Prolog
Abrar
menggesek-gesekkan sepatu ke tanah. Sudah lima belas menit lebih ia duduk di
bawah pohon flamboyan raksasa di taman belakang sekolah. Matahari sudah semakin
condong ke arah barat dan sekolah juga mulai sepi. Namun, orang yang
ditunggunya belum juga menampakkan diri.
Tiga
menit kemudian, seorang cewek mungil berwajah kecil berhias kacamata muncul di
taman. Rambutnya yang dikucir berayun-ayun seiring laju langkahnya. Jelas bukan
orang yang ditunggu Abrar.
Jenuh,
Abrar meraih ponsel dan menghubungi Gavin. Sampai dering ketiga, teman dekatnya
itu tidak juga menjawab. Matanya mengamati cewek berkucir yang ternyata
berjalan ke arahnya. Barangkali, cewek itu mau duduk-duduk, pikir Abrar. Empat
bangku panjang yang melingkari pohon flamboyan memang menjadi tempat favorit
bagi warga sekolah yang ingin bersantai sambil menikmati embusan angin.
Abrar
berdecak. Gavin tak kunjung menjawab teleponnya. Cewek berkacamata itu sudah
berdiri di depannya, menatapnya dengan gugup. Abrar balas memandangnya dengan
alis terangkat.
![]() |
Ilustration by: Diwashandi |
“Maaf,
aku terlambat,” ucap cewek itu.
Abrar
makin bingung. Ia mengenal cewek itu, sekadar tahu karena ia anak baru yang
datang awal semester bulan lalu. Namun, Abrar yakin tak membuat janji temu
dengannya.
Melihat
ekspresi wajah Abrar, cewek yang diketahui bernama Savika itu memperlihatkan
amplop berwarna biru muda di hadapan Abrar. “Ini kamu yang tulis, kan?”
Abrar
mengangguk. Ia memang menulis surat itu dan menitipkannya kepada Gavin agar
memberikannya pada seseorang. Wait! Jangan bilang ….
Savika tersenyum kecil. Dengan wajah memerah, ia
berujar, “Aku mau.”
0 komentar:
Posting Komentar