Rabu, 23 Maret 2016

Ocean's Val Day




Hai, saya datang lagi :D
Meski mungkin nggak ada yang nunggu juga, sih. Hehe ^^v
Kali ini, saya membawa cerita tentang Ocean lagi. Bisa dibilang, semacam sequel gitu, lah. Singkat aja, kok. Cuma cerita pendek.

Selamat membaca!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~




Bulan Februari adalah bulan cinta. Bulan di mana setiap orang berlomba-lomba menunjukkan perasaannya pada orang yang disayangi dengan memberi cokelat atau bunga. Setidaknya begitulah yang terjadi di sekeliling Ocean. Hampir seluruh siswa Miami Senior High School—terutama yang perempuan—sangat bersemangat menyambut datangnya hari Valentine, meski hari besar itu masih satu minggu lagi. Beberapa cewek yang tergolong siswa populer malah saling bertaruh siapa yang nanti mendapat cokelat dan bunga paling banyak. Seolah banyaknya cokelat atau bunga yang mereka terima menjadi bukti banyaknya orang yang menyayangi mereka. Padahal, kan, kasih sayang tak sebatas pada cokelat atau bunga.
Mungkin Ocean hanya satu dari sedikit siswa yang tak begitu antusias menyambut hari kasih sayang itu. Tanggal 14 Februari memiliki makna lain bagi Ocean. Karena di tanggal itulah ia kehilangan ibunya.
Bukan berarti Ocean membenci hari Valentine. Tidak! Ia sama sekali tak membenci hari Valentine. Tak ada yang patut dibenci atau dipersalahkan atas kematian ibunya. Hanya saja, saat ini ia memikirkan hal lain yang lebih penting, alih-alih memikirkan hadiah apa yang akan diberikan kepada siapa atau yang akan ia terima dari siapa saat hari Valentine nanti.

***
“Eh, jadi ibumu meninggal saat Valentine?” Julian meletakkan kembali sandwich kalkun yang hampir memasuki mulutnya.
“Begitulah.”
“Oh, aku baru tahu itu,” gumam Julian. “Aku ingat bertemu denganmu awal Maret,” tambahnya sembari menggigit makan siangnya.
“Ya, aku datang kemari dua minggu setelah kematian ibuku,” balas Ocean. “Sekitar satu minggu setelah pemakamannya.”
“Jadi, tanggal 14 nanti tepat satu tahun kepergian ibumu. Apa hal itu membuatmu membenci Valentine?”
“Tentu saja tidak,” sanggah Ocean. “Memangnya siapa yang bisa membenci cokelat dan bunga?”
“Syukurlah,” gumam Julian lirih.
Ocean mengerutkan kening. “Kenapa?”
Julian menggeleng gugup. “Nothing,” sahutnya cepat. “Lalu, apa kau akan mengunjungi makamnya?” tanyanya mengalihkan.
Ocean mengangguk. “Tentu.”
“Ayahmu akan mengantarmu?”
Ocean menggeleng pelan. “Dia bahkan tak mengizinkanku pergi.”
Sandwich yang sudah setengah jalan menuju mulut Julian untuk menerima gigitan kedua, lagi-lagi terpaksa diturunkan. “Kenapa?”
“Katanya aku harus sekolah,” jawab Ocean. “Karena sudah kelas 12 dan dalam persiapan masuk kuliah, aku tak boleh bolos.”
“Kau sudah bilang kalau kau mau pergi untuk mengunjungi makam ibumu?”
Ocean menggeleng. “Aku tidak mau membuat Miranda terluka,” katanya. “Meskipun saat ini dia bersikap sangat baik padaku, tapi itu bukan jaminan dia sudah tak cemburu pada mendiang ibuku. Lagi pula, seharusnya ayahku tahu ada apa di tanggal 14. Selain Valentine, tentunya. Dia bukan tipe orang yang peduli dengan Valentine.”
“Mungkin dia lupa.”
Ocean mengedikkan bahu. “Yeah, mungkin saja. Akhir-akhir ini dia sangat sibuk. Mungkin terlalu banyak hal yang harus diingatnya.”
“Jadi, kau akan tetap pergi meski ayahmu tak mengizinkan?”
Ocean mengangguk. “Tentu saja.”
Julian mendesah berat. “Kau akan pergi diam-diam? Lagi?”
“Tapi ini berbeda, Ju,” balas Ocean. “Kali ini aku pergi bukan untuk bersenang-senang. Aku pergi karena harus.”
“Tapi Anchorage sangat jauh.”
“Anchorage hanya sebuah kota di negara bagian lain,” kilah Ocean. “Beberapa remaja bahkan pernah pergi ke luar negeri sendirian.”
“Tapi, kan, tidak banyak,” Julian kembali membantah. “Dan, mereka juga tidak pergi tanpa izin orangtua.”
“Aku sudah berusaha minta izin, tapi ditolak.”
“Mungkin ayahmu akan mengizinkan kalau kau mengatakan tujuanmu yang sebenarnya.”
Ocean diam. Mungkin Julian benar, tapi… “Pokoknya aku akan tetap pergi.” Ia memutuskan.
“Kau punya uang untuk beli tiket pesawat?”
Ocean mengangguk. “Ayahku memberi uang saku jauh lebih banyak daripada yang dulu diberikan ibuku. Jadi, saldo tabunganku lumayan.”
“Kalau begitu aku ikut.”
Ocean terbelalak. “Apa?”
“Aku tak mungkin membiarkanmu pergi sendiri,” ujar Julian. “Kau, kan, tidak pernah pergi jauh sendirian.”
“Tidak,” tolak Ocean. “Kau akan mendapat masalah kalau ikut denganku.”
“Biar saja,” sahut Julian tak acuh. “Mungkin aku memang sesekali harus membuat masalah. Selama ini aku selalu jadi anak yang baik.”
“Tapi, Ju…”
“Pokoknya kalau kau tetap berkeras pergi, aku ikut. Titik.” Julian berkata tegas.
“Tapi tabunganku tak cukup banyak untuk perjalanan dua orang.” Ocean berbohong, berharap dengan begitu Julian akan mundur. Tapi rupanya ia salah.
“Aku akan membayar biaya perjalananku sendiri,” balas Julian. “Maaf, bukannya sombong, tapi kau tahu aku ini atlet profesional. Tabunganku lebih dari cukup untuk membiayai perjalanan kita berdua.”
Kalau sudah seperti itu, Ocean tak akan bisa membantah lagi.
“Baiklah,” kata Ocean akhirnya. “Sebaiknya kau mulai mengemasi baju hangat. Anchorage sangat dingin di bulan Februari. Kita akan berangkat tiga hari lagi.”
***
Tiga hari kemudian, sepulang sekolah, kedua remaja itu sudah duduk di ruang tunggu Miami International Airport. Mereka benar-benar akan pergi ke Anchorage. Pesawat mereka akan tinggal landas pukul empat sore waktu Miami, sekitar dua puluh menit lagi.
“Apa kau mengatakan sesuatu pada ibumu?” tanya Ocean.
Julian menggeleng. “Aku tak akan ada di sini kalau ibuku tahu.”
“Jadi, kau juga pergi diam-diam?”
“Ya,” Julian mengangguk. “Sama sepertimu.”
“Bagaimana kalau orangtuamu mengira kau diculik? Kau kan surfer profesional.”
“Aku sudah meninggalkan pesan di ruang kerja ibuku,” jelas Julian. “Bagaimana denganmu?”
“Aku juga meninggalkan catatan untuk ayahku,” balas Ocean. “Kuharap dia tidak pulang lebih awal dan menemukan catatan itu sebelum kita pergi. Kalau sampai itu terjadi, dia pasti akan menelepon pihak bandara untuk mencegah kita berangkat. Tapi karena akhir-akhir ini dia lebih sibuk, kurasa dia tak akan pulang sebelum matahari terbenam.”
“Ibuku biasanya baru akan pulang menjelang makan malam. Dan bisa lebih larut kalau ada klien penting. Ayahku sih, tak tentu waktu pulangnya. Tapi dia jarang memasuki ruang kerja ibuku. Jadi, kurasa aku aman,” kata Julian. “Bagaimana dengan ibu tirimu?”
“Kurasa tak akan ada masalah,” Ocean mengedikkan bahu. “Dia akan sangat sibuk dengan desain bajunya untuk persiapan fashion week dan mengurus adikku yang sudah mulai belajar merangkak. Dia tak akan naik ke kamarku sampai makan malam. Dia tak akan menyadari ketidakberadaanku.”
“Lalu, Rio bagaimana?”
“Aku sudah meninggalkan jatah makan tiga kali lebih banyak untuknya. Kalaupun dia menghabiskannya sekaligus dan lapar lagi, dia pasti akan mendatangi Miranda. Akhir-akhir ini mereka lumayan akrab.”
Julian mengangguk mengerti. Dan, obrolan mereka akhirnya terputus saat terdengar pengumuman bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi sebentar lagi berangkat. Keduanya segera menyandang ransel masing-masing dan melangkah beriringan meninggalkan ruang tunggu.
***
“Mana Ocean?” Brian yang sedang menata hidangan terakhir di atas meja makan langsung bertanya begitu Miranda masuk bersama bayi mereka.
“Oh, belum turun, ya?” Miranda balas bertanya. “Mungkin masih di kamarnya. Seharian aku juga tidak melihatnya. Aku bahkan tak melihatnya pulang.” Kening Miranda berkerut ketika menyadari sesuatu. “Aneh sekali,” gumamnya. “Biasanya dia langsung mencari adiknya begitu pulang sekolah. Padahal seharian aku bersama Frodo, tapi Ocean sama sekali tak muncul.”
Brian dan istrinya saling berpandangan. “Akan kucari di kamarnya,” putus Brian seraya meninggalkan ruang makan dan langsung naik ke kamar Ocean.
Raut wajah Brian berubah tegang begitu mendapati kamar putrinya dalam kondisi gelap dan kosong. Ia menekan saklar lampu di samping pintu dan seketika ruangan menjadi terang. Selembar kertas dengan corak dan warna menyolok yang tertempel di kepala ranjang langsung menarik perhatiannya. Dengan langkah panjang, Brian menghampiri ranjang putrinya dan meraih kertas itu.
Dad, I’m sorry. Bukannya aku tidak mau menurut padamu, bukannya aku mau menjadi anak nakal, tapi aku benar-benar harus ke Anchorage. Aku tak bisa mengatakan alasanku kepadamu. Tapi percayalah, aku pergi bukan untuk bersenang-senang.
Aku akan segera kembali setelah urusanku selesai. Sekali lagi, maafkan aku. Dan, tolong jaga Rio.
Ocean
Brian masih tertegun sambil memegang kertas itu saat Miranda tiba-tiba muncul dengan sebuah berita lain, “Letty baru saja menelepon. Katanya Julian tidak pulang dan meninggalkan catatan bahwa dia pergi bersama Ocean ke suatu tempat untuk urusan penting.” Ia menatap Brian bingung. “Memangnya mereka pergi ke mana? Dan untuk urusan penting apa?”
Brian menurunkan tangannya yang masih memegang catatan Ocean dan menatap istrinya. “Anchorage.”
***
Di Miami, bulan Februari berarti matahari bersinar hangat dengan udara yang terasa sangat nyaman. Tapi di Anchorage, bulan Februari berarti musim dingin dengan malam hari lebih panjang dan suhu udara dapat mencapai -150 Celcius. Maka, begitu keluar dari Ted Stevens Anchorage International Airport, Julian yang terbiasa dengan iklim tropis Miami langsung menggigil kedinginan, meskipun ia telah memakai pakaian tebal seperti yang dianjurkan Ocean. Tapi mungkin kurang tebal untuk musim dingin di Anchorage—setidaknya bagi Julian. Beruntung saat ini salju tidak turun. Kalau sedang turun salju, mungkin Julian akan membeku.
“Pakai ini.” Melihat Julian yang tampak kedinginan, Ocean meraih sebuah syal dari dalam ranselnya dan melilitkannya pada leher Julian. “Ini akan sedikit membantu.”
“Terima kasih,” kata Julian yang mulai merasakan sedikit kehangatan. Entah karena syal itu atau karena tubuhnya sudah mulai beradaptasi, atau karena merasakan perhatian Ocean. “Bagaimana denganmu?”
 “Aku tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan udara dingin,” balas Ocean sembari mengunci ranselnya dan menyandangnya di bahu. “Ayo, kita segera ke rumah! Keburu malam.” Ia melangkah ke tepi jalan untuk mencari taksi yang masih banyak melintas.
“Ini kan memang sudah lewat tengah malam,” balas Julian setelah melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. “Tapi di sini masih ramai saja, ya.” Ia menatap sekitarnya dengan mimik heran.
Ocean tertawa. “Dasar bodoh!” ejeknya. “Dini hari, kan, waktu Miami. Di sini masih pukul setengah sebelas malam. Kau harus menyetel ulang jam tanganmu dengan waktu Anchorage.”
“Ah, iya, kau benar! Aku lupa ada perbedaan waktu.” Julian ikut tertawa geli mengingat kekonyolannya.
Ocean hanya memutar matanya sembari menghentikan taksi yang melintas. Keduanya langsung masuk ke bagian belakang taksi, dan sang pengemudi pun langsung melarikan taksinya setelah Ocean mengatakan tujuannya.
Tak sampai lima belas menit, mereka sudah sampai di rumah lama Ocean yang terletak di wilayah Downtown. Hanya berjarak sekitar 6 mil dari bandara.
Ocean menatap bangunan rumahnya dari ujung halaman dan merasakan emosi yang tak bisa dijelaskan. Rumah mungil peninggalan ibunya itu tetap bersih dan terawat meski sudah tak ditinggali selama satu tahun. Dengan perantara Gerald Lewis, Brian membayar seorang pekerja yang datang dua hari sekali untuk merawat dan membersihkan rumah itu beserta seluruh halamannya agar tidak rusak. Karena bagaimanapun, rumah itu adalah tempat Ocean tumbuh. Brian tak ingin Ocean kehilangan tempat penuh kenangan miliknya.
“Ocean! Julian! Akhirnya kalian sampai. Aku cemas sekali menunggu kalian dari tadi.”
Ocean dan Julian hanya bisa terperangah melihat Gerald Lewis menuruni tangga beranda depan dan berlari kecil menyongsong mereka.
***
Ocean merasakan sesuatu merangkak di atas tubuhnya diiringi celotehan kecil yang tak jelas, lalu terdengar suara tirai dibuka disusul bunyi engsel jendela yang diregangkan. Ocean membuka matanya dan langsung menangkap wajah mungil Frodo tengah tertawa riang tepat di depan wajahnya. Ia mengedip-ngedipkan matanya seolah memastikan apakah ia masih berada di alam mimpi.
“Selamat pagi!” Sebuah suara dari arah jendela membuat Ocean tersentak. Ia langsung menoleh dan melihat ayahnya dengan latar belakang matahari yang belum benar-benar terbit.
“Dad?” Ocean bangkit sambil mendekap tubuh adiknya yang masih terus berceloteh dengan bahasa alien. “Kenapa kau di sini?”
“Tentu saja menyusulmu,” Brian melangkah menghampiri putrinya. “Kau membuatku sangat khawatir, anak nakal.”
“Maaf,” kata Ocean tulus. “Tapi aku benar-benar harus kemari.”
“Aku tahu,” balas Brian sembari duduk di tepi ranjang Ocean. “Maaf, aku benar-benar lupa. Kenapa kau tak mengatakannya?”
“Aku hanya…” Ocean tak melanjutkan kalimatnya.
“Kau takut menyakiti Miranda?”
Ocean mengangguk pelan.
“Sayang, Miranda sudah lama tak cemburu lagi pada ibumu. Bahkan dia yang mengingatkanku kalau hari ini tepat satu tahun ibumu meninggal. Masa kau tidak bisa melihatnya?”
Ocean mengedikkan bahu pelan dan sekali lagi meminta maaf. “Jadi, kalian semua menyusulku kemari?” tanyanya mengalihkan. “Sampai mengajak Frodo segala?”
“Ya. Dan Leticia.”
“Eh? Ibu Julian juga?”
Brian mengangguk. “Kau tahu kan, Miranda dan Letty teman lama ibumu. Mereka juga ingin mengunjungi makamnya.”
“Oh, begitu,” gumam Ocean. “Kapan kalian datang? Kok, aku tidak tahu?”
“Sekitar pukul empat dini hari tadi. Kau masih tidur.”
Ocean kembali mengangguk-angguk. “Lalu, kalau semua ada di sini, bagaimana dengan Rio?”
“Tak usah khawatir. Rio kutitipkan pada Tom. Dia akan menjaganya dengan baik,” jelas Brian. Ocean tampak bernapas lega.
“Sudahlah, ayo cepat bersiap-siap! Sudah pukul sembilan. Kita akan segera berangkat selepas sarapan.” Brian meraih Frodo dari dekapan Ocean, lalu bangkit dan melangkah pergi. “Oh ya,” ia berbalik saat mencapai ambang pintu. “Kau dihukum.” Lalu kembali melangkah meninggalkan kamar putrinya.
Ocean hanya menatap tak percaya punggung ayahnya yang semakin menjauh.
***
Ocean meletakkan buket bunga anyelir di kepala makam ibunya. “Aku pergi dulu ya, Mom,” ia berpamitan. Ia dan rombongannya sampai di pemakaman yang hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya itu sekitar setengah jam yang lalu. Setelah bergantian berbicara pada makam Tiara dan berdoa untuk ketenangannya, Brian dan lainnya memutuskan pergi lebih dulu dan menunggu di luar pemakaman, memberi Ocean kesempatan untuk berdua dengan ibunya beberapa saat lagi. “Mom tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Dad dan Miranda menjagaku dengan sangat baik. Dan untuk selanjutnya, aku akan lebih sering datang. Dad berjanji akan mengantarku kemari kapan pun aku ingin mengunjungimu. Jadi, Mom tenang saja di sana. Bye, Mom! I love you.” Ocean mencium nisan ibunya, lalu bangkit dan berjalan pergi. Ayahnya menunggu di pintu gerbang pamakaman.
“Sudah selesai?” tanya Brian saat putrinya mendekat.
“Ya.” Ocean mengangguk dan berjalan beriringan dengan ayahnya ke luar pemakaman.
“Sebenarnya saat itu aku berniat menghadiri pemakaman ibumu,” mulai Brian. “Tapi aku terlalu gugup.”
Ocean menengadah menatap ayahnya. “Gugup?”
“Yeah, aku merasa begitu gugup hanya dengan memikirkan akan bertemu denganmu. Saat itu, entah kenapa, aku merasa begitu ketakutan. Aku juga merasa bersalah pada Tiara,” kata Brian. “Akhirnya aku memutuskan tak pergi dan fokus mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk menyambut kedatanganmu sembari menenangkan perasaanku. Aku… minta maaf tentang itu. Juga karena aku tak berada di sisi kalian saat ibumu sakit.”
Ocean tersenyum dan menggenggam tangan ayahnya. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Lagi pula, itu bukan salahmu.”
***
“Eh, jadi kau juga dihukum?” Ocean memalingkan pandangan dari matahari yang sudah terbenam sepenuhnya dan menatap Julian kaget, setelah cowok itu bercerita kalau ia dihukum ibunya karena pergi tanpa izin. “Maaf ya, aku membuatmu mendapat masalah.”
“Bukan salahmu,” Julian tersenyum. “Aku, kan, yang memaksa ikut. Lagi pula, aku sudah bilang, sesekali aku perlu berbuat nakal. Sebagai remaja, rasanya kurang normal kalau tak pernah dihukum.”
Ocean tertawa kecil. “Jadi, bagaimana rasanya dihukum?”
“Biasa saja,” jawab Julian. “By the way, aku punya sesuatu untukmu.” Julian meraih sesuatu dari balik punggungnya, sementara Ocean mengernyit penasaran. Dan kernyitan itu berubah jadi tatapan tak percaya begitu tahu ternyata sesuatu itu adalah sekotak cokelat dengan pita merah muda di atasnya.
“Happy Valentine,” kata Julian sembari menyerahkan kotak cokelat itu pada Ocean.
Ocean tersenyum dan menerima hadiah yang tak pernah disangkanya itu. “Terima kasih,” katanya. “Maaf, aku tak menyiapkan hadiah untukmu. Aku sama sekali tak memikirkan Valentine.”
“Aku tahu. Tidak apa-apa. Tapi—” Julian menyeringai, “—sebuah kecupan kupikir boleh juga.”
“Ehem!”
Suara deheman keras dari arah belakang sontak membuat tubuh Julian menegang. Perlahan ia berbalik dan melihat Brian melangkah menghampiri mereka. “Hai, Mr. Walker! Kau mau cokelat?” tawarnya gugup sembari meraih kotak cokelat dari tangan Ocean dan mengangsurkannya pada Brian.
Tapi Brian tak menggubris tawaran itu. Ia hanya berkata, “Sebaiknya kalian masuk. Makan malam sudah siap,” dengan nada dingin, lalu berbalik pergi setelah menghujamkan lirikan tajam pada Julian.
“Julian kembali bisa bernapas lega. “Aku baru ingat kalau ayahmu sangat menyeramkan,” katanya sembari mengembalikan cokelat milik Ocean. Sementara Ocean hanya terkikik geli melihat reaksinya.
“Sudah, ayo kita masuk saja. Sebelum ayahku kembali dengan membawa senapan,” kata Ocean akhirnya seraya bangkit berdiri.
“Ha, ha, lucu sekali.” Julian mencebik sembari mengikuti Ocean yang sudah berjalan melintasi halaman belakang menuju rumah. Tapi sebelum mencapai tangga beranda, gadis itu berhenti. Julian ikut menghentikan langkahnya dan bertanya, “Kenapa?”
Ocean berbalik menatapnya dan tersenyum, lalu berjinjit dan mencium pipinya. “Happy Valentine,” bisiknya, lalu cepat-cepat melangkah menaiki tangga dan menghilang di balik pintu dapur.
Julian yang masih kaget perlahan menyentuh pipinya. Setelah sadar, ia tersenyum lebar dan kembali melanjutkan langkahnya. Meski singkat, kecupan tadi secara ajaib memberikan efek hangat ke sekujur tubuhnya.

Cepi R. Dini



0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates