Satu (Part 2)
Abrar memberengut. Matanya memicing tajam pada
dua orang di hadapannya. Ia benar-benar merasa dikhianati. Bagaimana bisa,
Gavin yang merupakan sahabatnya sejak MOS SMP, lebih memihak cewek tengil yang
seolah terlahir untuk menyiksanya.
“Udah deh,
Blay … jangan cemberut terus gitu. Jelek tahu!” Ervika menarik keras hidung
mancung Abrar.
Abrar menepisnya kasar. Ervika ini selain suka
menganiaya tubuhnya, juga memanggil Abrar dengan seenaknya. Abrar membenci
panggilan itu. Kalau Gavin suka memanggilnya Bray dengan alasan Brar terlalu
belibet di lidah, Ervika justru memanggilnya Blay. Jablay lebih tepatnya.
Katanya, itu cocok buat Abrar.
Sialan! Memangnya Abrar cowok kurang
belaian apa?—ah, bukan itu intinya.
Masalahnya sekarang, Abrar harus menguak alasan di balik persekongkolan kedua
bocah di hadapannya itu.
“Hei, kamu sendiri yang bilang nggak boleh marah
kalau April Mop.” Gavin mengingatkan. Dan kalau Gavin sudah memanggil dengan
‘kamu’ berarti ia dalam mode serius. Lagi pula, Gavin memang merasa agak tidak
enak melihat Abrar bermuka masam begitu. Bagaimanapun, mereka sudah berteman
lama dan sejauh ini belum pernah bertengkar hebat.
“Kenapa kalian ngelakuin ini?” Abrar bertanya,
sepenuhnya mengabaikan ucapan Gavin.
“Heh? Itu kan ide lo,” sahut Ervika. “Lagian lo
juga aneh. Hari gini masih pakai surat.”
Abrar mendengus. “Kalau gue ngomong langsung ke
lo, yang ada gue muntah duluan.”
Ervika melempar bantal ke muka Abrar, yang dengan
mudah bisa dihindari cowok itu seolah sudah memperkirakan pergerakan Ervika.
“Emangnya lo pikir dengan lo pakai surat, gue
bakal percaya lo suka gue?”
Abrar berharap begitu. Sebagian cewek masih
menganggap surat cinta adalah hal yang manis meski saat ini sudah bukan
zamannya. Meski galaknya bukan kepalang, Ervika tetaplah cewek. Abrar sedikit
berharap Ervika memiliki sisi manis walau cuma secuil, yang mungkin saja selama
ini disembunyikan dengan sangat baik. Namun, harapannya tidak terkabul. Sepertinya
memang mustahil Ervika memiliki sisi manis.
“Lagian ya,” tambah Ervika, “isi surat lo tuh
nggak ada romantis-romantisnya.”
Mau bagaimana lagi? Abrar tidak bisa membuat
kalimat manis. Tadinya, ia ingin menyontek dari hasil pencarian Google, tapi
urung. Menulis ungkapan sederhana sambil membayangkan Ervika saja ia geli
sendiri, apalagi menulis yang romantis.
Sejak awal, Abrar juga tidak seratus persen yakin
jebakannya akan berhasil. Namun, ia tetap mencoba, siapa tahu kali ini
beruntung. Kalaupun gagal juga tak masalah. Yang jadi masalah, kenapa justru
Gavin yang menggagalkan rencananya? Kenapa dua temannya itu justru berbalik
menyerangnya? Kenapa tak biarkan saja Abrar menunggu Ervika yang tidak akan
pernah muncul sampai sekolah tutup?
“Anggap aja itu karma karena berniat ngerjain
cewek cantik nan baik hati.” Begitu kata Ervika saat Abrar mengungkapkan isi
pikirannya.
Meski tidak setuju dengan ucapan Ervika tentang
cantik dan baik hati, Abrar malas menanggapi. Ia justru memusatkan tatapan pada
Gavin. “Lo sahabat gue kan, Vin?”
“Iya.” Gavin tak pernah ragu akan hal itu.
“Terus, kenapa lo khianati gue demi cewek itu?”
Gavin dan Ervika berpandangan sejenak. Setelahnya,
Gavin menyengir sementara muka Ervika entah kenapa memerah, membuat Abrar
mengernyit curiga.
“Well …” Gavin menggaruk pipi
kanan—kebiasaan kalau sedang gugup atau canggung. “Lo memang sahabat gue, tapi …,”
kembali ia melirik Ervika. “Vika pacar gue.”
Abrar memelotot. What the ….
***
Savika tidak bisa menjawab pertanyaan Salma
hingga sepupunya itu berderap meninggalkan kamarnya. Bagaimana ia bisa menjawab
jika sejujurnya ia pun memiliki pertanyaan yang sama.
Pagi tadi, saat Savika baru datang dan duduk di
bangkunya, ia menemukan sepucuk surat di laci dengan namanya tertulis di
amplop. Savika mengamati lebih saksama surat itu dan ketika merasa mengenali
tulisannya, ia buru-buru membuka amplop untuk melihat isinya. Beberapa kali
mendapat kesempatan mengoreksi hasil ulangan Abrar membuat Savika hafal model
tulisan cowok yang menarik perhatiannya sejak pertama bertemu. Kelas mereka
bersebelahan, guru yang mengajar pun sebagian besar sama, jadi wajar jika mereka
sering diminta membantu mengoreksi hasil ulangan kelas lain. Dan entah
kebetulan atau takdir, Savika cukup sering mendapat kertas ulangan Abrar—kalau bukan
ia ya teman sebangkunya yang dapat. Dari sana ia bisa melihat bahwa Abrar cukup
lemah di pelajaran bahasa dan nilai-nilainya nyaris sempurna di pelajaran
eksak. Setelah membaca dan mengetahui ternyata itu
adalah surat cinta, perasaan Savika menjadi campur aduk. Senang karena mendapat
pernyataan cinta dari orang yang diam-diam disukainya, tetapi ia juga sulit memercayainya.
Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Sejak
kapan Abrar menyukainya? Bagaimana bisa cowok populer seperti Abrar menyukainya
yang berpenampilan biasa-biasa saja? Apa yang disukai Abrar darinya? Apakah
selama ini Abrar juga diam-diam memperhatikannya seperti ia diam-diam
memperhatikan Abrar? Dan yang paling penting, benarkah Abrar yang menulis surat
itu? Dari tulisannya, sih benar.
Untuk kali pertama selama menuntut ilmu, baru
kali ini Savika kehilangan konsentrasi belajar. Jantungnya berdebar-debar
memikirkan pernyataan Abrar. Ia nyaris tidak memperhatikan apa saja yang
diterangkan guru di depan kelas—ia bersyukur tidak ada ulangan hari ini.
Semakin mendekati berakhirnya jam pelajaran, jantung Savika berdentum makin
kuat. Dan saat bel pulang berbunyi, ia tetap bergeming di tempatnya.
Dalam surat itu, Abrar berkata akan menunggunya di taman belakang
sekolah. Namun, Savika belum memutuskan jawaban yang akan ia berikan pada
Abrar. Ia masih belum bisa benar-benar percaya Abrar menyatakan cinta kepadanya,
tetapi surat di tangannya adalah nyata.
Entah berapa lama waktu berlalu hingga Savika akhirnya beranjak dari
tempatnya. Ia pasti terlambat, tetapi dirinya sudah memutuskan. Tidak semua
orang beruntung bisa mendapat pernyataan cinta dari orang yang disukainya
diam-diam. Jadi, kenapa Savika harus menyia-nyiakan kesempatan ini?
0 komentar:
Posting Komentar