Setelah sekian tahun lalu saya posting prolog Ocean Breeze (maafkan saya yang nggak rajin mengisi blog ini T.T), kini saya akan lanjut ke bab satu.
Sekadar pemberitahuan, saya akan posting beberapa bab secara random. Jadi, nggak semua akan saya posting di sini.
Selamat membaca!
1
Ocean mendekatkan wajahnya pada kaca jendela
pesawat. Hanya kegelapan yang tampak menyelimuti langit Alaska. Matahari masih
akan sangat lama lagi terbit. Pengacaranya memutuskan mereka berangkat tengah
malam agar tidak kemalaman saat sampai di Miami yang mempunyai selisih waktu
empat jam dengan Anchorage. Meskipun tidak bisa melihat apa-apa di luar
jendela, Ocean yakin ia sudah jauh dari Anchorage.
Rasa ngeri mendadak mencekam perasan Ocean.
Bongkahan batu seberat satu ton terasa menimpa dadanya. Ia masih sulit percaya
bahwa ia telah meninggalkan kampung halamannya yang nyaman. Berat rasanya
meninggalkan rumah yang selama ini menyelimutinya dengan kedamaian,
meninggalkan teman-temannya, sekolah, tetangga-tetangga yang baik, tukang pos
yang ramah, juga pemilik toko kue yang selalu tersenyum dan memberinya cokelat
gratis setiap kali ia datang. Dorongan untuk melompat dari pesawat sangat kuat
mencengkeram Ocean, tapi ia tahu tak mungkin melakukannya.
Ocean menutup kerai jendela. Ia menoleh ke samping
kiri, pengacaranya sedang sibuk membaca berkas-berkas entah apa—telinganya
tersumbat earphone. Perjalanan dari
Anchorage ke Miami yang mempunyai jarak penerbangan sekitar 4000 mil memerlukan
waktu minimal sepuluh jam dengan satu kali transit. Itu masih sangat lama. Ia
harus mencari kesibukan agar tidak bosan. Atau mungkin ia tidur saja seperti
sebagian besar penumpang di pesawat ini? Tapi tidak bisa! Ocean sama sekali tak
mengantuk.
Ocean mencoba membaca bukunya, tapi tak bisa
sepenuhnya berkonsentrasi. Ia sama sekali tak bisa memahami isi buku itu. Ah, percuma saja! Ocean meletakkan
bukunya dan mulai menyalakan televisi setelah mengenakan earphone. Tapi lagi-lagi usahanya sia-sia. Tak ada acara bagus yang
bisa ia tonton, setidaknya menurutnya. Bukan salah buku atau televisinya, tapi
pada diri Ocean sendiri. Ia terlalu tegang.
Bagaimana tidak? Ini adalah perjalanan jauh
pertamanya. Dan bukannya dalam rangka wisata, melainkan harus pergi menemui
seseorang yang sama sekali tidak ia kenal dan harus tinggal bersamanya.
Meninggalkan Anchorage yang sudah ia kenal sejak berusia 5 tahun dan tak akan
kembali saja sudah cukup membuatnya frustrasi, apalagi ditambah pikiran bahwa
ia akan tinggal bersama orang asing yang katanya
adalah ayah kandungnya.
Berbagai macam pikiran berkecamuk di dalam kepala
Ocean. Seperti apa tampang ayahku?
Bagaimana aku harus memanggilnya? Daddy? Father? Pops? Papa? Atau cukup Brian
saja? Apakah dia masih sendiri atau sudah punya keluarga baru? Bagaimana kalau
dia tidak bisa menerimaku? Bagaimana kalau keluarganya—jika memang
ada—keberatan dengan kehadiranku? Apa yang akan kulakukan di sana? Bagaimana
dengan sekolahku? Apa aku akan mendapat teman di sana? Apa yang akan kulakukan
jika ternyata ayahku menolak mengasuhku? Apakah aku harus pergi? Ke mana aku
harus pergi? Jika terjadi sesuatu di sana, siapa yang bisa kuhubungi?
“Kau kenapa?” Pertanyaan Gerald Lewis menyadarkan
Ocean. Matanya yang berwarna hazel
menatap Ocean dengan pandangan heran. “Kau tampak gelisah. Kau baik-baik saja?”
Ocean
mengangguk pelan. “Ya, kurasa.”
Gerald Lewis menutup berkas-berkas dan melepas earphone dari telinganya, lalu merubah
posisi duduknya menghadap Ocean. “Apa yang kau khawatirkan?” ia bertanya
lembut.
Ocean balas menatap lelaki itu. Ini kali pertama Mr.
Lewis berbicara penuh perhatian padanya. Setahu Ocean, selama ini dia hanya
melakukan pekerjaannya secara profesional.
“Apa
kau takut?” Gerald Lewis bertanya lagi.
Ocean
menggoyangkan kepalanya. “Sedikit.”
“Apa
yang kau takutkan?”
“Ng…
banyak.”
Pengacara
muda itu mengangkat alisnya. “Banyak? Apa saja itu?”
Ocean
menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. “Entahlah.”
Gerald Lewis tersenyum. “Aku mengerti apa yang kau rasakan,”
katanya. “Pasti berat meninggalkan kota yang sudah kau tinggali sejak kecil dan
harus memulai hidup baru di tempat asing bersama orang asing.”
Ocean mengangguk. Entah bagaimana pengacara ibunya
itu tiba-tiba bisa mengerti apa yang ia rasakan. Selama ini sepertinya ia tak
pernah peduli, karena memang bukan tugasnya untuk peduli.
Gerald Lewis memegang tangan Ocean. “Tenang, semua
akan baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ia meyakinkan.
Ocean
tersenyum kecil. “Ya. Kuharap begitu.”
Pengacara muda itu kembali tersenyum. “Mana
ponselmu?” katanya sambil mengulurkan tangan.
Ocean
menatapnya bingung. “Untuk apa?”
“Sudah,
berikan saja.”
Meski masih bingung, Ocean menurut saja dan
menyerahkan ponsel yang sudah diset dalam kondisi flight mode pada Gerald Lewis. Pengacaranya itu kemudian melakukan selfie dengan ponsel Ocean, lalu mengutak-atiknya
sebentar, kemudian menyerahkannya kembali padanya. “Nah, aku sudah menyimpan
nomor dan fotoku yang tampan di sana. Kalau kau membutuhkan sesuatu, atau hanya
menginginkan teman ngobrol, kau bisa menghubungiku kapan pun.”
Ocean meraih ponselnya kembali, melihat phonebook, dan tersenyum saat menemukan
foto Gerald Lewis sedang tersenyum padanya. “Terima kasih,” ucapnya. Ia tak
menyangka Gerald Lewis bisa bersikap sebaik ini padanya.
Gerald Lewis meraih tangan Ocean dan
menepuk-nepuknya. “Tak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku janji.”
Ocean mengangguk pelan. Hatinya sudah merasa sedikit
tenang. “Ng… Mr. Lewis?”
“Panggil
Gerald saja.”
Ocean terdiam
menatap pengacaranya untuk beberapa saat, lalu berkata, “Baiklah,” sambil
mengangguk. “Ng… boleh aku bertanya?”
“Tentu.”
Gerald Lewis mengangguk.
“Apakah…
ayahku tahu akan kedatangan kita?”
Gerald Lewis tersenyum hangat. “Tentu saja, sweetheart,” jawabnya. “Mana mungkin aku
membawamu ke sana begitu saja tanpa pemberitahuan pada yang bersangkutan.”
Ocean tersenyum malu, menyadari betapa konyol
pertanyaannya. “Lalu, bagaimana dengan sekolahku?”
“Semua dokumen kepindahanmu ke sekolah yang baru juga
sudah beres. Kau bisa mulai sekolah hari Senin nanti.”
Ocean
mengangguk mengerti. “Ng… satu lagi….”
“Apa?”
“Seperti
apa ayahku?”
Gerald
Lewis tak langsung menjawab. Ia membiarkan Ocean bergelut dengan rasa
penasaran. Beberapa detik berlalu, ia kemudian berujar santai, “Nanti kau akan
tahu sendiri.”
0 komentar:
Posting Komentar