Hai, saya datang lagi :D
Meski mungkin nggak ada yang nunggu juga, sih. Hehe ^^v
Kali ini, saya membawa cerita tentang Ocean lagi. Bisa dibilang, semacam sequel gitu, lah. Singkat aja, kok. Cuma cerita pendek.
Selamat membaca!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bulan Februari adalah
bulan cinta. Bulan di mana setiap orang berlomba-lomba menunjukkan perasaannya
pada orang yang disayangi dengan memberi cokelat atau bunga. Setidaknya
begitulah yang terjadi di sekeliling Ocean. Hampir seluruh siswa Miami Senior
High School—terutama yang perempuan—sangat bersemangat menyambut datangnya hari
Valentine, meski hari besar itu masih satu minggu lagi. Beberapa cewek yang
tergolong siswa populer malah saling bertaruh siapa yang nanti mendapat cokelat
dan bunga paling banyak. Seolah banyaknya cokelat atau bunga yang mereka terima
menjadi bukti banyaknya orang yang menyayangi mereka. Padahal, kan, kasih
sayang tak sebatas pada cokelat atau bunga.
Mungkin Ocean hanya
satu dari sedikit siswa yang tak begitu antusias menyambut hari kasih sayang
itu. Tanggal 14 Februari memiliki makna lain bagi Ocean. Karena di tanggal
itulah ia kehilangan ibunya.
Bukan berarti Ocean
membenci hari Valentine. Tidak! Ia sama sekali tak membenci hari Valentine. Tak
ada yang patut dibenci atau dipersalahkan atas kematian ibunya. Hanya saja,
saat ini ia memikirkan hal lain yang lebih penting, alih-alih memikirkan hadiah
apa yang akan diberikan kepada siapa atau yang akan ia terima dari siapa saat hari
Valentine nanti.
***
“Eh, jadi ibumu
meninggal saat Valentine?” Julian meletakkan kembali sandwich kalkun yang hampir memasuki mulutnya.
“Begitulah.”
“Oh, aku baru tahu
itu,” gumam Julian. “Aku ingat bertemu denganmu awal Maret,” tambahnya sembari
menggigit makan siangnya.
“Ya, aku datang kemari
dua minggu setelah kematian ibuku,” balas Ocean. “Sekitar satu minggu setelah
pemakamannya.”
“Jadi, tanggal 14 nanti
tepat satu tahun kepergian ibumu. Apa hal itu membuatmu membenci Valentine?”
“Tentu saja tidak,”
sanggah Ocean. “Memangnya siapa yang bisa membenci cokelat dan bunga?”
“Syukurlah,” gumam
Julian lirih.
Ocean mengerutkan
kening. “Kenapa?”
Julian menggeleng
gugup. “Nothing,” sahutnya cepat. “Lalu,
apa kau akan mengunjungi makamnya?” tanyanya mengalihkan.
Ocean mengangguk. “Tentu.”
“Ayahmu akan
mengantarmu?”
Ocean menggeleng pelan.
“Dia bahkan tak mengizinkanku pergi.”
Sandwich
yang sudah setengah jalan menuju mulut Julian untuk menerima gigitan kedua, lagi-lagi
terpaksa diturunkan. “Kenapa?”
“Katanya aku harus
sekolah,” jawab Ocean. “Karena sudah kelas 12 dan dalam persiapan masuk kuliah,
aku tak boleh bolos.”
“Kau sudah bilang kalau
kau mau pergi untuk mengunjungi makam ibumu?”
Ocean menggeleng. “Aku
tidak mau membuat Miranda terluka,” katanya. “Meskipun saat ini dia bersikap sangat
baik padaku, tapi itu bukan jaminan dia sudah tak cemburu pada mendiang ibuku.
Lagi pula, seharusnya ayahku tahu ada apa di tanggal 14. Selain Valentine,
tentunya. Dia bukan tipe orang yang peduli dengan Valentine.”
“Mungkin dia lupa.”
Ocean mengedikkan bahu.
“Yeah, mungkin saja. Akhir-akhir ini dia sangat sibuk. Mungkin terlalu banyak
hal yang harus diingatnya.”
“Jadi, kau akan tetap
pergi meski ayahmu tak mengizinkan?”
Ocean mengangguk.
“Tentu saja.”
Julian mendesah berat.
“Kau akan pergi diam-diam? Lagi?”
“Tapi ini berbeda, Ju,”
balas Ocean. “Kali ini aku pergi bukan untuk bersenang-senang. Aku pergi karena
harus.”
“Tapi Anchorage sangat
jauh.”
“Anchorage hanya sebuah
kota di negara bagian lain,” kilah Ocean. “Beberapa remaja bahkan pernah pergi
ke luar negeri sendirian.”
“Tapi, kan, tidak
banyak,” Julian kembali membantah. “Dan, mereka juga tidak pergi tanpa izin
orangtua.”
“Aku sudah berusaha
minta izin, tapi ditolak.”
“Mungkin ayahmu akan
mengizinkan kalau kau mengatakan tujuanmu yang sebenarnya.”
Ocean diam. Mungkin
Julian benar, tapi… “Pokoknya aku akan tetap pergi.” Ia memutuskan.
“Kau punya uang untuk
beli tiket pesawat?”
Ocean mengangguk.
“Ayahku memberi uang saku jauh lebih banyak daripada yang dulu diberikan ibuku.
Jadi, saldo tabunganku lumayan.”
“Kalau begitu aku
ikut.”
Ocean terbelalak.
“Apa?”
“Aku tak mungkin
membiarkanmu pergi sendiri,” ujar Julian. “Kau, kan, tidak pernah pergi jauh
sendirian.”
“Tidak,” tolak Ocean.
“Kau akan mendapat masalah kalau ikut denganku.”
“Biar saja,” sahut Julian
tak acuh. “Mungkin aku memang sesekali harus membuat masalah. Selama ini aku
selalu jadi anak yang baik.”
“Tapi, Ju…”
“Pokoknya kalau kau
tetap berkeras pergi, aku ikut. Titik.” Julian berkata tegas.
“Tapi tabunganku tak
cukup banyak untuk perjalanan dua orang.” Ocean berbohong, berharap dengan
begitu Julian akan mundur. Tapi rupanya ia salah.
“Aku akan membayar
biaya perjalananku sendiri,” balas Julian. “Maaf, bukannya sombong, tapi kau
tahu aku ini atlet profesional. Tabunganku lebih dari cukup untuk membiayai
perjalanan kita berdua.”
Kalau sudah seperti
itu, Ocean tak akan bisa membantah lagi.
“Baiklah,” kata Ocean
akhirnya. “Sebaiknya kau mulai mengemasi baju hangat. Anchorage sangat dingin
di bulan Februari. Kita akan berangkat tiga hari lagi.”
***
Tiga hari kemudian,
sepulang sekolah, kedua remaja itu sudah duduk di ruang tunggu Miami
International Airport. Mereka benar-benar akan pergi ke Anchorage. Pesawat mereka
akan tinggal landas pukul empat sore waktu Miami, sekitar dua puluh menit lagi.
“Apa kau mengatakan
sesuatu pada ibumu?” tanya Ocean.
Julian menggeleng. “Aku
tak akan ada di sini kalau ibuku tahu.”
“Jadi, kau juga pergi
diam-diam?”
“Ya,” Julian
mengangguk. “Sama sepertimu.”
“Bagaimana kalau
orangtuamu mengira kau diculik? Kau kan surfer
profesional.”
“Aku sudah meninggalkan
pesan di ruang kerja ibuku,” jelas Julian. “Bagaimana denganmu?”
“Aku juga meninggalkan
catatan untuk ayahku,” balas Ocean. “Kuharap dia tidak pulang lebih awal dan
menemukan catatan itu sebelum kita pergi. Kalau sampai itu terjadi, dia pasti
akan menelepon pihak bandara untuk mencegah kita berangkat. Tapi karena
akhir-akhir ini dia lebih sibuk, kurasa dia tak akan pulang sebelum matahari
terbenam.”
“Ibuku biasanya baru
akan pulang menjelang makan malam. Dan bisa lebih larut kalau ada klien
penting. Ayahku sih, tak tentu waktu pulangnya. Tapi dia jarang memasuki ruang
kerja ibuku. Jadi, kurasa aku aman,” kata Julian. “Bagaimana dengan ibu
tirimu?”
“Kurasa tak akan ada
masalah,” Ocean mengedikkan bahu. “Dia akan sangat sibuk dengan desain bajunya
untuk persiapan fashion week dan
mengurus adikku yang sudah mulai belajar merangkak. Dia tak akan naik ke
kamarku sampai makan malam. Dia tak akan menyadari ketidakberadaanku.”
“Lalu, Rio bagaimana?”
“Aku sudah meninggalkan
jatah makan tiga kali lebih banyak untuknya. Kalaupun dia menghabiskannya
sekaligus dan lapar lagi, dia pasti akan mendatangi Miranda. Akhir-akhir ini
mereka lumayan akrab.”
Julian mengangguk
mengerti. Dan, obrolan mereka akhirnya terputus saat terdengar pengumuman bahwa
pesawat yang akan mereka tumpangi sebentar lagi berangkat. Keduanya segera
menyandang ransel masing-masing dan melangkah beriringan meninggalkan ruang
tunggu.
***
“Mana Ocean?” Brian
yang sedang menata hidangan terakhir di atas meja makan langsung bertanya
begitu Miranda masuk bersama bayi mereka.
“Oh, belum turun, ya?”
Miranda balas bertanya. “Mungkin masih di kamarnya. Seharian aku juga tidak
melihatnya. Aku bahkan tak melihatnya pulang.” Kening Miranda berkerut ketika
menyadari sesuatu. “Aneh sekali,” gumamnya. “Biasanya dia langsung mencari
adiknya begitu pulang sekolah. Padahal seharian aku bersama Frodo, tapi Ocean
sama sekali tak muncul.”
Brian dan istrinya
saling berpandangan. “Akan kucari di kamarnya,” putus Brian seraya meninggalkan
ruang makan dan langsung naik ke kamar Ocean.
Raut wajah Brian
berubah tegang begitu mendapati kamar putrinya dalam kondisi gelap dan kosong.
Ia menekan saklar lampu di samping pintu dan seketika ruangan menjadi terang.
Selembar kertas dengan corak dan warna menyolok yang tertempel di kepala
ranjang langsung menarik perhatiannya. Dengan langkah panjang, Brian
menghampiri ranjang putrinya dan meraih kertas itu.
Dad, I’m
sorry. Bukannya aku tidak mau menurut
padamu, bukannya aku mau menjadi anak nakal, tapi aku benar-benar harus ke
Anchorage. Aku tak bisa mengatakan alasanku kepadamu. Tapi percayalah, aku
pergi bukan untuk bersenang-senang.
Aku
akan segera kembali setelah urusanku selesai. Sekali lagi, maafkan aku. Dan,
tolong jaga Rio.
Ocean
Brian masih tertegun sambil memegang kertas itu saat
Miranda tiba-tiba muncul dengan sebuah berita lain, “Letty baru saja menelepon.
Katanya Julian tidak pulang dan meninggalkan catatan bahwa dia pergi bersama
Ocean ke suatu tempat untuk urusan penting.” Ia menatap Brian bingung.
“Memangnya mereka pergi ke mana? Dan untuk urusan penting apa?”
Brian menurunkan
tangannya yang masih memegang catatan Ocean dan menatap istrinya. “Anchorage.”
***
Di Miami, bulan
Februari berarti matahari bersinar hangat dengan udara yang terasa sangat
nyaman. Tapi di Anchorage, bulan Februari berarti musim dingin dengan malam
hari lebih panjang dan suhu udara dapat mencapai -150 Celcius. Maka,
begitu keluar dari Ted Stevens Anchorage International Airport, Julian yang
terbiasa dengan iklim tropis Miami langsung menggigil kedinginan, meskipun ia
telah memakai pakaian tebal seperti yang dianjurkan Ocean. Tapi mungkin kurang
tebal untuk musim dingin di Anchorage—setidaknya bagi Julian. Beruntung saat
ini salju tidak turun. Kalau sedang turun salju, mungkin Julian akan membeku.
“Pakai ini.” Melihat
Julian yang tampak kedinginan, Ocean meraih sebuah syal dari dalam ranselnya
dan melilitkannya pada leher Julian. “Ini akan sedikit membantu.”
“Terima kasih,” kata
Julian yang mulai merasakan sedikit kehangatan. Entah karena syal itu atau
karena tubuhnya sudah mulai beradaptasi, atau karena merasakan perhatian Ocean.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan
udara dingin,” balas Ocean sembari mengunci ranselnya dan menyandangnya di bahu.
“Ayo, kita segera ke rumah! Keburu malam.” Ia melangkah ke tepi jalan untuk
mencari taksi yang masih banyak melintas.
“Ini kan memang sudah
lewat tengah malam,” balas Julian setelah melihat jam tangannya yang
menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. “Tapi di sini masih ramai saja, ya.”
Ia menatap sekitarnya dengan mimik heran.
Ocean tertawa. “Dasar
bodoh!” ejeknya. “Dini hari, kan, waktu Miami. Di sini masih pukul setengah
sebelas malam. Kau harus menyetel ulang jam tanganmu dengan waktu Anchorage.”
“Ah, iya, kau benar!
Aku lupa ada perbedaan waktu.” Julian ikut tertawa geli mengingat
kekonyolannya.
Ocean hanya memutar
matanya sembari menghentikan taksi yang melintas. Keduanya langsung masuk ke
bagian belakang taksi, dan sang pengemudi pun langsung melarikan taksinya
setelah Ocean mengatakan tujuannya.
Tak sampai lima belas
menit, mereka sudah sampai di rumah lama Ocean yang terletak di wilayah Downtown. Hanya berjarak sekitar 6 mil
dari bandara.
Ocean menatap bangunan
rumahnya dari ujung halaman dan merasakan emosi yang tak bisa dijelaskan. Rumah
mungil peninggalan ibunya itu tetap bersih dan terawat meski sudah tak
ditinggali selama satu tahun. Dengan perantara Gerald Lewis, Brian membayar
seorang pekerja yang datang dua hari sekali untuk merawat dan membersihkan
rumah itu beserta seluruh halamannya agar tidak rusak. Karena bagaimanapun,
rumah itu adalah tempat Ocean tumbuh. Brian tak ingin Ocean kehilangan tempat
penuh kenangan miliknya.
“Ocean! Julian!
Akhirnya kalian sampai. Aku cemas sekali menunggu kalian dari tadi.”
Ocean dan Julian hanya
bisa terperangah melihat Gerald Lewis menuruni tangga beranda depan dan berlari
kecil menyongsong mereka.
***
Ocean merasakan sesuatu
merangkak di atas tubuhnya diiringi celotehan kecil yang tak jelas, lalu
terdengar suara tirai dibuka disusul bunyi engsel jendela yang diregangkan.
Ocean membuka matanya dan langsung menangkap wajah mungil Frodo tengah tertawa
riang tepat di depan wajahnya. Ia mengedip-ngedipkan matanya seolah memastikan
apakah ia masih berada di alam mimpi.
“Selamat pagi!” Sebuah
suara dari arah jendela membuat Ocean tersentak. Ia langsung menoleh dan
melihat ayahnya dengan latar belakang matahari yang belum benar-benar terbit.
“Dad?” Ocean bangkit
sambil mendekap tubuh adiknya yang masih terus berceloteh dengan bahasa alien.
“Kenapa kau di sini?”
“Tentu saja
menyusulmu,” Brian melangkah menghampiri putrinya. “Kau membuatku sangat
khawatir, anak nakal.”
“Maaf,” kata Ocean
tulus. “Tapi aku benar-benar harus kemari.”
“Aku tahu,” balas Brian
sembari duduk di tepi ranjang Ocean. “Maaf, aku benar-benar lupa. Kenapa kau
tak mengatakannya?”
“Aku hanya…” Ocean tak
melanjutkan kalimatnya.
“Kau takut menyakiti
Miranda?”
Ocean mengangguk pelan.
“Sayang, Miranda sudah
lama tak cemburu lagi pada ibumu. Bahkan dia yang mengingatkanku kalau hari ini
tepat satu tahun ibumu meninggal. Masa kau tidak bisa melihatnya?”
Ocean mengedikkan bahu
pelan dan sekali lagi meminta maaf. “Jadi, kalian semua menyusulku kemari?”
tanyanya mengalihkan. “Sampai mengajak Frodo segala?”
“Ya. Dan Leticia.”
“Eh? Ibu Julian juga?”
Brian mengangguk. “Kau
tahu kan, Miranda dan Letty teman lama ibumu. Mereka juga ingin mengunjungi
makamnya.”
“Oh, begitu,” gumam
Ocean. “Kapan kalian datang? Kok, aku tidak tahu?”
“Sekitar pukul empat dini
hari tadi. Kau masih tidur.”
Ocean kembali
mengangguk-angguk. “Lalu, kalau semua ada di sini, bagaimana dengan Rio?”
“Tak usah khawatir. Rio
kutitipkan pada Tom. Dia akan menjaganya dengan baik,” jelas Brian. Ocean
tampak bernapas lega.
“Sudahlah, ayo cepat
bersiap-siap! Sudah pukul sembilan. Kita akan segera berangkat selepas
sarapan.” Brian meraih Frodo dari dekapan Ocean, lalu bangkit dan melangkah
pergi. “Oh ya,” ia berbalik saat mencapai ambang pintu. “Kau dihukum.” Lalu
kembali melangkah meninggalkan kamar putrinya.
Ocean hanya menatap tak
percaya punggung ayahnya yang semakin menjauh.
***
Ocean meletakkan buket bunga anyelir di kepala makam
ibunya. “Aku pergi dulu ya, Mom,” ia berpamitan. Ia dan rombongannya sampai di
pemakaman yang hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya itu sekitar setengah
jam yang lalu. Setelah bergantian berbicara pada makam Tiara dan berdoa untuk
ketenangannya, Brian dan lainnya memutuskan pergi lebih dulu dan menunggu di
luar pemakaman, memberi Ocean kesempatan untuk berdua dengan ibunya beberapa
saat lagi. “Mom tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Dad dan
Miranda menjagaku dengan sangat baik. Dan untuk selanjutnya, aku akan lebih
sering datang. Dad berjanji akan mengantarku kemari kapan pun aku ingin mengunjungimu.
Jadi, Mom tenang saja di sana. Bye,
Mom! I love you.” Ocean mencium nisan
ibunya, lalu bangkit dan berjalan pergi. Ayahnya menunggu di pintu gerbang
pamakaman.
“Sudah selesai?” tanya
Brian saat putrinya mendekat.
“Ya.” Ocean mengangguk
dan berjalan beriringan dengan ayahnya ke luar pemakaman.
“Sebenarnya saat itu
aku berniat menghadiri pemakaman ibumu,” mulai Brian. “Tapi aku terlalu gugup.”
Ocean menengadah
menatap ayahnya. “Gugup?”
“Yeah, aku merasa
begitu gugup hanya dengan memikirkan akan bertemu denganmu. Saat itu, entah
kenapa, aku merasa begitu ketakutan. Aku juga merasa bersalah pada Tiara,” kata
Brian. “Akhirnya aku memutuskan tak pergi dan fokus mempersiapkan semua yang
dibutuhkan untuk menyambut kedatanganmu sembari menenangkan perasaanku. Aku…
minta maaf tentang itu. Juga karena aku tak berada di sisi kalian saat ibumu
sakit.”
Ocean tersenyum dan
menggenggam tangan ayahnya. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Lagi pula, itu bukan
salahmu.”
***
“Eh, jadi kau juga
dihukum?” Ocean memalingkan pandangan dari matahari yang sudah terbenam
sepenuhnya dan menatap Julian kaget, setelah cowok itu bercerita kalau ia
dihukum ibunya karena pergi tanpa izin. “Maaf ya, aku membuatmu mendapat masalah.”
“Bukan salahmu,” Julian
tersenyum. “Aku, kan, yang memaksa ikut. Lagi pula, aku sudah bilang, sesekali aku
perlu berbuat nakal. Sebagai remaja, rasanya kurang normal kalau tak pernah
dihukum.”
Ocean tertawa kecil.
“Jadi, bagaimana rasanya dihukum?”
“Biasa saja,” jawab
Julian. “By the way, aku punya
sesuatu untukmu.” Julian meraih sesuatu dari balik punggungnya, sementara Ocean
mengernyit penasaran. Dan kernyitan itu berubah jadi tatapan tak percaya begitu
tahu ternyata sesuatu itu adalah sekotak cokelat dengan pita merah muda di
atasnya.
“Happy Valentine,” kata
Julian sembari menyerahkan kotak cokelat itu pada Ocean.
Ocean tersenyum dan menerima
hadiah yang tak pernah disangkanya itu. “Terima kasih,” katanya. “Maaf, aku tak
menyiapkan hadiah untukmu. Aku sama sekali tak memikirkan Valentine.”
“Aku tahu. Tidak
apa-apa. Tapi—” Julian menyeringai, “—sebuah kecupan kupikir boleh juga.”
“Ehem!”
Suara deheman keras
dari arah belakang sontak membuat tubuh Julian menegang. Perlahan ia berbalik
dan melihat Brian melangkah menghampiri mereka. “Hai, Mr. Walker! Kau mau
cokelat?” tawarnya gugup sembari meraih kotak cokelat dari tangan Ocean dan
mengangsurkannya pada Brian.
Tapi Brian tak
menggubris tawaran itu. Ia hanya berkata, “Sebaiknya kalian masuk. Makan malam
sudah siap,” dengan nada dingin, lalu berbalik pergi setelah menghujamkan
lirikan tajam pada Julian.
“Julian kembali bisa
bernapas lega. “Aku baru ingat kalau ayahmu sangat menyeramkan,” katanya
sembari mengembalikan cokelat milik Ocean. Sementara Ocean hanya terkikik geli
melihat reaksinya.
“Sudah, ayo kita masuk
saja. Sebelum ayahku kembali dengan membawa senapan,” kata Ocean akhirnya seraya
bangkit berdiri.
“Ha, ha, lucu sekali.”
Julian mencebik sembari mengikuti Ocean yang sudah berjalan melintasi halaman
belakang menuju rumah. Tapi sebelum mencapai tangga beranda, gadis itu
berhenti. Julian ikut menghentikan langkahnya dan bertanya, “Kenapa?”
Ocean berbalik
menatapnya dan tersenyum, lalu berjinjit dan mencium pipinya. “Happy
Valentine,” bisiknya, lalu cepat-cepat melangkah menaiki tangga dan menghilang
di balik pintu dapur.
Julian yang masih kaget
perlahan menyentuh pipinya. Setelah sadar, ia tersenyum lebar dan kembali
melanjutkan langkahnya. Meski singkat, kecupan tadi secara ajaib memberikan
efek hangat ke sekujur tubuhnya.
Cepi
R. Dini
0 komentar:
Posting Komentar