Aku
menatap undangan pernikahan yang baru kuterima di tanganku. Sebuah nama yang
dulu pernah singgah di hatiku dan menghiasi hari-hariku terukir indah di dalam
undangan itu. Henry Irawan. Lelaki tampan berwajah oriental yang sangat baik
hati dan pendiam. Sosok sempurna yang pernah kucintai, namun tak dapat
kumiliki.
Masih
teringat jelas dalam benakku masa-masa indahku bersamanya. Aku bahkan masih
sangat mengingat saat pertama aku mengenalnya secara langsung.
Aku
berdiri di dekat pintu keluar gedung olahraga tempat dilangsungkannya kompetisi
badminton antar klub di Indonesia. Aku berdiri tegang sambil mendekap erat buku
agendaku di dada. Sesekali kulongokkan kepalaku ke dalam ruangan, menanti
dengan harap-harap cemas kemunculan sosok Henry Irawan, atlet badminton
favoritku. Lelaki tampan berwajah oriental yang biasa dipanggil Koko Henry oleh
semua penggemar wanitanya.
Tak
lama, sosok yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul. Ia berjalan santai sambil
ngobrol-ngobrol dengan rekannya Mario Kristian. Kurasakan jantungku berdebar semakin
kencang. Aku menarik napas panjang saat sosok itu semakin mendekat. Aku hampir
tak bisa bergerak ketika sosok itu melangkah di depanku. Tapi aku buru-buru
tersadar dan menguatkan hatiku untuk memanggil lelaki tampan itu. “Koko Henry!”
aku berseru sebelum sosok itu berjalan semakin menjauh. Percuma saja aku
menunggu hampir satu jam kalau pada akhirnya tetap tidak berani menghampirinya,
untuk sekedar minta tanda tangan atau foto bersama.
Koko
Henry menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku.
Dengan
jantung masih berdebar sangat kencang, aku memaksakan langkahku mendekati
lelaki tampan itu. “Ehm… maaf, boleh… minta… tanda tangan?” aku bertanya
terbata sesampai di hadapannya.
Lelaki
itu menatapku dan tersenyum ramah. “Tentu saja boleh,” sahutnya santai. “Di
mana aku harus tanda tangan?” tanyanya.
Aku
buru-buru menyerahkan buku agenda yang sedari tadi kudekap erat di dadaku.
Kubukakan halaman di mana banyak terdapat fotonya dan menyerahkan sebuah
bolpoin gel berwarna merah padanya.
“Di sini,” jawabku sambil menunjuk bagian bawah foto dirinya yang paling keren.
Koko
Henry meraih agenda dan bolpoin itu dari tanganku dan membubuhkan tanda
tangannya di tempat yang kutunjukkan. “Nggak usah terlalu tegang begitu. Aku nggak
gigit, kok,” ujarnya santai seraya menyerahkan kembali buku agendaku.
“A…
iya… aku… ehm… terima kasih,” balasku seraya menerima buku agendaku dari
tangannya. Jantungku masih berdebar sangat kencang.
“Lho,
cuma Henry saja? Aku nggak dimintai tanda tangan?” Mario Kristian, pasangan
ganda Koko Henry tiba-tiba nyeletuk. Meski belum kenal secara langsung, aku biasa
menyebutnya Kak Mario.
“Ah…
i… iya. Kak Mario juga tanda tangan, ya!” aku buru-buru menyerahkan buku
agendaku pada lelaki bertubuh gempal yang terkenal humoris itu.
“Aku cuma bercanda,” katanya sambil tertawa. “Kalau
memang nggak pengin tanda tanganku juga nggak apa-apa, kok. Aku nggak maksa.”
“Justru
suatu kehormatan kalau Kak Mario mau membubuhkan tanda tangan di buku
agendaku,” sahutku dengan jantung yang mulai berdetak normal. Gaya Kak Mario
yang begitu bersahabat mampu meredakan kegugupanku.
“Kalau
begitu dengan senang hati aku akan membubuhkan tanda tanganku,” balas Kak Mario
seraya meraih buku agendaku dan mulai membubuhkan tanda tangan di tempat mana
pun yang ia suka. Tak lama, ia menyerahkan kembali buku agenda itu padaku.
“Terima
kasih,” ucapku seraya menerima buku agenda itu dan menutupnya. “Ehm…” aku tak
meneruskan kata-kataku.
“Ada
lagi?” tanya Koko Henry.
Aku
menggeleng. “Nggak, deh. Nggak jadi,” sahutku. “Terima kasih banyak atas tanda
tangannya,” ucapku formal.
“Lho,
kok nggak jadi? Ada apa sih?” tanya Koko Henry. “Ngomong aja!”
Aku
tak langsung menjawab. Berpikir sejenak, kemudian memutuskan mengutarakan
maksud yang tertunda tadi. “Boleh… minta foto bareng, nggak?” tanyaku
hati-hati. “Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, kok!” aku buru-buru
menambahkan.
Tawa
Kak Mario meledak. Bahkan Koko Henry yang terkenal pendiam dan jarang
mununjukkan ekspresi terlihat tertawa geli, meski tertawanya tak sekeras Kak
Mario. “Jadi itu yang mau kamu bilang tadi?” tanya Kak Mario setelah tawanya
mereda.
Aku
mengangguk pelan. Aku tak tahu harus merasa malu atau bagaimana. Suatu
pengalaman baru bagiku ditertawakan idolaku sendiri.
“Ya
ampun, kamu tuh lucu banget, ya!” ucap Kak Mario lagi. “Masa bilang begitu saja
nggak berani?”
Aku
semakin tak tahu harus berkata apa. Rupanya bagi dua orang itu, seorang
penggemar meminta foto bersama adalah hal yang sangat biasa. Mungkin bagi
mereka aku adalah penggemar paling aneh yang pernah mereka jumpai.
“Ya
sudah, ayo kita foto bareng!” Koko Henry menengahi.
Aku
langsung meraih kamera digital dari
dalam tas kecil yang tersampir di pundakku dan mulai berfoto bersama dua orang
itu. “Terima kasih,” ucapku setelah acara pemotretan selesai.
“Sama-sama,”
balas keduanya bersamaan.
“Kalau
begitu, aku pergi dulu. Permisi.” Aku berpamitan seraya berbalik pergi.
“Tunggu!”
Koko Henry mendadak berseru.
Aku
menghentikan langkahku dan kembali berbalik. “Ya?”
“Siapa
namamu?” Koko Henry bertanya.
“Ehm…
aku… Cindi,” jawabku.
“Kamu
besok nonton lagi?”
Aku
mengangguk. “Rencananya sih begitu,” sahutku. Aku tak mengerti kenapa Koko
Henry menanyakan itu.
Koko
Henry mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menyerahkan padaku. “Ini
buat kamu,”
Aku
meraih benda yang tampak seperti kartu itu dari tangan Koko Henry dengan perasaan
bingung. “Apa ini?”
“Kartu
free pass,” sahut Koko Henry. “Kamu
bisa bebas masuk di ruang VVIP dengan kartu itu.”
Aku
terbelalak tak percaya mendengar penjelasan Koko Henry. Aku menatapnya dengan
pandangan terkejut dan bertanya-tanya.
“Aku
tunggu kehadiranmu besok,” ucapnya sambil tersenyum manis dan melangkah pergi
bersama Kak Mario.
“Bye,
Cindi!” Kak Mario berseru riang. Kedua sosok itu semakin menjauh dari
hadapanku.
Aku
masih terdiam di tempatku berdiri. Masih belum sepenuhnya percaya atas apa yang
telah terjadi. Aku menatap kartu free
pass pemberian Koko Henry di tanganku dan menyadari semua itu bukan mimpi.
Setelah
pertemuan pertama itu, hubunganku dengan Koko Henry dan Kak Mario memang
menjadi dekat. Kak Mario bahkan sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri. Dia
bilang aku lucu, makanya dia mendaulatku menjadi adiknya. Padahal dia juga
sudah punya adik lebih dari satu, masih saja menginginkan orang lain jadi
adiknya. Tapi aku juga tak keberatan jadi adiknya.
Hari
terakhir keberadaan mereka di kotaku, setelah acara penutupan kompetisi Badminton
Superliga, Koko Henry mengajakku makan malam bersama sebagai perpisahan karena
esoknya ia dan timnya harus kembali ke kota asal mereka. Aku yang sudah lama
sangat menyukai Koko Henry, tentu saja tak menolak ajakan itu.
Makan
malam yang cukup mewah meski tak terlalu resmi di sebuah restoran mahal di
kotaku itu berjalan cukup baik. Meski kuakui hari itu Koko Henry terlihat lebih
pendiam dari biasanya. Aku bahkan sempat mengira bahwa Koko Henry menyesal
telah mengajakku makan malam, atau mungkin ada kata-kataku yang membuatnya marah.
Tapi aku segera menepis pikiran buruk itu. Mungkin Koko Henry hanya lelah
setelah menjalani pertadingan final.
“Ehm…
Cindi… kamu… sudah punya pacar?” Koko Henry bertanya sesuatu yang sangat tak
terduga ketika kami tengah menikmati makanan penutup.
“Belum,”
jawabku singkat.
“Kalau
begitu… kamu mau nggak jadi pacarku?”
Aku
menengadah menatap Koko Henry. Apa aku tidak salah dengar? Koko Henry memintaku
menjadi pacarnya?
“Bagaimana?
Kamu mau kan jadi pacarku?” Koko Henry mengulang pertanyaannya. Rupanya aku tak
salah dengar.
“Aku…
ya. Aku mau,” jawabku akhirnya. Mana mungkin aku bisa menolak jika lelaki yang
paling kusukai di dunia ini memintaku menjadi pacarnya.
Meski
aku dan Koko Henry menjalani hubungan jarak jauh karena kami tinggal di kota
yang berbeda, bisa dikatakan hubungan kami sangat baik. Meski sangat jarang
bertemu, kami hampir tak pernah menghadapi konflik yang berarti. Masalah pasti
ada dalam setiap hubungan, tapi kami selalu berhasil mengatasinya dengan
dewasa. Tak pernah ada rasa saling curiga diantara kami, karena kami saling
menanamkan rasa kepercayaan yang tinggi. Setiap kali ada waktu luang, Koko
Henry selalu menyempatkan diri datang ke kota tempat tinggalku. Kadang juga aku
yang berkunjung ke tempatnya. Komunikasi tak pernah sehari pun terhenti. Entah
lewat telepon, SMS, atau media online.
Namun
di tahun ke tiga hubungan kami, masalah cukup rumit mulai menerpa. Orangtua
Koko Henry mulai mendesak Koko Henry yang saat itu telah berusia 27 tahun untuk
segera menikah. Koko Henry pun menanyakan kesediaanku. Pertanyaan Koko Henry
itu mulai membebani pikiranku. Bukan aku tak ingin menikah dengan Koko Henry,
justru aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya, lelaki yang
sangat kucintai. Tapi ada hal penting yang membuat kami rasanya sulit untuk
hidup bersama dalam ikatan pernikahan.
Bukan
hanya karena ibunda Koko Henry yang sejak awal memang kurang menyukaiku, karena
beliau menginginkan Koko Henry menikah dengan wanita yang lebih anggun dan
dewasa. Meski restu beliau sangat penting, tapi kami tak pernah memusingkannya.
Koko Henry percaya bahwa ibundanya akan menyukaiku setelah lebih jauh
mengenalku. Aku pun tak terlalu merisaukan masalah itu. Bagiku yang terpenting
adalah Koko Henry mencintaiku. Tapi ada satu hal sangat penting yang membuat kami
tak bisa bersama. Cara beribadah kami berbeda.
Ya,
aku dan Koko Henry berbeda keyakinan. Awalnya kami tak pernah memikirkan masalah
itu. Yang kami pikirkan hanyalah kami saling mencintai, maka kami bersama. Tapi
rupanya tak sesederhana itu jika sudah menyangkut pernikahan. Sepertinya memang
tidak mungkin kami bisa hidup bersama. Masing-masing dari kami begitu meyakini
cara kami dan tak mau berpindah haluan. Kami pun tidak mungkin memaksakan
menikah dengan keyakinan yang berbeda. Bagaimana mungkin sebuah kapal
dijalankan oleh dua orang nahkoda yang mengambil jalur berbeda dalam
pelayarannya. Meski tujuan kami sama, tetap saja kami tak bisa melangkah
bersama. Itu filosofi yang kuyakini dalam hubungan penikahan.
Dan
saat harus memilih antara cinta dan Tuhan, aku pun harus rela melepas cintaku
meski terasa sangat berat dan menyakitkan. Dan sepertinya Koko Henry juga
memilih jalan yang sama denganku. Kami memutuskan mengakhiri hubungan kami
dengan berurai air mata.
“Kau
adalah anugerah terindah dalam hidupku. Meski suatu saat nanti aku akan bersama
wanita lain, bagiku kau tetap yang terindah. Tak akan ada yang bisa
menggantikan posisimu di hatiku.”
Itu
adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Koko Henry di saat perpisahan kami.
Setelah itu, kami tak pernah berhubungan lagi. Baik lewat telepon, SMS, atau
media online. Sepertinya kami
sama-sama menyibukkan diri dengan kegiatan kami masing-masing untuk mengobati
rasa sakit yang kami rasakan. Meski aku tahu, rasa sakit di hatiku tak akan
pernah hilang. Tak akan ada yang bisa menyembuhkan luka dalam hatiku.
Dan
kini, setelah setahun kami berpisah, aku mendapatkan sebuah kejutan yang
mengingtkanku pada luka yang dengan sekuat tenaga kusembunyikan di dasar
hatiku. Sebuah undangan pernikahan dari Koko Henry.
Rupanya
ia telah menemukan pengganti diriku. Dalam foto yang terpampang di undangan,
wanita itu sangat cantik dan anggun. Ibunda Koko Henry pasti sangat meyukainya.
Mereka pasti akan bahagia.
Aku
tersenyum kecil melihat foto Koko Henry dalam undangan itu. Dia terlihat begitu
tampan dalam setelan warna putih. Oh, seandainya saja aku wanita yang
mendampinginya. Ah… sudahlah. Perpisahan ini keputusan yang tak boleh kusesali,
karena memang ini yang terbaik. Meski begitu, selamanya aku tak akan pernah
bisa melupakan sosok Koko Henry dalam hidupku. Mantan kekasih yang begitu
sempurna, tampan, menawan, dan pendiam.
Suara
dering telepon menyadarkanku dari lamunan. Aku meraih ponsel dan melihat nama
yang muncul pada layar ponselku. Kak Mario. Aku langsung menekan tombol answer dan menjawab, “Halo?”
“Hai
Cindi, kamu pasti datang ke resepsi pernikahan Henry, kan?” tanya Kak Mario
langsung.
Aku
menarik napas pendek, lalu menjawab, “Tentu saja.”
Cepi R. Dini
0 komentar:
Posting Komentar