Jumat, 30 September 2016

Ingatlah Hari Ini (My Precious Family)



Tanggal 23-25 September 2016 kemarin merupakan hari yang sangat bersejarah bagiku (lebay nggak sih? :D). Pasalnya, dalam tiga hari—atau lebih tepatnya dua hari tiga malam—itu, aku telah diberi kesempatan oleh Tuhan bertemu dengan teman-teman (keluarga) baru dalam acara Kampus Fiksi 17 di Jogja.
Sebenarnya aku sudah mengetahui tentang Kampus Fiksi sejak Diva Press membuka pendaftaran untuk kali pertama beberapa tahun yang lalu. Tapi, karena berbagai alasan, aku memutuskan tak mengikuti seleksi. Dan, baru mengikuti seleksi ketika pendaftaran gelombang kedua dibuka tahun lalu.
Ah, rasanya tak penting juga dibahas.

Aku adalah tipe orang pemikir dan mudah paranoid. Pasif, canggung, dan tak punya keberanian untuk menyapa orang terlebih dahulu. Beberapa hari sebelum berangkat ke Jogja, aku nyaris tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi selama acara berlangsung nanti. Bagaimana kalau aku nyasar? Bagaimana kalau aku tak punya teman? Bagaimana kalau tak ada yang mau bicara denganku? Bagaimana kalau aku jadi yang paling bodoh? Bagaimana kalau… bagaimana kalau…
Berbagai macam pertanyaan ‘bagaimana kalau’ berputar dalam kepala kecilku yang tak begitu berisi. Ketakutan utamaku tentu saja masalah teman. Aku yang biasa diabaikan dan ditinggalkan, tak berani berharap akan mendapat teman di sana. Mereka mau berbicara dan tak menjauhiku saja sudah cukup baik bagiku. Aku tak berani berharap lebih.
Namun, ternyata semua kekhawatiranku tak terjadi.
Sejak pertama aku menginjakkan kaki di tanah Jogja, aku disambut dengan senyum hangat dan sikap kekeluargaan. Seseorang langsung menyapa dan mengajakku bicara. Entah kenapa, semua kecanggunganku mendadak hilang dan memunculkan sisi asliku yang berisik. Yang biasanya hanya akan keluar di depan orang-orang terdekat. Orang-orang yang sudah mengenalku lama.
Dan, ketika akhirnya kami sampai di Gedung Kampus Fiksi, perasaan aneh menyelimutiku. Aku serasa berada di rumah. Padahal, ini kali pertama diriku berkunjung ke Jogja. Aku yang biasanya homesick, malam itu bisa tidur lelap di salah satu kamar yang disediakan.
Tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya, bahwa aku akan secepat itu akrab dengan orang-orang yang baru kutemui.
Jujur, awalnya aku merasa minder mengingat sebagian besar peserta maupun panitia dan alumni adalah mahasiswa atau sarjana. Bahkan ada yang tengah menempuh jenjang S2. Sedangkan aku hanyalah… ah, tak perlulah dibahas. Nanti aku malah jadi curhat dan tampak menyedihkan. Tapi, mereka semua memperlakukanku dengan baik, tanpa membedakan status dan kondisi. Aku pun larut dalam suasana kekeluargaan itu.
Sungguh, aku merasa begitu bahagia berada di sana. Aku bisa merasakan indahnya memiliki sahabat, teman-teman yang menyenangkan.
Saat aku mengatakan pada Mbak Ve kalau aku tak ingin pulang, aku berkata yang sejujurnya. Karena ketika aku pulang, hanya kesendirianlah yang kutemui. Tak ada lagi gelak tawa dan canda dari teman-temanku. Aku akan kembali kesepian.
Tapi, apalah daya. Setiap awal pasti akan menemui akhir juga. Bagai sebuah novel, sesuka apa pun kita pada jalan cerita atau tokohnya, pada akhirnya kita tetap akan berhadapan dengan akhir cerita, entah bahagia atau sedih. Tak seperti sinetron yang seolah tak berujung. Halah, aku malah jadi melantur.
Waktu dua hari tiga malam pun berakhir. Satu per satu peserta mulai meninggalkan Gedung Kampus Fiksi. Menciptakan kekosongan tak hanya pada ruangan, tapi juga benakku. Hingga pada waktunya akulah yang harus meninggalkan tempat yang telah kuanggap rumah itu. Benar-benar rumah. Di mana terdapat tawa kebahagiaan di dalamnya.
Mungkin aku tertawa ketika berpamitan pada semua yang tersisa di tempat itu. Tapi, dalam hati aku menangis. Aku bersedih. Aku berharap momen kebersamaan itu berlangsung lebih lama. Belum juga aku meninggalkan Jogja, baru sampai di stasiun, aku sudah merindukan mereka semua.
Aku yang terbiasa ditinggalkan. Aku yang telah merasa putus asa untuk memiliki sahabat, seolah kembali diberi harapan setelah mengenal mereka semua. Apalagi Pak Edi berkata, bahwa kita semua adalah keluarga.
Jadi, teman-temanku. Bolehkan kali ini aku kembali berharap?
Akankah kalian tetap menganggapku teman, sahabat, bahkan saudara setelah kita berpisah dan kembali pada kehidupan masing-masing?
Jika suatu saat nanti kalian telah sukses dan menjadi orang besar, akankah kalian masih mengingatku yang bukan apa-apa dan siapa-siapa ini? Ataukah kalian akan berpura-pura tak pernah  mengenalku?
Ah, itu adalah hak kalian untuk menentukan.
Tapi, bagiku, momen indah yang kita alami selama dua hari tiga malam itu, meski mungkin tak bisa terulang, akan tetap melekat di dalam memoriku. Tak akan pernah kulupakan hingga otakku kehilangan daya ingatnya.
Terlepas dari bagaimana statusku di mata kalian nanti, selamanya kalian akan menjadi teman-temanku yang berharga. Sahabatku. Keluargaku.
Meminjam salah satu kalimat dalam lagu Project Pop yang judulnya juga kupinjam untuk tulisan gaje ini, aku ingin berpesan (atau berharap) pada kalian: “Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing, ingatlah hari ini.”
Guys, aku menyayangi kalian semua. Dan, ketika aku menulis ini, aku dalam kondisi sangat merindukan kalian. Sungguh!
Aku minta maaf jika selama kita bersama aku begitu berisik, tak tahu malu, dan mengesalkan. Kuharap kalian bisa memakluminya. *,*v
I love you all, my friends! My precious family.


<3<3<3

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Wuapik mbak. Aku terkejut..xixixi

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates