Yo... kali ini saya akan post chapter 2 dari novel Ocean Breeze.
Selamat membaca :)
2
Matahari masih tampak bersinar cerah di langit Miami
meski posisinya agak condong ke barat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga
sore waktu setempat. Ocean menatap bangunan megah berwarna putih berlantai dua
di hadapannya. Halaman depan rumah yang cukup luas itu ditumbuhi rumput hijau
subur dan pohon-pohon besar. Bermacam-macam bunga berjejer rapi di
kanan-kiri jalan masuk, sementara tanaman pagar berwarna hijau tumbuh subur di
dekat trotoar. Semua rumah di pemukiman elite itu memiliki halaman yang sama
hijaunya, ditambah deretan pohon palem di sisi jalan, membuat udara Miami yang
panas menjadi terasa sejuk.
Di sisi kanan rumah terdapat garasi luas yang
pintunya terbuka, di dalamnya tampak sebuah SUV berwarna hitam dan sebuah mobil
sport berwarna kuning. Ada satu lagi
mobil sport berwarna merah terparkir
anggun di luar garasi. Entah apa merek kedua mobil sport itu, tak terlihat jelas dari tempat Ocean. Meskipun gemar
menonton balapan mobil, Ocean bukanlah pecinta otomotif yang langsung bisa
menebak merek dan tipe mobil hanya dengan melihat sekilas. Ia hanya suka
melihat mobil dan pebalap yang keren adu cepat di lintasan, tapi sama sekali
tak mengerti tentang mobil dan segala perangkatnya. Tapi sepertinya ayahnya
seorang penggemar mobil. Atau mungkin hanya orang kaya yang gemar mengoleksi
mobil mewah.
Brian Ross Walker. Rasanya nama itu tak benar-benar
asing bagi Ocean. Ia memang belum pernah bertemu pemilik nama itu secara
langsung, tapi ia pernah mengetahui nama itu sebelumnya, meski itu sudah lama
sekali hingga ia sendiri sempat lupa. Kalau tidak salah, saat itu ia masih
duduk di kelas tiga sekolah dasar. Ia melihat nama itu saat tak sengaja
menemukan akta kelahirannya dan sempat menanyakan pada ibunya, tapi ibunya tak
mau membicarakan hal itu. Ia sempat beberapa kali menanyakan perihal keberadaan
ayahnya setelah itu, tapi ibunya tetap tak mau membicarakannya dan selalu
buru-buru mengalihkan pembicaraan setiap kali Ocean membahasnya.
Ocean pun tak pernah membicarakannya lagi dan tak
berusaha mencari keberadaan ayahnya. Ada banyak sekali orang bernama Brian
Walker di seluruh Amerika, dan ia bahkan tidak tahu di negara bagian mana
ayahnya tinggal. Lagi pula, bagi Ocean, keberadaan ayahnya tak terlalu penting.
Selama ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya dan
ia baik-baik saja. Meskipun sangat sibuk bekerja, ibunya tak pernah mengabaikan
Ocean. Ia selalu mengerti apa yang sedang dialami Ocean dan sangat peka. Ia
bukan hanya seorang ibu, tetapi juga sahabat bagi Ocean. Selama ada ibunya, ia
tak membutuhkan kehadiran seorang ayah. Ia mengabaikan kenyataan bahwa tak
mungkin seorang anak bisa lahir begitu saja tanpa adanya seorang ayah. Sudah
lama ia tak memikirkan bahkan melupakan keberadaan ayahnya. Sampai kini, saat
ia dihadapkan pada kenyataan harus tinggal bersama orang asing yang disebut
ayah. Seseorang yang sama sekali tak dikenalnya.
Tanpa sadar
air mata Ocean meleleh. Rasanya ia masih sulit percaya ibunya telah
meninggalkannya. Ia sama sekali tak menangis saat ibunya meninggal sampai
proses pemakaman selesai. Tapi kini… ia terpisah ribuan mil dari tempat
tinggalnya, di mana ibunya dimakamkan. Bahkan untuk mengunjungi makam ibunya
bila ia merasa rindu pun akan sulit.
“Ocean, kau kenapa?” Gerald Lewis bertanya lembut.
Ocean buru-buru menyeka air matanya. “Tidak apa-apa.
Aku hanya… teringat ibuku.”
Gerald Lewis membelai tangannya dengan lembut.
“Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Entah sudah berapa ratus kali ia
mengatakan itu sejak mereka berada di dalam pesawat. Ocean hanya bisa
mengangguk dan tersenyum kecil. “Apakah kau sudah siap?”
Sekali lagi Ocean menatap bangunan yang menjulang di
hadapannya. Tiba-tiba tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur dari pori-pori
tubuhnya meski udara Miami terasa cukup panas—paling tidak bagi Ocean yang
selama ini tinggal di tempat dingin. Ia merasa tidak siap memasuki rumah itu,
bertemu ayahnya, dan mungkin… keluarganya. Ia merasa ingin sekali berlari,
terbang kembali ke Alaska dan meringkuk di dalam kamarnya yang nyaman. Tapi ia
sadar ia tak punya pilihan lain. Tak ada yang bisa ia lakukan selain turun dari
mobil bersama pengacaranya dan melangkah memasuki rumah, menemui ayahnya, dan
memulai kehidupan baru di Miami.
Ocean menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu
berpaling pada Gerald Lewis dan mengangguk. “Aku siap.”
Gerald Lewis balas mengangguk, lalu membuka pintu
dan melangkah keluar, memutari bagian depan mobil dan membuka pintu penumpang
di sebelah kanan. Ocean masih belum beranjak dari tempatnya. Beberapa saat ia
hanya diam sambil menghela dan mengembuskan napas untuk menenangkan diri.
Pengacara muda itu sama sekali tak memintanya untuk cepat-cepat turun. Hanya
berdiri diam dengan sabar, menunggu Ocean menenangkan dirinya.
Akhirnya Ocean turun dari mobil. Ia tak mau membuat
pengacaranya yang sudah sangat baik dan begitu pengertian padanya menunggu
berlama-lama. Ia tak punya pilihan selain menghadapi takdirnya. Tak ada gunanya
terus ketakutan dan memikirkan hal buruk yang akan terjadi. Saat ini Ocean ingin
secepatnya menyelesaikan semua ini.
“Shall we?”
tanya Gerald Lewis.
Ocean mengangguk mantap, lalu mengiringi
pengacaranya itu menapaki jalan masuk yang berjarak sekitar tiga puluh lima meter dari rumah putih bertingkat dua yang sebentar lagi akan menjadi tempat
tinggalnya.
Semakin mendekati rumah, setiap langkah yang
ditapaki Ocean terasa semakin berat. Ribuan kupu-kupu seolah beterbangan di
dalam perutnya saat kakinya menapak di beranda depan dan pengacaranya mulai
memencet bel di samping pintu bercat putih gading itu.
Gerald Lewis memencet bel dua kali dan pintu depan
dibuka oleh seorang lelaki tampan akhir 30-an, bertubuh kekar, berkulit liat,
dan berambut pirang ikal. Tubuh Ocean kembali gemetar.
Itukah….
“Saya Gerald Lewis.” Pengacara Ocean memperkenalkan
diri sambil menjabat tangan si tuan rumah. “Dan itu Ocean.” Ia mengayunkan
tangan kirinya ke arah Ocean yang berdiri beberapa langkah di belakang. “Anda
Mr.
Walker?”
“Y-ya, saya Brian Walker,” jawab lelaki itu sambil
melirik Ocean sekilas. Ia tampak sedikit gugup. “Ini istri saya, Miranda.” Ia
memperkenalkan wanita cantik yang kini berdiri di sampingnya. Miranda berambut
cokelat panjang, berkulit cokelat khas latin, dan bermata cokelat cerah. Dan
tampaknya ia sedang hamil muda. Dengan sedikit enggan, wanita itu mengulurkan
tangannya—sekadar untuk bersopan-santun—yang langsung dijabat hangat oleh
Gerald Lewis. “Silakan masuk,” Brian membuka daun pintu lebih lebar dan
mempersilakan tamu-tamunya memasuki rumah.
Gerald Lewis melangkah masuk, Ocean mengikuti di
belakang. Ia merasa sangat gugup hingga sulit bernapas. Brian Walker
berkali-kali mencuri pandang padanya, sementara istrinya menatap tajam Ocean
seolah ingin memakannya. Entah itu hanya menurut pandangan Ocean yang ketakutan
saja atau memang wanita itu tidak suka dengan kehadirannya, Ocean tidak tahu
pasti. Semoga saja ia keliru.
***
Ocean menggenggam gelas berisi jus jeruk dingin di
tangannya. Gelas yang diberikan oleh Miranda itu masih terisi penuh. Ia belum
meneguknya sedikit pun. Ketiga orang dewasa sedang berbicara serius di ruang
tamu, sementara ia dibiarkan sendirian di ruang tengah dengan televisi menyala.
Ia tak tahu apa yang sedang dibicarakan orang-orang yang berada di ruang tamu.
Ia juga tak tahu acara apa yang sedang tayang di televisi. Ia terlalu gugup
untuk menonton televisi dan terlalu takut untuk mencuri dengar pembicaraan di
ruang tamu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya duduk diam di atas sofa
ruang tengah sambil mencoba menenangkan dirinya.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, ketiga orang
dewasa itu memasuki ruang tengah. Ocean buru-buru meletakkan gelas yang ia
pegang sejak tadi dan berdiri. Matanya dengan gugup menatap ketiga orang itu.
“Well,
Ocean, kurasa tugasku sudah selesai. Aku harus pergi sekarang,” kata Gerald
Lewis sambil melangkah mendekati Ocean dan tersenyum lembut. “Kuharap kau
menyukai rumah barumu.”
“K-kau langsung kembali ke Anchorage?”
“Kurasa begitu.”
“Kenapa tidak bermalam dulu? Apa kau tidak merasa
lelah setelah melakukan perjalanan jauh? Dan sekarang, kau akan terbang lagi?”
Gerald Lewis tersenyum. “Aku sudah biasa,” sahutnya.
“Lagi pula masih banyak pekerjaan yang menungguku.”
“Tapi….”
Gerald Lewis memegang pundak Ocean. “Aku tahu kau
ketakutan. Tapi percayalah, semua akan baik-baik saja. Mereka orang-orang yang
sangat baik. Kau akan senang di sini.”
Ocean ingin memercayai kata-kata Gerald Lewis, tapi
rasanya sangat sulit. Bukan karena ia merasa ayahnya bukan orang baik, tapi…
memulai hidup baru di tempat asing selalu terasa sulit. Apalagi sejak tadi ia
lihat Miranda tak pernah tersenyum.
“Kau bisa menghubungiku kapan pun kau membutuhkan,”
kata Gerald Lewis lagi.
Apa kau akan
langsung datang begitu aku meneleponmu? Yang benar saja! Kita terpisah jarak
ribuan mil! Paling tidak kau harus terbang selama 10 jam untuk menemuiku! Kalimat-kalimat
itu meledak di dalam kepalanya, tapi Ocean hanya diam. Tak ada gunanya mencoba
menahan Gerald. Pengacara muda itu akan tetap pergi meninggalkannya. Tugasnya
sudah selesai.
“Baiklah, aku pergi sekarang. Be a good girl!” Gerald mengusap kepala Ocean dan melangkah pergi.
Setelah pengacara muda itu menyalami kedua tuan rumah dan melangkahkan kakinya
ke luar, Ocean benar-benar sendirian.
“Jadi… namamu Ocean?” Brian bertanya setelah si
pengacara pergi.
Ocean mengangguk.
“Rupanya dia benar-benar memakai nama itu.” Brian
menggumam pelan.
Ocean memiringkan kepalanya. “Pardon me?”
“Oh, no. Nothing,” sahut Brian cepat. “Jadi nama
panjangmu….”
“Ocean Alamanda.”
“Walker.”
Ocean menggeleng. “Hanya Ocean Alamanda.”
“Akan menjadi Walker. Segera.” Brian berjanji.
Ocean diam. Apakah itu artinya Brian benar-benar
menerima keberadaannya meski baru saja bertemu? Apakah Ocean harus merasa
senang?
“Apa kalian hanya akan berdiri di sini?” seruan
Miranda menyadarkan kedua orang yang hanya berdiri saling menatap dalam diam
itu.
“Ehm… mari, kutunjukkan kamarmu.” Brian meraih dua
tas besar yang tergeletak di dekat kaki Ocean. “Hanya ini barangmu?”
Ocean mengangguk. “Ya, dan ini.” Ia mengedikkan
kepala pada tas punggung kecil yang ia sandang di punggungnya. “A-aku bisa
membawanya sendiri,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk meraih dua tas
besar yang kini telah berada di tangan Brian.
“It’sokay.
Biar aku saja. Mari!” Brian menjauhkan kedua tas itu dan melangkah menuju
tangga ke lantai dua. Ocean mengikuti di belakang, sementara Miranda sudah
lebih dulu berada di atas.
“Ini kamarmu.” Brian membuka pintu sebuah kamar yang
terletak di ujung koridor begitu mereka sampai di lantai dua. “Semoga kau
suka.”
Ocean melangkah ke ambang pintu dan mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Wallpaper
kamar itu didominasi gambar lebah yang menggemaskan, terdapat lukisan bulan dan
bintang di langit-langitnya, sebuah ranjang ukuran sedang berdiri di sudut
ruangan ditemani sebuah meja belajar dan rak buku yang tampaknya masih baru.
Ocean cukup menyukai kamar itu meski dekorasinya sepertinya kurang cocok untuk
gadis remaja seusianya—terutama wallpaper-nya.
Kamar ini lebih cocok digunakan untuk… kamar bayi.
Tunggu! Kamar bayi? Mungkinkah….
“Sebenarnya ini kamar yang dipersiapkan untuk bayi
kami,” ucap Miranda tiba-tiba. Sebuah belati seolah menusuk dada Ocean.
Ternyata benar yang ia pikirkan.
“Miranda,” Brian menatap istrinya tajam.
“What?”
Miranda balas menatap suaminya. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Kamar ini
tadinya memang dipersiapkan untuk calon bayi kita. Kita bahkan sudah memasang wallpaper dan mengecat langit-langit,
sampai dia da—”
“Please!”
Brian memotong kalimat istrinya.
Ocean merasa ada gumpalan besar dalam tenggorokannya
yang membuatnya seolah tersedak hingga tak bisa bernapas. Awal kehidupan yang
bagus, bukan? Seorang ayah yang tak pernah kau kenal sebelumnya dan ibu tiri
yang tidak menyukai kehadiranmu.
Tentu saja, wanita mana yang akan senang tiba-tiba
kedatangan seorang anak dari masa lalu suaminya yang tak pernah terdengar
sebelumnya dan… voilĂ ! Dia merebut kamar yang sudah kau siapkan dengan
penuh cinta untuk bayimu yang akan lahir.
Apa yang kau harapkan? Disambut dengan suka cita dan
diperlakukan seperti ratu Inggris?
“Ng… Ocean, kau tak perlu memikirkan perkataan
Miranda,” Brian mencoba menenangkan. “Seharusnya ini memang kamar untuk bayi,
tapi… bayinya, kan, belum lahir, jadi tidak ada salahnya jika kau gunakan. Kami
akan membuat kamar bayi yang lain.”
Ocean mencoba menelan gumpalan yang mencekat
tenggorokannya dan berusaha bernapas. “Apakah… kalian… punya loteng?” ia
bertanya sambil menatap Brian, tak berani menatap Miranda. “Atau basement?”
Brian mengernyit dan memiringkan kepalanya. “Kami
punya,” jawabnya. “Tapi untuk apa kau menanyakan itu?”
“A-aku… aku tidur di loteng saja.”
“A-apa maksudmu?” Brian menatap putrinya bingung.
“Kenapa kau ingin… apakah kau tersinggung dengan—”
Ocean menggeleng cepat. Meskipun memang benar ia
terluka atas perkataan Miranda, tapi ia tak mau mengatakannya. “Aku memang
lebih suka tidur di loteng,” ujarnya cepat. “Lagi pula, di loteng sepertinya
lebih sejuk. Aku dari Alaska dan aku belum terbiasa dengan cuaca panas Miami.”
Ia mengutarakan alasan apa pun yang terlintas di dalam kepalanya. Ia tak tahu
apakah alasannya masuk akal atau tidak. Ia tak pernah tidur di loteng
sebelumnya, jadi ia tak tahu apa benar di loteng lebih sejuk. Lagi pula
sepertinya setiap ruangan di rumah ini dilengkapi pendingin ruangan.
Rasanya memang tak masuk akal. Tapi meski begitu,
ayahnya sama sekali tak membantah alasan yang ia lontarkan. Brian mengedikkan
bahu. “Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Aku akan segera memindahkan
barang-barang ini.”
“What?”
Miranda kembali berseru. “Setelah kerja keras yang kami lakukan untuk
mempersiapkan kamar ini, sekarang kau ingin semuanya dipindah ke loteng?!”
Ocean merasa ingin pingsan.
“Miranda, sudahlah.” Brian berusaha meredam suasana
tak enak diantara mereka. “Tak masalah.”
Miranda memutar bola matanya. “Lakukan sesuka
kalian,” katanya seraya melangkah pergi meninggalkan kedua ayah dan anak itu
dengan langkah berderap.
Ocean berkali-kali menelan ludah dan menarik napas,
berusaha keras agar tidak menangis. God,
I need my mom!
Brian bisa melihat dengan jelas bahwa Ocean terluka.
Miranda memang keterlaluan. Ia menyentuh bahu gadis itu dengan lembut dan
berbisik pelan, “Jangan pikirkan Miranda. Dia sebenarnya orang yang sangat
baik. Dia hanya belum siap menerima kehadiran penghuni baru di rumah ini. Nanti
juga dia akan terbiasa dan akan bisa bersikap lembut padamu.”
Ocean hanya mengangguk-angguk tanpa berani menatap
lawan bicaranya. Wajahnya terus menunduk. Ia berusaha keras agar tidak
menangis. Tidak di depan ayah barunya.
“Aku akan memindahkan barang-barang ini ke loteng
besok pagi. Untuk sementara, kau tidur di kamar ini saja.”
Lagi-lagi Ocean hanya mengangguk. Ia masih belum
bisa berkata apa pun. Ia terlalu sibuk memaksa dirinya agar tidak menangis atau
berlari dari rumah barunya, lalu menelepon Gerald Lewis agar membawanya pergi
ke bandara dan pulang ke Anchorage. Tinggal di panti asuhan yang ditunjuk Dinas
Sosial mungkin lebih baik daripada di sini.
“Istirahatlah! Kau pasti lelah setelah menempuh
perjalanan jauh.” Dengan canggung, Brian membelai kepala putrinya, lalu pergi
meninggalkan gadis itu seorang diri.
Cepi R. Dini
0 komentar:
Posting Komentar