Tanggal 23-25 September 2016 kemarin merupakan hari yang sangat
bersejarah bagiku (lebay nggak sih? :D). Pasalnya, dalam tiga hari—atau lebih
tepatnya dua hari tiga malam—itu, aku telah diberi kesempatan oleh Tuhan bertemu
dengan teman-teman (keluarga) baru dalam acara Kampus Fiksi 17 di Jogja.
Sebenarnya aku sudah mengetahui tentang Kampus Fiksi sejak Diva Press
membuka pendaftaran untuk kali pertama beberapa tahun yang lalu. Tapi, karena
berbagai alasan, aku memutuskan tak mengikuti seleksi. Dan, baru mengikuti
seleksi ketika pendaftaran gelombang kedua dibuka tahun lalu.
Ah, rasanya tak penting juga dibahas.
Aku adalah tipe orang pemikir dan mudah paranoid. Pasif, canggung, dan
tak punya keberanian untuk menyapa orang terlebih dahulu. Beberapa hari sebelum
berangkat ke Jogja, aku nyaris tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi
selama acara berlangsung nanti. Bagaimana kalau aku nyasar? Bagaimana kalau aku
tak punya teman? Bagaimana kalau tak ada yang mau bicara denganku? Bagaimana
kalau aku jadi yang paling bodoh? Bagaimana kalau… bagaimana kalau…
Berbagai macam pertanyaan ‘bagaimana kalau’ berputar dalam kepala
kecilku yang tak begitu berisi. Ketakutan utamaku tentu saja masalah teman. Aku
yang biasa diabaikan dan ditinggalkan, tak berani berharap akan mendapat teman
di sana. Mereka mau berbicara dan tak menjauhiku saja sudah cukup baik bagiku.
Aku tak berani berharap lebih.
Namun, ternyata semua kekhawatiranku tak terjadi.
Sejak pertama aku menginjakkan kaki di tanah Jogja, aku disambut dengan
senyum hangat dan sikap kekeluargaan. Seseorang langsung menyapa dan mengajakku
bicara. Entah kenapa, semua kecanggunganku mendadak hilang dan memunculkan sisi
asliku yang berisik. Yang biasanya hanya akan keluar di depan orang-orang
terdekat. Orang-orang yang sudah mengenalku lama.
Dan, ketika akhirnya kami sampai di Gedung Kampus Fiksi, perasaan aneh
menyelimutiku. Aku serasa berada di rumah. Padahal, ini kali pertama diriku
berkunjung ke Jogja. Aku yang biasanya homesick,
malam itu bisa tidur lelap di salah satu kamar yang disediakan.
Tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya, bahwa aku akan secepat
itu akrab dengan orang-orang yang baru kutemui.
Jujur, awalnya aku merasa minder mengingat sebagian besar peserta maupun
panitia dan alumni adalah mahasiswa atau sarjana. Bahkan ada yang tengah
menempuh jenjang S2. Sedangkan aku hanyalah… ah, tak perlulah dibahas. Nanti
aku malah jadi curhat dan tampak menyedihkan. Tapi, mereka semua
memperlakukanku dengan baik, tanpa membedakan status dan kondisi. Aku pun larut
dalam suasana kekeluargaan itu.
Sungguh, aku merasa begitu bahagia berada di sana. Aku bisa merasakan
indahnya memiliki sahabat, teman-teman yang menyenangkan.
Saat aku mengatakan pada Mbak Ve kalau aku tak ingin pulang, aku berkata
yang sejujurnya. Karena ketika aku pulang, hanya kesendirianlah yang kutemui.
Tak ada lagi gelak tawa dan canda dari teman-temanku. Aku akan kembali
kesepian.
Tapi, apalah daya. Setiap awal pasti akan menemui akhir juga. Bagai sebuah
novel, sesuka apa pun kita pada jalan cerita atau tokohnya, pada akhirnya kita
tetap akan berhadapan dengan akhir cerita, entah bahagia atau sedih. Tak
seperti sinetron yang seolah tak berujung. Halah, aku malah jadi melantur.
Waktu dua hari tiga malam pun berakhir. Satu per satu peserta mulai
meninggalkan Gedung Kampus Fiksi. Menciptakan kekosongan tak hanya pada
ruangan, tapi juga benakku. Hingga pada waktunya akulah yang harus meninggalkan
tempat yang telah kuanggap rumah itu. Benar-benar rumah. Di mana terdapat tawa
kebahagiaan di dalamnya.
Mungkin aku tertawa ketika berpamitan pada semua yang tersisa di tempat
itu. Tapi, dalam hati aku menangis. Aku bersedih. Aku berharap momen
kebersamaan itu berlangsung lebih lama. Belum juga aku meninggalkan Jogja, baru
sampai di stasiun, aku sudah merindukan mereka semua.
Aku yang terbiasa ditinggalkan. Aku yang telah merasa putus asa untuk
memiliki sahabat, seolah kembali diberi harapan setelah mengenal mereka semua.
Apalagi Pak Edi berkata, bahwa kita semua adalah keluarga.
Jadi, teman-temanku. Bolehkan kali ini aku kembali berharap?
Akankah kalian tetap menganggapku teman, sahabat, bahkan saudara setelah
kita berpisah dan kembali pada kehidupan masing-masing?
Jika suatu saat nanti kalian telah sukses dan menjadi orang besar,
akankah kalian masih mengingatku yang bukan apa-apa dan siapa-siapa ini?
Ataukah kalian akan berpura-pura tak pernah mengenalku?
Ah, itu adalah hak kalian untuk menentukan.
Tapi, bagiku, momen indah yang kita alami selama dua hari tiga malam
itu, meski mungkin tak bisa terulang, akan tetap melekat di dalam memoriku. Tak
akan pernah kulupakan hingga otakku kehilangan daya ingatnya.
Terlepas dari bagaimana statusku di mata kalian nanti, selamanya kalian
akan menjadi teman-temanku yang berharga. Sahabatku. Keluargaku.
Meminjam salah satu kalimat dalam lagu Project Pop yang judulnya juga
kupinjam untuk tulisan gaje ini, aku ingin berpesan (atau berharap) pada
kalian: “Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing, ingatlah hari ini.”
Guys, aku menyayangi kalian semua. Dan, ketika aku
menulis ini, aku dalam kondisi sangat merindukan kalian. Sungguh!
Aku minta maaf jika selama kita bersama aku begitu berisik, tak tahu
malu, dan mengesalkan. Kuharap kalian bisa memakluminya. *,*v
I love you all, my friends! My precious
family.
<3<3<3
1 komentar:
Wuapik mbak. Aku terkejut..xixixi
Posting Komentar