mengutak-atik ponselnya mencari kontak
Abrar. Seperti yang temannya bilang tadi, ia harus bertanya pada Abrar untuk
mengetahui kebenarannya. Ia sudah akan menekan tombol panggil saat tiba-tiba
tersadar. Untuk apa ia bertanya pada Abrar?
Selama ini, Salma amat jarang membalas pesan atau
menjawab panggilan dari Abrar jika tidak benar-benar butuh. Kalau tiba-tiba ia
menelepon hanya untuk memastikan kebenaran ucapan temannya, bisa-bisa Abrar
mengira Salma ada rasa untuknya. Lagi pula, sebenarnya bukan urusan Salma jika
Abrar benar-benar jadian dengan Savika. Toh yang selama ini dikejar Salma bukan
Abrar. Salma hanya tidak suka temannya menganggap bahwa pesonanya dikalahkan
oleh Savika. Dan juga, kehilangan penggemar itu menyebalkan.
Kalau ia terlalu gengsi bertanya pada Abrar,
satu-satunya cara hanya bertanya pada sepupunya.
***
“Lo beneran dapat surat cinta dari
Abrar?” Tanpa permisi, Salma membuka pintu dan mengajukan pertanyaan yang
sedari tadi mengganggunya. Savika menjengit mundur, kemudian menatap sepupunya
itu tanpa menjawab.
Sebenarnya, ia tak begitu mendengar apa yang dikatakan Salma karena tertutupi
rasa kaget.
“Lo beneran dapat surat cinta dari Abrar?” Tak
sabar, Salma kembali bertanya dan merangsek masuk kamar Savika.
Kamar sementara lebih tepatnya. Selama rumahnya
dalam tahap renovasi, Savika tinggal di rumah paman dan bibinya. Agar tak
mengganggu pelajaran, begitu kata mereka. Kedua orangtua Savika tetap tinggal
di rumah tersebut sambil mengawasi pengerjaan rumah. Meski mereka memutuskan
merenovasi secara total, semua dilakukan bertahap, sehingga masih ada tempat
untuk ditinggali. Namun, bagi pelajar seperti Savika, pasti kegiatan belajarnya
akan terganggu jika harus mendengar suara ribut dari pekerjaan konstruksi. Mama
Salma yang mengusulkan dan tentu beliau menyambut baik kedatangan Savika di
rumah ini.
Namun, sesungguhnya Salma tidak menyetujui
keputusan itu. Sejak dulu, cewek cantik berambut ikal itu selalu menganggap
Savika saingan. Savika selalu mendapat nilai lebih baik darinya dan itu membuat
mamanya kerap membanding-bandingkannya dengan si sepupu. Kamu mestinya mencontoh
Vika, rajin belajar, nggak main aja kerjanya. Itu yang kerap diucapkan
ibunya dulu. Salma sangat bersyukur ketika ayah Savika ditugaskan pindah kerja
ke Semarang ketika mereka duduk di kelas lima yang tentunya mengharuskan
sepupunya pindah juga. Salma seolah mendapatkan kemerdekaannya. Tidak ada lagi
sepupu pandai yang sering dibandingkan dengannya.
Ketenteraman hidup Salma terancam punah saat ayah
Savika kembali ditugaskan di Jakarta beberapa bulan lalu dan Savika tinggal
sementara di rumahnya. Savika juga dimasukkan ke sekolah yang sama dengan Salma,
agar Savika lebih mudah beradaptasi di tempat baru karena ada yang dikenal. Savika
tetap sepandai dulu dan tetap menjadi anak kebanggaan mama Salma. Meskipun
begitu, Salma bolehlah berbangga hati jika dilihat dari segi penampilan.
Bagaimanapun, ia termasuk dalam deretan cewek tercantik dan paling diincar di
sekolah. Jauhlah kalau dibandingkan Savika yang bisa dibilang sangat sederhana
dan biasa-biasa saja.
Namun, itu sebelum Salma mendengar kabar jika
Savika mendapat surat cinta dari Abrar.
“Uhm … iya.” Savika akhirnya menjawab, sambil
menduga-duga kenapa hal itu tampak begitu penting bagi kakak sepupunya.
“Kok bisa?” Salma nyaris berteriak. Savika hanya
mengerjap bingung.
“Gimana ceritanya dia bisa ngasih lo surat
cinta?” tuntut Salma. “Sejak kapan kalian dekat? Kapan lo kenalan sama dia?”
Savika tidak bisa menjawab, karena kenyataannya
ia tak pernah dekat dengan Abrar. Mereka bahkan tak pernah berkenalan secara
resmi. Savika tahu nama Abrar juga karena nama dada yang terpasang di
seragam—entah bagaimana dengan Abrar. Kalau tidak salah, mereka cuma pernah mengobrol
satu kali.
Hari pertama Savika sekolah, Salma pulang
terlebih dahulu dan meninggalkannya. Savika tidak tahu letak halte. Ia ingin
bertanya kepada siswa-siswa yang berkeliaran di depan sekolah, tetapi tidak
berani karena ia tak mengenal seorang pun. Mau pesan ojek online juga
tidak bisa karena ponselnya tertinggal di rumah. Abrar yang melihatnya
kebingungan, menawarkan bantuan. Cowok tinggi berkulit putih itu menunjukkan
letak halte. Bahkan, ia mengantar Savika, memberitahunya bus yang harus
dinaiki, dan menunggunya sampai bus datang. Klasik memang, tapi saat itulah
Savika jatuh suka pada Abrar.
0 komentar:
Posting Komentar