Minggu, 23 Agustus 2020

April Fool Sneak Peek 2

 Note : Karena bab pertama agak panjang, saya bagi dua postingan.
Selamat membaca 😙


Satu (Part 1)


“Gavin setan! Gue bunuh, lo!”

Gavin yang tengah asyik bermain gim refleks melempar ponselnya dan melompat turun dari tempat tidur. Cepat-cepat ia berlari ke arah pintu. Sayang, belum sempat niatnya mengunci pintu kamar tercapai, sesosok makhluk yang menyerupai dewa kematian sudah menerjang masuk lebih dahulu.


“Wow … wow … santai, Bray ….” Gavin mundur dengan kedua tangan terangkat.

Mana bisa Abrar tenang. Ia tetap melangkah maju dengan hasrat ingin menguliti temannya. “Lo ngerjain gue, setan!”

Gavin sulit menahan diri untuk tak tertawa. Namun, saat melihat tangan Abrar terulur dengan gestur ingin mencekik, Gavin spontan melompat ke tempat tidur dan menyeberangi ruangan. Berlindung di sisi lain ranjang dengan bantal sebagai tameng. “Hei, nggak boleh marah!” serunya. “Kan April Mop. Lo sendiri yang bilang.”

Abrar menggeram, tapi tetap menurunkan tangannya. Sial! Kemarin ia memang bilang begitu kepada Gavin dan tentu saja tidak mungkin ia menjilat ludah sendiri. Meski demikian, matanya masih memancarkan aura membunuh.

“Lo kenapa ngerjain gue, monyet?”

“Mana ada?” bantah Gavin. “Lo minta gue ngasih surat itu ke Vika dan udah gue kasih.”

“Tapi kan bukan Vika yang itu!” seru Abrar gemas.

“Lo nggak bilang Vika yang mana,” bela Gavin. “Mana gue tahu.”

“Lo tahu,” bantah Abrar. “Tapi emang sengaja ngerjain gue. Kemarin gue bilang Pika. Dan lo tahu banget siapa yang gue panggil kayak gitu.”

Gavin tertawa. Sekarang ia tidak bisa mengelak kalau memang sengaja mengerjai Abrar. Pika yang dimaksud Abrar adalah Ervika, teman main Abrar sejak kecil, bukan Savika si anak baru. Abrar memanggilnya Pika, lengkapnya Pikachu, karena menurutnya Ervika tak jauh beda dari ikon Pokemon itu. Kelihatan manis, tapi bisa mengeluarkan petir.

 Abrar ingin mengerjai Ervika karena sejak dulu, cewek itu suka sekali merisak Abrar. Waktu kecil, tubuh Abrar memang kalah besar dan cenderung penakut, jadi tak pernah bisa melawan Ervika. Sekarang, meskipun Abrar sudah tumbuh lebih besar daripada Ervika, tetap saja ia tidak bisa melawan cewek bermuka malaikat itu. Malaikat bertanduk kalau kata Abrar.

Namun, Gavin masih punya satu pembelaan, “Lo nulis nama Vika di amplop, bukan Pika. Di suratnya juga.”

Abrar menggeram. Mana mungkin ia menulis “Pika” untuk surat cinta. Pika kan bisa dibilang nama julukan. Kalau ia menulis Pika, rasanya kurang pas, kurang romantis. Meski isi suratnya juga jauh dari kata romantis.

“Lo pikir bisa ngerjain gue heh, anak kecil?” Sebuah suara dari dasar neraka menghampiri telinga Abrar, dibarengi dengan cubitan maut di pipi kirinya.

Abrar meringis, segera menepis jemari lentik nan mematikan itu seraya bergeser. Ia cukup kaget melihat kemunculan Ervika yang tiba-tiba. Tidak ada bunyi langkah kaki, benar-benar seperti hantu. “Kok lo bisa di sini, sih?” sungutnya. Setengah heran juga. Kalau ia kan memang sudah terbiasa keluar-masuk rumah Gavin, begitu pun sebaliknya. Tapi Ervika? 
“Suka-suka gue lah,” sahut cewek cantik berkulit putih itu sambil bersedekap.

Sebuah pemikiran tiba-tiba menghantam kepala Abrar. “Jangan bilang kalian sekongkol ngerjain gue!”

Sejak kapan mereka menjadi begitu dekat sampai bisa membentuk aliansi?

Gavin dan Ervika bertatapan, kemudian menyeringai. Dan itu sudah cukup menjawab pertanyaan Abrar.

***

“Yang bener lo?!” Salma berseru pada seseorang di telepon. “Dengar dari siapa?”

“Nggak dengar dari siapa-siapa. Gue lihat sendiri waktu Savika datengin Abrar dan nunjukin surat yang ditulis Abrar buat dia.”

Lalu Salma mendengar teman dekatnya yang bernama Mega itu mulai bercerita tentang kejadian tadi sore, saat ia tengah duduk di salah satu bangku di bawah pohon flamboyan dan melihat interaksi Abrar dan Savika. Baik Abrar dan Savika tak menyadari keberadaannya, karena ia berada di balik sisi lain pohon raksasa itu. Tadinya ia juga tak mengetahui keberadaan Abrar karena saat ia datang, taman itu sepi. Bisa dipastikan kalau Abrar muncul setelahnya. Baru setelah ia mendengar suara-suara dari balik pohon, ia jadi penasaran dan mengintip. Ia cukup terkejut saat melihat Abrar dan Savika, sepupu yang bisa dibilang tidak diakui oleh Salma—hanya teman dekat Salma yang mengetahui kalau mereka saudara sepupu. Dan lebih kaget lagi saat mengetahui bahwa Abrar menulis surat cinta untuk Savika.

  “Lo … nggak bohong, kan?” Sulit bagi Salma untuk percaya begitu saja penuturan temannya.

“Nggak, lah. Apa pentingnya gue bohong sama lo?”

“Karena sekarang masih April Mop?”

Please, deh. Gue nggak tertarik sama hal-hal kekanakan macam itu.”

“Jadi, lo serius?”

“Dua rius.”

“Tapi nggak biasanya lo main di taman,” ujar Salma curiga. Ia masih menolak untuk percaya.

“Kan tadi gue bilang alasannya.”

Ah, iya. Salma baru ingat, temannya itu menolak ikut hang out dengan alasan ada janji dengan kakak kelas yang wakil kapten tim basket dan diminta menunggu di taman belakang.

“Kalau nggak percaya, tanya aja sendiri sama Abrar atau … sepupu lo.”

Sulit bagi Salma untuk tetap menolak percaya sekarang. Kalau temannya itu berani menyuruh Salma bertanya kepada Abrar atau Savika, berarti ia memang berkata jujur. Kecuali kalau ia berniat membuat Salma malu karena menanyakan hal konyol pada yang bersangkutan.

“Jadi … sekarang pesona lo dikalahkan sama sepupu lo yang cupu itu?”

Salma mendengus dan memutuskan sambungan tanpa pamit. Ia kesal mendengar nada mengejek dari temannya. Seenaknya saja mengatakan pesonanya kalah oleh Savika. Itu mustahil terjadi.

Salma mengutak-atik ponselnya mencari kontak Abrar. Seperti yang temannya bilang tadi, ia harus bertanya pada Abrar untuk mengetahui kebenarannya. Ia sudah akan menekan tombol panggil saat tiba-tiba tersadar. Untuk apa ia bertanya pada Abrar?

Selama ini, Salma amat jarang membalas pesan atau menjawab panggilan dari Abrar jika tidak benar-benar butuh. Kalau tiba-tiba ia menelepon hanya untuk memastikan kebenaran ucapan temannya, bisa-bisa Abrar mengira Salma ada rasa untuknya. Lagi pula, sebenarnya bukan urusan Salma jika Abrar benar-benar jadian dengan Savika. Toh yang selama ini dikejar Salma bukan Abrar. Salma hanya tidak suka temannya menganggap bahwa pesonanya dikalahkan oleh Savika. Dan juga, kehilangan penggemar itu menyebalkan.

Kalau ia terlalu gengsi bertanya pada Abrar, satu-satunya cara hanya bertanya pada sepupunya.

***

“Lo beneran dapat surat cinta dari Abrar?” Tanpa permisi, Salma membuka pintu dan mengajukan pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya. Savika menjengit mundur, kemudian menatap sepupunya itu tanpa menjawab. Sebenarnya, ia tak begitu mendengar apa yang dikatakan Salma karena tertutupi rasa kaget.

“Lo beneran dapat surat cinta dari Abrar?” Tak sabar, Salma kembali bertanya dan merangsek masuk kamar Savika.

Kamar sementara lebih tepatnya. Selama rumahnya dalam tahap renovasi, Savika tinggal di rumah paman dan bibinya. Agar tak mengganggu pelajaran, begitu kata mereka. Kedua orangtua Savika tetap tinggal di rumah tersebut sambil mengawasi pengerjaan rumah. Meski mereka memutuskan merenovasi secara total, semua dilakukan bertahap, sehingga masih ada tempat untuk ditinggali. Namun, bagi pelajar seperti Savika, pasti kegiatan belajarnya akan terganggu jika harus mendengar suara ribut dari pekerjaan konstruksi. Mama Salma yang mengusulkan dan tentu beliau menyambut baik kedatangan Savika di rumah ini.

Namun, sesungguhnya Salma tidak menyetujui keputusan itu. Sejak dulu, cewek cantik berambut ikal itu selalu menganggap Savika saingan. Savika selalu mendapat nilai lebih baik darinya dan itu membuat mamanya kerap membanding-bandingkannya dengan si sepupu. Kamu mestinya mencontoh Vika, rajin belajar, nggak main aja kerjanya. Itu yang kerap diucapkan ibunya dulu. Salma sangat bersyukur ketika ayah Savika ditugaskan pindah kerja ke Semarang ketika mereka duduk di kelas lima yang tentunya mengharuskan sepupunya pindah juga. Salma seolah mendapatkan kemerdekaannya. Tidak ada lagi sepupu pandai yang sering dibandingkan dengannya.

Ketenteraman hidup Salma terancam punah saat ayah Savika kembali ditugaskan di Jakarta beberapa bulan lalu dan Savika tinggal sementara di rumahnya. Savika juga dimasukkan ke sekolah yang sama dengan Salma, agar Savika lebih mudah beradaptasi di tempat baru karena ada yang dikenal. Savika tetap sepandai dulu dan tetap menjadi anak kebanggaan mama Salma. Meskipun begitu, Salma bolehlah berbangga hati jika dilihat dari segi penampilan. Bagaimanapun, ia termasuk dalam deretan cewek tercantik dan paling diincar di sekolah. Jauhlah kalau dibandingkan Savika yang bisa dibilang sangat sederhana dan biasa-biasa saja.

Namun, itu sebelum Salma mendengar kabar jika Savika mendapat surat cinta dari Abrar.

“Uhm … iya.” Savika akhirnya menjawab, sambil menduga-duga kenapa hal itu tampak begitu penting bagi kakak sepupunya.

“Kok bisa?” Salma nyaris berteriak. Savika hanya mengerjap bingung.

“Gimana ceritanya dia bisa ngasih lo surat cinta?” tuntut Salma. “Sejak kapan kalian dekat? Kapan lo kenalan sama dia?”

Savika tidak bisa menjawab, karena kenyataannya ia tak pernah dekat dengan Abrar. Mereka bahkan tak pernah berkenalan secara resmi. Savika tahu nama Abrar juga karena nama dada yang terpasang di seragam—entah bagaimana dengan Abrar. Kalau tidak salah, mereka cuma pernah mengobrol satu kali.

Hari pertama Savika sekolah, Salma pulang terlebih dahulu dan meninggalkannya. Savika tidak tahu letak halte. Ia ingin bertanya kepada siswa-siswa yang berkeliaran di depan sekolah, tetapi tidak berani karena ia tak mengenal seorang pun. Mau pesan ojek online juga tidak bisa karena ponselnya tertinggal di rumah. Abrar yang melihatnya kebingungan, menawarkan bantuan. Cowok tinggi berkulit putih itu menunjukkan letak halte. Bahkan, ia mengantar Savika, memberitahunya bus yang harus dinaiki, dan menunggunya sampai bus datang. Klasik memang, tapi saat itulah Savika jatuh suka pada Abrar.








0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates