Selasa, 16 Desember 2014

Mantan Yang Sempurna



Aku menatap undangan pernikahan yang baru kuterima di tanganku. Sebuah nama yang dulu pernah singgah di hatiku dan menghiasi hari-hariku terukir indah di dalam undangan itu. Henry Irawan. Lelaki tampan berwajah oriental yang sangat baik hati dan pendiam. Sosok sempurna yang pernah kucintai, namun tak dapat kumiliki.
Masih teringat jelas dalam benakku masa-masa indahku bersamanya. Aku bahkan masih sangat mengingat saat pertama aku mengenalnya secara langsung.

Aku berdiri di dekat pintu keluar gedung olahraga tempat dilangsungkannya kompetisi badminton antar klub di Indonesia. Aku berdiri tegang sambil mendekap erat buku agendaku di dada. Sesekali kulongokkan kepalaku ke dalam ruangan, menanti dengan harap-harap cemas kemunculan sosok Henry Irawan, atlet badminton favoritku. Lelaki tampan berwajah oriental yang biasa dipanggil Koko Henry oleh semua penggemar wanitanya.
Tak lama, sosok yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul. Ia berjalan santai sambil ngobrol-ngobrol dengan rekannya Mario Kristian. Kurasakan jantungku berdebar semakin kencang. Aku menarik napas panjang saat sosok itu semakin mendekat. Aku hampir tak bisa bergerak ketika sosok itu melangkah di depanku. Tapi aku buru-buru tersadar dan menguatkan hatiku untuk memanggil lelaki tampan itu. “Koko Henry!” aku berseru sebelum sosok itu berjalan semakin menjauh. Percuma saja aku menunggu hampir satu jam kalau pada akhirnya tetap tidak berani menghampirinya, untuk sekedar minta tanda tangan atau foto bersama.
Koko Henry menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku.
Dengan jantung masih berdebar sangat kencang, aku memaksakan langkahku mendekati lelaki tampan itu. “Ehm… maaf, boleh… minta… tanda tangan?” aku bertanya terbata sesampai di hadapannya.
Lelaki itu menatapku dan tersenyum ramah. “Tentu saja boleh,” sahutnya santai. “Di mana aku harus tanda tangan?” tanyanya.
Aku buru-buru menyerahkan buku agenda yang sedari tadi kudekap erat di dadaku. Kubukakan halaman di mana banyak terdapat fotonya dan menyerahkan sebuah bolpoin gel berwarna merah padanya. “Di sini,” jawabku sambil menunjuk bagian bawah foto dirinya yang paling keren.
Koko Henry meraih agenda dan bolpoin itu dari tanganku dan membubuhkan tanda tangannya di tempat yang kutunjukkan. “Nggak usah terlalu tegang begitu. Aku nggak gigit, kok,” ujarnya santai seraya menyerahkan kembali buku agendaku.
“A… iya… aku… ehm… terima kasih,” balasku seraya menerima buku agendaku dari tangannya. Jantungku masih berdebar sangat kencang.
“Lho, cuma Henry saja? Aku nggak dimintai tanda tangan?” Mario Kristian, pasangan ganda Koko Henry tiba-tiba nyeletuk. Meski belum kenal secara langsung, aku biasa menyebutnya Kak Mario.
“Ah… i… iya. Kak Mario juga tanda tangan, ya!” aku buru-buru menyerahkan buku agendaku pada lelaki bertubuh gempal yang terkenal humoris itu.
 “Aku cuma bercanda,” katanya sambil tertawa. “Kalau memang nggak pengin tanda tanganku juga nggak apa-apa, kok. Aku nggak maksa.”
“Justru suatu kehormatan kalau Kak Mario mau membubuhkan tanda tangan di buku agendaku,” sahutku dengan jantung yang mulai berdetak normal. Gaya Kak Mario yang begitu bersahabat mampu meredakan kegugupanku.
“Kalau begitu dengan senang hati aku akan membubuhkan tanda tanganku,” balas Kak Mario seraya meraih buku agendaku dan mulai membubuhkan tanda tangan di tempat mana pun yang ia suka. Tak lama, ia menyerahkan kembali buku agenda itu padaku.
“Terima kasih,” ucapku seraya menerima buku agenda itu dan menutupnya. “Ehm…” aku tak meneruskan kata-kataku.
“Ada lagi?” tanya Koko Henry.
Aku menggeleng. “Nggak, deh. Nggak jadi,” sahutku. “Terima kasih banyak atas tanda tangannya,” ucapku formal.
“Lho, kok nggak jadi? Ada apa sih?” tanya Koko Henry. “Ngomong aja!”
Aku tak langsung menjawab. Berpikir sejenak, kemudian memutuskan mengutarakan maksud yang tertunda tadi. “Boleh… minta foto bareng, nggak?” tanyaku hati-hati. “Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, kok!” aku buru-buru menambahkan.
Tawa Kak Mario meledak. Bahkan Koko Henry yang terkenal pendiam dan jarang mununjukkan ekspresi terlihat tertawa geli, meski tertawanya tak sekeras Kak Mario. “Jadi itu yang mau kamu bilang tadi?” tanya Kak Mario setelah tawanya mereda.
Aku mengangguk pelan. Aku tak tahu harus merasa malu atau bagaimana. Suatu pengalaman baru bagiku ditertawakan idolaku sendiri.
“Ya ampun, kamu tuh lucu banget, ya!” ucap Kak Mario lagi. “Masa bilang begitu saja nggak berani?”
Aku semakin tak tahu harus berkata apa. Rupanya bagi dua orang itu, seorang penggemar meminta foto bersama adalah hal yang sangat biasa. Mungkin bagi mereka aku adalah penggemar paling aneh yang pernah mereka jumpai.
“Ya sudah, ayo kita foto bareng!” Koko Henry menengahi.
Aku langsung meraih kamera digital dari dalam tas kecil yang tersampir di pundakku dan mulai berfoto bersama dua orang itu. “Terima kasih,” ucapku setelah acara pemotretan selesai.
“Sama-sama,” balas keduanya bersamaan.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Permisi.” Aku berpamitan seraya berbalik pergi.
“Tunggu!” Koko Henry mendadak berseru.
Aku menghentikan langkahku dan kembali berbalik. “Ya?”
“Siapa namamu?” Koko Henry bertanya.
“Ehm… aku… Cindi,” jawabku.
“Kamu besok nonton lagi?”
Aku mengangguk. “Rencananya sih begitu,” sahutku. Aku tak mengerti kenapa Koko Henry menanyakan itu.
Koko Henry mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menyerahkan padaku. “Ini buat kamu,”
Aku meraih benda yang tampak seperti kartu itu dari tangan Koko Henry dengan perasaan bingung. “Apa ini?”
“Kartu free pass,” sahut Koko Henry. “Kamu bisa bebas masuk di ruang VVIP dengan kartu itu.”
Aku terbelalak tak percaya mendengar penjelasan Koko Henry. Aku menatapnya dengan pandangan terkejut dan bertanya-tanya.
“Aku tunggu kehadiranmu besok,” ucapnya sambil tersenyum manis dan melangkah pergi bersama Kak Mario.
“Bye, Cindi!” Kak Mario berseru riang. Kedua sosok itu semakin menjauh dari hadapanku.
Aku masih terdiam di tempatku berdiri. Masih belum sepenuhnya percaya atas apa yang telah terjadi. Aku menatap kartu free pass pemberian Koko Henry di tanganku dan menyadari semua itu bukan mimpi.

Setelah pertemuan pertama itu, hubunganku dengan Koko Henry dan Kak Mario memang menjadi dekat. Kak Mario bahkan sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri. Dia bilang aku lucu, makanya dia mendaulatku menjadi adiknya. Padahal dia juga sudah punya adik lebih dari satu, masih saja menginginkan orang lain jadi adiknya. Tapi aku juga tak keberatan jadi adiknya.
Hari terakhir keberadaan mereka di kotaku, setelah acara penutupan kompetisi Badminton Superliga, Koko Henry mengajakku makan malam bersama sebagai perpisahan karena esoknya ia dan timnya harus kembali ke kota asal mereka. Aku yang sudah lama sangat menyukai Koko Henry, tentu saja tak menolak ajakan itu.
Makan malam yang cukup mewah meski tak terlalu resmi di sebuah restoran mahal di kotaku itu berjalan cukup baik. Meski kuakui hari itu Koko Henry terlihat lebih pendiam dari biasanya. Aku bahkan sempat mengira bahwa Koko Henry menyesal telah mengajakku makan malam, atau mungkin ada kata-kataku yang membuatnya marah. Tapi aku segera menepis pikiran buruk itu. Mungkin Koko Henry hanya lelah setelah menjalani pertadingan final.
“Ehm… Cindi… kamu… sudah punya pacar?” Koko Henry bertanya sesuatu yang sangat tak terduga ketika kami tengah menikmati makanan penutup.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kalau begitu… kamu mau nggak jadi pacarku?”
Aku menengadah menatap Koko Henry. Apa aku tidak salah dengar? Koko Henry memintaku menjadi pacarnya?
“Bagaimana? Kamu mau kan jadi pacarku?” Koko Henry mengulang pertanyaannya. Rupanya aku tak salah dengar.
“Aku… ya. Aku mau,” jawabku akhirnya. Mana mungkin aku bisa menolak jika lelaki yang paling kusukai di dunia ini memintaku menjadi pacarnya.

Meski aku dan Koko Henry menjalani hubungan jarak jauh karena kami tinggal di kota yang berbeda, bisa dikatakan hubungan kami sangat baik. Meski sangat jarang bertemu, kami hampir tak pernah menghadapi konflik yang berarti. Masalah pasti ada dalam setiap hubungan, tapi kami selalu berhasil mengatasinya dengan dewasa. Tak pernah ada rasa saling curiga diantara kami, karena kami saling menanamkan rasa kepercayaan yang tinggi. Setiap kali ada waktu luang, Koko Henry selalu menyempatkan diri datang ke kota tempat tinggalku. Kadang juga aku yang berkunjung ke tempatnya. Komunikasi tak pernah sehari pun terhenti. Entah lewat telepon, SMS, atau media online.
Namun di tahun ke tiga hubungan kami, masalah cukup rumit mulai menerpa. Orangtua Koko Henry mulai mendesak Koko Henry yang saat itu telah berusia 27 tahun untuk segera menikah. Koko Henry pun menanyakan kesediaanku. Pertanyaan Koko Henry itu mulai membebani pikiranku. Bukan aku tak ingin menikah dengan Koko Henry, justru aku sangat ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya, lelaki yang sangat kucintai. Tapi ada hal penting yang membuat kami rasanya sulit untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan.
Bukan hanya karena ibunda Koko Henry yang sejak awal memang kurang menyukaiku, karena beliau menginginkan Koko Henry menikah dengan wanita yang lebih anggun dan dewasa. Meski restu beliau sangat penting, tapi kami tak pernah memusingkannya. Koko Henry percaya bahwa ibundanya akan menyukaiku setelah lebih jauh mengenalku. Aku pun tak terlalu merisaukan masalah itu. Bagiku yang terpenting adalah Koko Henry mencintaiku. Tapi ada satu hal sangat penting yang membuat kami tak bisa bersama. Cara beribadah kami berbeda.
Ya, aku dan Koko Henry berbeda keyakinan. Awalnya kami tak pernah memikirkan masalah itu. Yang kami pikirkan hanyalah kami saling mencintai, maka kami bersama. Tapi rupanya tak sesederhana itu jika sudah menyangkut pernikahan. Sepertinya memang tidak mungkin kami bisa hidup bersama. Masing-masing dari kami begitu meyakini cara kami dan tak mau berpindah haluan. Kami pun tidak mungkin memaksakan menikah dengan keyakinan yang berbeda. Bagaimana mungkin sebuah kapal dijalankan oleh dua orang nahkoda yang mengambil jalur berbeda dalam pelayarannya. Meski tujuan kami sama, tetap saja kami tak bisa melangkah bersama. Itu filosofi yang kuyakini dalam hubungan penikahan.
Dan saat harus memilih antara cinta dan Tuhan, aku pun harus rela melepas cintaku meski terasa sangat berat dan menyakitkan. Dan sepertinya Koko Henry juga memilih jalan yang sama denganku. Kami memutuskan mengakhiri hubungan kami dengan berurai air mata.
“Kau adalah anugerah terindah dalam hidupku. Meski suatu saat nanti aku akan bersama wanita lain, bagiku kau tetap yang terindah. Tak akan ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku.”
Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Koko Henry di saat perpisahan kami. Setelah itu, kami tak pernah berhubungan lagi. Baik lewat telepon, SMS, atau media online. Sepertinya kami sama-sama menyibukkan diri dengan kegiatan kami masing-masing untuk mengobati rasa sakit yang kami rasakan. Meski aku tahu, rasa sakit di hatiku tak akan pernah hilang. Tak akan ada yang bisa menyembuhkan luka dalam hatiku.

Dan kini, setelah setahun kami berpisah, aku mendapatkan sebuah kejutan yang mengingtkanku pada luka yang dengan sekuat tenaga kusembunyikan di dasar hatiku. Sebuah undangan pernikahan dari Koko Henry.
Rupanya ia telah menemukan pengganti diriku. Dalam foto yang terpampang di undangan, wanita itu sangat cantik dan anggun. Ibunda Koko Henry pasti sangat meyukainya. Mereka pasti akan bahagia.
Aku tersenyum kecil melihat foto Koko Henry dalam undangan itu. Dia terlihat begitu tampan dalam setelan warna putih. Oh, seandainya saja aku wanita yang mendampinginya. Ah… sudahlah. Perpisahan ini keputusan yang tak boleh kusesali, karena memang ini yang terbaik. Meski begitu, selamanya aku tak akan pernah bisa melupakan sosok Koko Henry dalam hidupku. Mantan kekasih yang begitu sempurna, tampan, menawan, dan pendiam.
Suara dering telepon menyadarkanku dari lamunan. Aku meraih ponsel dan melihat nama yang muncul pada layar ponselku. Kak Mario. Aku langsung menekan tombol answer dan menjawab, “Halo?”
“Hai Cindi, kamu pasti datang ke resepsi pernikahan Henry, kan?” tanya Kak Mario langsung.
Aku menarik napas pendek, lalu menjawab, “Tentu saja.”

                                                                                              
                                                                                              Cepi R. Dini

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates