Sabtu, 12 Agustus 2017

Ocean Breeze Teaser Part 2

Setelah sekian tahun lalu saya posting prolog Ocean Breeze (maafkan saya yang nggak rajin mengisi blog ini T.T), kini saya akan lanjut ke bab satu.
Sekadar pemberitahuan, saya akan posting beberapa bab secara random. Jadi, nggak semua akan saya posting di sini.
Selamat membaca!



 1



Ocean mendekatkan wajahnya pada kaca jendela pesawat. Hanya kegelapan yang tampak menyelimuti langit Alaska. Matahari masih akan sangat lama lagi terbit. Pengacaranya memutuskan mereka berangkat tengah malam agar tidak kemalaman saat sampai di Miami yang mempunyai selisih waktu empat jam dengan Anchorage. Meskipun tidak bisa melihat apa-apa di luar jendela, Ocean yakin ia sudah jauh dari Anchorage.
Rasa ngeri mendadak mencekam perasan Ocean. Bongkahan batu seberat satu ton terasa menimpa dadanya. Ia masih sulit percaya bahwa ia telah meninggalkan kampung halamannya yang nyaman. Berat rasanya meninggalkan rumah yang selama ini menyelimutinya dengan kedamaian, meninggalkan teman-temannya, sekolah, tetangga-tetangga yang baik, tukang pos yang ramah, juga pemilik toko kue yang selalu tersenyum dan memberinya cokelat gratis setiap kali ia datang. Dorongan untuk melompat dari pesawat sangat kuat mencengkeram Ocean, tapi ia tahu tak mungkin melakukannya.

Ocean menutup kerai jendela. Ia menoleh ke samping kiri, pengacaranya sedang sibuk membaca berkas-berkas entah apa—telinganya tersumbat earphone. Perjalanan dari Anchorage ke Miami yang mempunyai jarak penerbangan sekitar 4000 mil memerlukan waktu minimal sepuluh jam dengan satu kali transit. Itu masih sangat lama. Ia harus mencari kesibukan agar tidak bosan. Atau mungkin ia tidur saja seperti sebagian besar penumpang di pesawat ini? Tapi tidak bisa! Ocean sama sekali tak mengantuk.
Ocean mencoba membaca bukunya, tapi tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi. Ia sama sekali tak bisa memahami isi buku itu. Ah, percuma saja! Ocean meletakkan bukunya dan mulai menyalakan televisi setelah mengenakan earphone. Tapi lagi-lagi usahanya sia-sia. Tak ada acara bagus yang bisa ia tonton, setidaknya menurutnya. Bukan salah buku atau televisinya, tapi pada diri Ocean sendiri. Ia terlalu tegang.
Bagaimana tidak? Ini adalah perjalanan jauh pertamanya. Dan bukannya dalam rangka wisata, melainkan harus pergi menemui seseorang yang sama sekali tidak ia kenal dan harus tinggal bersamanya. Meninggalkan Anchorage yang sudah ia kenal sejak berusia 5 tahun dan tak akan kembali saja sudah cukup membuatnya frustrasi, apalagi ditambah pikiran bahwa ia akan tinggal bersama orang asing yang katanya adalah ayah kandungnya.
Berbagai macam pikiran berkecamuk di dalam kepala Ocean. Seperti apa tampang ayahku? Bagaimana aku harus memanggilnya? Daddy? Father? Pops? Papa? Atau cukup Brian saja? Apakah dia masih sendiri atau sudah punya keluarga baru? Bagaimana kalau dia tidak bisa menerimaku? Bagaimana kalau keluarganya—jika memang ada—keberatan dengan kehadiranku? Apa yang akan kulakukan di sana? Bagaimana dengan sekolahku? Apa aku akan mendapat teman di sana? Apa yang akan kulakukan jika ternyata ayahku menolak mengasuhku? Apakah aku harus pergi? Ke mana aku harus pergi? Jika terjadi sesuatu di sana, siapa yang bisa kuhubungi?
“Kau kenapa?” Pertanyaan Gerald Lewis menyadarkan Ocean. Matanya yang berwarna hazel menatap Ocean dengan pandangan heran. “Kau tampak gelisah. Kau baik-baik saja?”
Ocean mengangguk pelan. “Ya, kurasa.”
Gerald Lewis menutup berkas-berkas dan melepas earphone dari telinganya, lalu merubah posisi duduknya menghadap Ocean. “Apa yang kau khawatirkan?” ia bertanya lembut.
Ocean balas menatap lelaki itu. Ini kali pertama Mr. Lewis berbicara penuh perhatian padanya. Setahu Ocean, selama ini dia hanya melakukan pekerjaannya secara profesional.
“Apa kau takut?” Gerald Lewis bertanya lagi.
Ocean menggoyangkan kepalanya. “Sedikit.”
“Apa yang kau takutkan?”
“Ng… banyak.”
Pengacara muda itu mengangkat alisnya. “Banyak? Apa saja itu?”
Ocean menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. “Entahlah.”
Gerald Lewis tersenyum. “Aku mengerti apa yang kau rasakan,” katanya. “Pasti berat meninggalkan kota yang sudah kau tinggali sejak kecil dan harus memulai hidup baru di tempat asing bersama orang asing.”
Ocean mengangguk. Entah bagaimana pengacara ibunya itu tiba-tiba bisa mengerti apa yang ia rasakan. Selama ini sepertinya ia tak pernah peduli, karena memang bukan tugasnya untuk peduli.
Gerald Lewis memegang tangan Ocean. “Tenang, semua akan baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ia meyakinkan.
Ocean tersenyum kecil. “Ya. Kuharap begitu.”
Pengacara muda itu kembali tersenyum. “Mana ponselmu?” katanya sambil mengulurkan tangan.
Ocean menatapnya bingung. “Untuk apa?”
“Sudah, berikan saja.”
Meski masih bingung, Ocean menurut saja dan menyerahkan ponsel yang sudah diset dalam kondisi flight mode pada Gerald Lewis. Pengacaranya itu kemudian melakukan selfie dengan ponsel Ocean, lalu mengutak-atiknya sebentar, kemudian menyerahkannya kembali padanya. “Nah, aku sudah menyimpan nomor dan fotoku yang tampan di sana. Kalau kau membutuhkan sesuatu, atau hanya menginginkan teman ngobrol, kau bisa menghubungiku kapan pun.”
Ocean meraih ponselnya kembali, melihat phonebook, dan tersenyum saat menemukan foto Gerald Lewis sedang tersenyum padanya. “Terima kasih,” ucapnya. Ia tak menyangka Gerald Lewis bisa bersikap sebaik ini padanya.
Gerald Lewis meraih tangan Ocean dan menepuk-nepuknya. “Tak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku janji.”
Ocean mengangguk pelan. Hatinya sudah merasa sedikit tenang. “Ng… Mr. Lewis?”
“Panggil Gerald saja.”
 Ocean terdiam menatap pengacaranya untuk beberapa saat, lalu berkata, “Baiklah,” sambil mengangguk. “Ng… boleh aku bertanya?”
“Tentu.” Gerald Lewis mengangguk.
“Apakah… ayahku tahu akan kedatangan kita?”
Gerald Lewis tersenyum hangat. “Tentu saja, sweetheart,” jawabnya. “Mana mungkin aku membawamu ke sana begitu saja tanpa pemberitahuan pada yang bersangkutan.”
Ocean tersenyum malu, menyadari betapa konyol pertanyaannya. “Lalu, bagaimana dengan sekolahku?”
“Semua dokumen kepindahanmu ke sekolah yang baru juga sudah beres. Kau bisa mulai sekolah hari Senin nanti.”
Ocean mengangguk mengerti. “Ng… satu lagi….”
“Apa?”
“Seperti apa ayahku?”
Gerald Lewis tak langsung menjawab. Ia membiarkan Ocean bergelut dengan rasa penasaran. Beberapa detik berlalu, ia kemudian berujar santai, “Nanti kau akan tahu sendiri.”

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates