Selasa, 31 Desember 2013

Senja di Lombok



Senja menyandarkan tubuhnya pada pagar kapal, lalu memejamkan matanya, merasakan embusan angin yang cukup kencang mengibarkan rambut panjangnya. Akhirnya, setelah sekian lama hanya memendam keinginan merayakan tahun baru di Lombok, kini dia dalam perjalanan ke sana. Beruntung teman-temannya mau menemani. Kalau nggak, bisa-bisa Senja yang hobi nyasar itu nggak bakal sampai ke Lombok. Entah akan terdampar ke mana.
Senja merentangkan kedua tangannya agar bisa lebih menikmati embusan angin laut. Maunya sih, pengin niru adegan di film Titanic, gitu. Tapi baru saja dia merentangkan tangannya, sebuah pekikan pelan tiba-tiba terdengar, “Aduh.”

Senja membuka matanya dan terbelalak melihat seorang cowok ternyata sudah berdiri di sampingnya. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan meminta maaf.
Cowok jangkung bertubuh kekar, berwajah oriental dan berambut agak jabrik itu tertawa kecil dan bertanya, “Kamu ngapain? Niru adegan Titanic?”
Senja menunduk malu, wajahnya bersemu merah.
“Nggak asyik kalau dilakukan di atas kapal feri kayak gini, lebih enak kalau di kapal pesiar.” Setelah mengatakan itu, cowok itu ngeloyor pergi dengan santainya.
“Kapal pesiar, duit siapa?” Senja menggerutu sendiri, lalu kembali menatap air laut yang bergulung tinggi di hadapannya. Angin yang bertiup kencang mengakibatkan ombak besar, dan kapal yang ditumpanginya jadi bergoncang cukup ekstrim.
“Senja, jangan berdiri di situ! Ntar kalau kecebur gimana? Kamu kan nggak bisa berenang!”
Senja tetap bergeming tanpa menghiraukan seruan teman-temannya. Mau bagaimana lagi? Dia sangat suka melihat laut dan merasakan embusan angin yang kencang. Dia juga suka merasakan goncangan kapal yang mampu membuat orang mabuk laut itu. Dia bisa membayangkan seolah berada di atas kapal bajak laut idolanya, Sunny Go –kapal milik kru Mugiwara dalam manga One Piece.
Saat Senja sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, sebuah angin kencang tiba-tiba menerbangkan topinya. Dengan panik, Senja mencoba menggapai topi yang berputa-putar tak jauh di depannya. Saat hampir putus asa karena seberapa keras pun mencoba tapi tangannya tetap nggak bisa meraih topi itu, sebuah tangan kekar berhasil menangkap topi itu sebelum topi itu bergerak turun menuju laut.
“Terima kasih.” Senja bernafas lega dan berpaling kepada malaikat penolongnya. Tapi dia kembali tercengang saat dilihatnya ternyata orang yang menyelamatkan topi kesayangnnya adalah cowok yang tak sengaja terkena tangannya tadi.
“Kurasa sebaiknya kamu menuruti ucapan teman-temanmu,” ucap cowok itu seraya menyerahkan topi Senja. “Untung cuma topi yang jatuh. Gimana kalau kamu?” Sama seperti kemunculannya yang selalu tiba-tiba, cowok itu pun lagi-lagi melangkah pergi dengan gaya super cuek dan santai.
Senja menatap topi di tangannya, lalu melangkah menjauhi pagar kapal dan bergabung bersama teman-temannya. Mungkin teman-temannya dan cowok itu benar, pagar kapal terlalu berbahaya dalam cuaca ekstrim seperti ini.
**
Sebelum matahari terbenam, saat teman-temannya sedang beristirahat di dalam kamar hotel, Senja berjalan-jalan sendirian di tepi pantai sambil membawa sebuah kamera digital yang dia pinjam dari kakak sepupunya. Karena lemah banget soal arah, Senja memutuskan berjalan-jalan di dekat-dekat hotel saja biar nanti bisa kembali ke hotel dalam keadaan selamat.
Langkah Senja terhenti saat matanya menangkap sesosok cowok yang lagi asyik berselancar beberapa puluh meter di hadapannya. Gaya selancarnya keren banget, kayak profesional. Senja melangkah semakin masuk ke dalam air dan membidikkan kameranya pada cowok itu. Dia selalu suka melihat peselancar, karena dia nggak pernah bisa melakukannya. Berenang saja dia nggak bisa, apalagi berselancar.
Senja terus memotret berbagai gaya yang ditampilkan peselancar keren itu, sampai-sampai dia nggak sadar kalau peselancar itu sudah turun dari papan selancarnya dan kini sedang berjalan menghampirinya.
Senja menurunkan kameranya dan terbelalak begitu menyadari cowok yang sedang berjalan beberapa meter di depannya itu adalah cowok yang  ditemuinya di kapal tadi. Ya ampun, cowok itu lagi, keluhnya dalam hati.
“Rupanya kamu,” ucap cowok itu begitu sampai di hadapan Senja. “Kamu ngikutin aku, ya?”
Senja menggeleng cepat. “Ng-nggak… aku nggak ngikutin kamu, kok.”
“Lalu, kenapa kamu memotretku?” tanya cowok itu sambil mengedikkan kepalanya ke arah kamera yang dipegang Senja.
“A-aku? Memotretmu?” Senja pura-pura tertawa. “Idih… ge-er amat. Memangnya kamu artis terkenal?”
Cowok itu menelengkan kepalanya dan tersenyum sinis. “Oh ya? Kamu nggak memotretku? Coba aku lihat kameramu. Kalau sampai ada fotoku di sana, aku akan tuntut kamu,” ancamnya.
Senja membelalak panik. “J-jangan…! Iya deh, iya aku ngaku. Aku memang memotretmu, tapi aku sama sekali nggak tahu kalau itu tadi kamu. Aku cuma suka lihat orang berselancar, makanya aku potret. Tolong jangan tuntut aku, ya!” Senja memohon sambil mengatupkan kedua tangannya.
Cowok itu hanya diam sambil menatap tajam. Tapi beberapa detik kemudian, dia tertawa keras.
Senja menurunkan tangannya, heran menatap cowok di depannya. Kenapa dia tiba-tiba tertawa? Apa yang lucu?
“Ya ampun… aku nggak nyangka reaksimu akan seperti itu,” ucap cowok setelah tawanya sedikit mereda. “Aku kan cuma bercanda. Aku kan bukan artis. Ngapain aku tuntut kamu.” Setelah puas menertawakan Senja, dia melangkah pergi begitu saja, sama seperti sebelumnya.
“Dasar cowok aneh.” Senja menatap cowok itu beberapa saat, lalu kembali melanjutkan perjalanannya menyusuri pantai sambil menunggu matahari terbenam.
**
“Jadi, kita mau merayakan tahun baru di mana? Pantai, Bukit Malimbu, Bukit Nipah, kafe, atau di hotel saja?” Rosi memberikan pilihan pada teman-temannya.
“Kamu kan yang udah pernah ke sini. Menurutmu enaknya di mana?” Via balik bertanya.
Rosi mengangkat bahu. “Aku nggak pernah ke sini pas tahun baru,” sahutnya. “Jadi aku nggak tahu tempat paling asyik buat tahun baruan itu di mana.”
“Kalau di hotel atau kafe, males ah. Kalau yang kayak gitu, ngapain jauh-jauh ke Lombok,” ucap Senja. “Di pantai juga kayaknya bakal rame banget, Bukit Nipah jauh. Gimana kalau Bukit Malimbu aja,” usulnya. “Tapi kita ke sananya agak sorean, ya. Aku mau sekalian motret sunset. Aku dengar sunset di sana bagus banget.”
“Aku sih oke aja,” sahut Rosi, lalu berpaling menatap Via. “Kamu gimana, Vi?”
“Aku sih ke mana aja oke,” jawab Via. “Lagian, yang punya proyek merayakan tahun baru di Lombok kan, Senja. Terserah Senja deh mau ke mana.”
“Oke, berarti sudah diputuskan. Ntar sore kita akan berangkat ke Bukit Malimbu. Sekarang aku mau tidur siang dulu, biar nanti malam nggak ngantuk pas begadang.” Rosi langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Aku juga, ah.” Via mengikuti jejak Rosi.
Senja menggeleng pelan menyaksikan teman-temannya bergelimpangan di atas tempat tidur. Tapi akhirnya memutuskan mengikuti jejak mereka berdua juga. Bagaimanapun, dia harus menyimpan energi untuk menyambut tahun baru nanti malam. Dia nggak mau kalau sampai mengantuk waktu malam pergantian tahun.
**
Senja membidikkan kameranya dan memotret matahari yang perlahan-lahan turun ke peraduan. Ternyata benar, sunset di Bukit Malimbu keren banget. Senja tersenyum senang dan sekali lagi membidikkan kameranya pada pemandangan matahari terbenam. Begitu seterusnya sampai matahari benar-benar masuk ke peraduan.
Setelah puas menikmati sunset dan mendapat foto-fotonya, Senja mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar bukit yang dipenuhi manusia. Masyarakat lokal dan para wisatawan berbaur jadi satu, sama-sama menikmati keindahan panorama Bukit Malimbu.
Senja membidikkan kameranya pada teman-temannya yang sedang asyik makan jagung bakar sambil ngobrol sama beberapa cowok entah siapa.
“Senja, ayo sini! Jangan motret terus. Jagung bakarnya enak, lho!” Rosi berseru sambil melambaikan tangannya pada Senja.
“Iya, ntar!” Senja balas berseru, lalu kembali mengedarkan pandangannya mencari obyek yang menarik untuk diabadikan. Tapi gerakannya terhenti begitu melihat seseorang yang sangat tidak asing baginya.
Yeah, dibilang tidak asing… nggak juga sih, karena Senja sama sekali nggak tahu siapa sebenarnya orang itu. Tapi nggak bisa dibilang asing juga, karena Senja sudah beberapa kali terlibat interaksi dengan orang itu secara nggak sengaja.
Yep, orang itu adalah cowok aneh yang dia temui di kapal dan nggak sengaja dia potret di pantai. Senja heran, kenapa dia selalu ketemu cowok itu di mana pun dia berada. Di kapal, di pantai, bahkan di Bukit Malimbu. Memangnya mereka punya pikiran yang sama ya, sampai-sampai selalu mengunjungi tempat yang sama.
Senja menurunkan kameranya dan mengamati cowok yang sedang bermain gitar dan dikelilingi teman-temannya itu. Hm… kalau dilihat-lihat, ternyata cowok itu cakep juga. Badannya tinggi dan kekar, kulitnya putih agak gelap, dan yang paling disukai Senja adalah wajah orientalnya yang mirip artis Korea itu. Dan kenyataan bahwa cowok itu bisa bermain gitar dan berselancar, menjadi nilai plus bagi Senja. Dari dulu dia memang suka banget sama cowok yang bisa main gitar dan berselancar.
Senja menggelengkan kepalanya. Ya ampun, aku mikir apa sih? umpatnya dalam hati. Kenapa aku tiba-tiba mengagumi cowok aneh itu?
Senja buru-buru membuang pikiran melanturnya dan melangkah pergi untuk bergabung bersama teman-temannya.
**
Senja menguap lebar, lalu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ya ampun, masih satu jam lagi tahun baru. Aku udah ngantuk banget, gumamnya dalam hati.
“Kenapa Nja? Ngantuk?” tanya Via.
Senja mengangguk. “Aku mau jalan-jalan dulu deh, biar nggak ngantuk,” ujarnya seraya berdiri.
“Jangan jauh-jauh, ya! Ntar nyasar lagi,” pesan Rosi.
“Iya, tahu.” Senja menyahut singkat, lalu melangkah meninggalkan teman-temannya yang masih asyik nongkrong sama teman-teman baru mereka, cowok-cowok rombongan dari Solo katanya.
Senja terus melangkah sambil sesekali menggelengkan kepalanya untuk mnghilangkan kantuk. Mending aku cari obyek untuk difoto aja daripada ngantuk, pikirnya sambil mengangkat kamera. Namun gerakannya terhenti mendadak saat melihat obyek pertama yang tertangkap kameranya adalah cowok aneh yang tadi, yang saat ini juga sedang menatapnya.
Senja mengangkat matanya dari layar kamera dan menatap cowok yang berdiri hanya beberapa meter di hadapannya itu.
“Kamu lagi,” ucap cowok itu. “Kamu benar-benar membuntutiku, ya?” tanyanya seraya melangkah mendekati Senja.
“Ha? Membuntutimu?” Senja terbelalak. “Enak aja. Ngapain juga aku buntutin kamu? Ge-er!”
“Trus, kenapa aku ketemu kamu lagi di sini?”
“Mana aku tahu. Ini kan tempat umum,” balas Senja. “Jangan-jangan kamu lagi yang buntutin aku.”
“Nggak.”
“Ya udah, aku juga nggak. Kebetulan aja kita ketemu di sini.”
“Oke. Mungkin memang begitu,” ujar cowok itu akhirnya. “Oh ya, aku Mario. Kamu?” Cowok itu mengulurkan tangannya.
“Ha?” Senja terngaga. Nih cowok memang benar-benar aneh. Abis nuduh Senja macam-macam, sekarang malah ngajak kenalan.
“Nggak punya nama, ya.” Mario berujar lagi tanpa menurunkan tangannya.
“Senja.” Senja membalas uluran tangan Mario dan melepaskannya dalam beberapa detik.
“Nama yang menarik,” gumam Mario. “Well, kamu mau jalan-jalan?” Ia menawarkan.
“Ha?” Senja semakin terperangah menatap cowok itu. Setelah beberapa kali pertemuan yang aneh, trus akhirnya kenalan, sekarang dia langsung ngajak jalan-jalan?
“Yeah, daripada cuma diam di sini, mungkin kamu mau jalan-jalan sama aku. Cuma di sekitar sini aja, kok,” ucap Mario. “Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa. Aku sendirian aja.” Ia cepat-cepat menambahkan.
Senja berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Oke deh, aku mau.” Meskipun mereka baru kenal, rasanya nggak bakal ada hal buruk yang terjadi. Lagipula mereka kan nggak akan berjalan-jalan jauh, tetap di seputar Bukit Malimbu saja.
**
Senja duduk bersama Mario di sisi lain Bukit Malimbu yang tak terlalu ramai. Embusan angin bersahabat membelai wajah dan mengibarkan rambutnya.
“Jadi, kamu masih sekolah? SMP? Kelas berapa?”
Senja menoleh menatap Mario, bibirnya mengerucut. “Enak aja, SMP. Aku udah kuliah tau!”
Mario tertawa. “Sori, kamu nggak kelihatan kayak anak kuliahan.”
Senja semakin merengut. “Iya, aku tahu tubuhku memang kecil,” tukasnya sewot. “Nggak kayak kamu, enak, punya tubuh jangkung.”
“Hei, siapa yang bahas tinggi badan sih?” sergah Mario.
“Trus, apa maksudmu aku nggak kelihatan kayak anak kuliahan?”
“Tampangmu itu lho, kayak anak SMP.”
Senja mengernyit. “Masa?”
Mario mengangguk. “Emang kamu nggak nyadar tiap kali ngaca?”
Senja menggeleng pelan. “Rasanya nggak ada yang aneh.”
“Aku kan nggak bilang tampangmu aneh,” balas Mario. “Tampangmu itu terlalu imut untuk ukuran anak kuliah. Coba deh bandingkan sama anak kuliahan yang lain.”
Senja menunduk, mukanya memerah. Baginya, ucapan Mario adalah sebuah pujian. Meskipun dia sudah pernah dengar hal itu sebelumnya, tapi saat Mario yang mengatakan, Senja jadi merasa tersanjung.
So, apa itu topi istimewa?” Mario bertanya lagi. Pertanyaan yang sama sekali nggak berhubungan dengan topik yang semula mereka bicarakan.
Senja mengangkat wajahnya dan berpaling menatap Mario. “Ha?”
Mario menunjuk topi bundar yang bertengger di atas kepala Senja. “Kamu selalu pakai topi itu,” katanya. “Apa pemberian pacar?”
Senja menggeleng. “Bukan pemberian siapa-siapa,” jawabnya. “Aku cuma suka aja sama topi ini.”
“Hm… begitu, ya. Biasanya benda istimewa pemberian orang yang spesial.”
“Nggak, kok. Aku beli sendiri,” balas Senja. “Lagipula, ini juga bukan benda istimewa,” tambahnya. “Yeah, aku memang sangat suka, tapi… nggak terlalu terobsesi juga sampai mengorbankan nyawaku untuk melindunginya.”
Mario tertawa kecil. “Yeah, aku pernah dengar ada orang yang begitu menyayangi suatu benda seperti itu.”
“Yang jelas bukan aku,” sahut Senja. “Jangan-jangan kamu begitu.”
“Nggak lah.”
“Oh ya, gitarmu mana?” tanya Senja mengalihkan.
Mario mengernyit heran. “Dari mana kamu tahu aku bawa gitar?”
Senja tersenyum malu. “Sebenarnya… tadi sore aku nggak sengaja lihat kamu main gitar,” akunya. Dan aku juga sempat mengagumimu, tambahnya dalam hati.
Mario menelengkan kepalanya. “Kamu sudah tahu aku di sini sejak tadi sore?”
Senja mengedikkan bahu. “Begitulah.”
“Kenapa nggak menyapaku?”
“Aku kan nggak kenal kamu.”
“Oh iya, ya. Tadi kita belum kenalan.” Mario nyengir.
“Lalu di mana gitarmu?” Senja kembali bertanya.
“Dipakai temanku,” jawab Mario. “Kenapa? Kamu mau dengar permainan gitarku?” Mario tersenyum menggoda.
“Sebenarnya,” sahut Senja singkat.
“Aku bisa ambil gitarku kalau kamu mau.”
Senja menggeleng. “Nggak usah deh. Kapan-kapan aja.”
Mario mengangkat kedua alisnya. “Memangnya menurutmu kita akan bertemu lagi?”
Senja mengangkat bahu. “Mungkin,” sahutnya. Aku harap begitu, ia menambahkan dalam hati.
Bum! Ctar… ctar…ctrarr…
Mario dan Senja sedikit terlonjak saat tiba-tiba terdengar suara kembang api diluncurkan secara bertubi-tubi. Secara spontan, mereka memutar tubuh dan melihat berbagai macam kembang api sudah mengangkasa di langit Bukit Malimbu.
“Sudah jam 12, ya.” Mario melihat jam tangannya.
“Nggak terasa ya, sudah tahun baru.” Senja berkata pelan sambil terus menatap pancaran kembang api yang sangat indah. Dan tanpa memalingkan pandangannya dari kembang api, tangannya mengangkat kamera dan mulai memotret langit yang berhiasakan kembang api berwarna-warni itu.
“Kamu suka fotografi, ya?” tanya Mario. “Aku lihat kamu nggak pernah lepas dari kamera.”
Senja tersenyum. “Yeah, begitulah.”
“Kamera yang bagus,” komentar Mario setelah beberapa saat mengamati kamera di tangan Senja.
Senja berpaling menatap Mario. “Bukan punyaku,” sahutnya. “Ini punya sepupuku. Mana bisa aku beli kamera mahal gini.”
Mario mengangguk mengerti. “Sepupumu juga suka fotografi?”
Senja mengangguk.
“Pantas punya kamera canggih.”
Senja hanya tersenyum, lalu kembali menikmati kembang api yang seolah tak ada habisnya.
“Pinjam kameramu,” pinta Mario.
Senja kembali mengalihkan pandangannya dari kembang api dan menatap Mario. “Ha, buat apa?”
“Ya, buat foto lah,” jawab Mario. “Sini pinjam,” pintanya lagi.
Senja melepas tali kamera dari lehernya dan menyerahkan kamera yang langsung diterima oleh Mario.
“Ayo kita foto bareng,” ajak Mario sambil menarik lengan Senja agar lebih mendekat padanya.
Senja yang masih bingung, hanya menurut saat Mario menariknya mendekat. Ia juga tetap tak bergerak saat Mario menekan tombol kamera dan blits menyinari wajahnya.
“Ya ampun, ekspresimu lucu sekali,” komentar Mario setelah melihat hasil jepretannya pada layar kamera. “Ayo, sekali lagi!” ajaknya. “Tapi kali ini kamu harus tersenyum, ya.” Ia menambahkan seraya kembali mengarahkan lensa kamera pada mereka berdua.
Say cheese…!” Mario berseru sebelum menekan tombol kamera. Dan untunglah Senja sudah tersadar dari kebingungannya, sehingga ia masih sempat tersenyum sebelum blits menyala menerpa wajahnya.
“Nah, ini baru bagus.” Mario tersenyum senang setelah melihat hasil fotonya pada layar kamera.
Senja mengintip melewati bahu Mario. Terlihat foto mereka berdua berlatar belakang kembang api berwarna-warni. Mario benar, memang foto yang bagus.
“Nih, aku kembalikan. Makasih, ya.” Mario menyerahkan kamera pada Senja.
Senja menerima kamera itu dan kembali mengalungkan talinya pada lehernya. Setelah beberapa detik yang menegangkan sekaligus menyenangkan, kini rasanya dia kehilangan kata-kata. Keduanya hanya diam sampai tak ada lagi kembang api yang muncul di langit Bukit Malimbu.
“Jadi… menurutmu… apa kita bisa bertemu lagi?” Mario membuka suara.
Senja menatap Mario. “Apa kamu mau bertemu lagi?”
“Kalau kamu mau.”
Senja berpaling dari wajah Mario dan menatap pemandangan di depan. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.
“Kalau kamu nggak mau, aku nggak memaksa,” ucap Mario.
Senja kembali menoleh pada Mario. “Aku mau, kok,” sahutnya cepat.
Mario tersenyum. “Bagus,” balasnya. “Berapa lama rencananya kamu ada di sini?”
“Ehm… mungkin sampai tanggal tiga,” jawab Senja. “Kamu?”
“Aku lebih lama lagi,” balas Mario. “Aku dan teman-temanku juga berencana menyebrang ke Gili Trawangan.” Ia menambahkan.
“Oh.” Senja hanya mengangguk-angguk.
So, kapan kita bertemu lagi?” tanya Mario. “Besok?”
“Besok apa nanti?” Senja balik bertanya. “Sekarang kan sudah pagi, tanggal satu.”
“Oh iya.” Mario tertawa kecil. “Kalau kamu nggak terlalu ngantuk, mungkin kita bisa bertemu nanti sore?”
Senja tersenyum kecil. “Kalau nanti sore, kayaknya aku sudah bisa sadar seratus persen.”
“Kalau begitu… kita bertemu di Pantai Senggigi seperti kemarin?”
Senja mnegernyit. “Pantai?”
“Di hari pertama kita sampai, pas aku berselancar.” Mario mengingatkan.
“Oh… ya… ya… aku tahu.” Senja akhirnya ingat. “Nggak jauh dari hotelku, kok.”
“Oke, berarti deal, ya.”
Senja mengangguk, lalu meraih hapenya yang tiba-tiba bordering nyaring. “Halo?”
“Senja, kamu di mana? Ayo kita balik ke hotel. Aku udah ngantuk.” Suara Rosi terdengar dari seberang.
“Iya, aku akan ke sana sekarang.”
“Kamu tahu jalan ke tempat yang tadi, kan?”
“Iya, aku masih ingat, kok.”
“Ya udah, aku tunggu. Kalau nyasar, kamu telepon aku, ya.”
“Iya.” Senja memasukkan kembali hapenya ke dalam saku jaket setelah Rosi memutuskan panggilan, lalu menatap Mario. “Ehm… aku harus pergi. Teman-temanku sudah mau kembali ke hotel.”
“Oke,” balas Mario. “Aku akan di sini sampai matahari terbit.”
Senja tersenyum, lalu bangkit berdiri. “Kita bertemu lagi nanti sore?”
Mario mengangguk. “Nanti sore. Di pantai. Jangan lupa.”
Senja mengangguk. “Bye!” Ia melambaikan tangannya dan mulai melangkah meninggalkan Mario.
**
Pukul lima sore, tanggal 1 Januari, Senja sudah berdiri di tepi pantai yang terletak tak jauh dari hotel tempatnya menginap. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, tapi tak melihat sosok Mario. Apa aku datang terlalu cepat, ya? pikirnya, atau jangan-jangan aku berada di tempat yang salah.
Senja kembali mengedarkan pandangannya. Dia yakin di tempat inilah dia bertemu Mario di hari pertamanya sampai di Lombok. Tapi kenapa Mario tak tampak di mana pun? Bahkan diantara cowok-cowok yang lagi berselancar pun Mario nggak ada.
Sebaiknya aku tunggu saja, putus Senja seraya duduk di atas pasir, agak jauh dari bibir pantai –biar bajunya nggak basah terkena ombak. Mungkin Mario memang belum datang, pikirnya. Mungkin dia kecapekan abis begadang sampai pagi.
“Hei, maaf. Aku telat, ya?”
Senja menoleh, dan melihat Mario berlari kecil ke arahnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil tersenyum. “Kita nggak janji mau ketemu jam berapa, kan.”
Mario tertawa. “Ya, kita cuma janjian ketemu sore,” balasnya seraya duduk di samping Senja.
“Dan sekarang memang masih sore.” Senja menambahkan.
“Yeah.” Mario kembali tertawa kecil. “Kamu… sudah lama?”
Senja menggeleng. “Aku baru saja duduk saat kamu muncul.”
“Hh… untunglah aku nggak membuat cewek menunggu terlalu lama.” Mario menghela nafas lega.
Cendi tertawa. “Oh ya, mana gitarmu?”
“Ha?”
“Katanya kamu akan memainkan gitar kalau kita bertemu lagi.” Senja mengingatkan. “Sekarang kan kita sudah bertemu lagi.”
“Sori, aku lupa.” Mario tampak menyesal. “Kalau gitu, aku akan ambil gitarku sekarang. Kamu tunggu di sini, ya.”
“Nggak usah.” Senja meraih lengan Mario saat cowok itu hendak berdiri. “Aku kan cuma bercanda. Kamu bisa menunjukkan permainan gitarmu padaku kalau kita bertemu lagi nanti.”
Mario kembali duduk dan menatap Senja. “Kamu ingin kita ketemu lagi setelah ini?”
Senja mengangguk. “Kamu?”
“Tentu saja,” balas Mario. “Aku harap kita masih terus berhubungan sampai setelah pulang dari Lombok.”
I hope so.”
“Kalau begitu… kita bisa bertukar nomor hape, akun Facebook, Twitter, Skype, Line, atau semacamnya.”
Senja mengangguk dan tersenyum kecil. “Kita bisa bertukar semua yang bisa membuat kita tetap terhubung.”
Mario tersenyum, lalu tiba-tiba wajahnya berubah tegang. “Ehm… kamu… sudah punya pacar?”
Senja membelalak. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kenapa tiba-tiba Mario menanyakan itu?
“Nggak mau jawab ya? Apa itu artinya ‘ya’?”
“Nggak,” sahut Senja cepat. “Aku nggak punya pacar.”
Mario tersenyum. “Berarti… boleh dong, aku PDKT sama kamu?”
Senja tak menjawab, warna merah memenuhi wajahnya. Jantungnya berdebar sangat kencang sampai dia kesulitan bernafas.
“Jangan khawatir. Mungkin wajahku agak aneh, tapi aku bukan playboy, kok.”
Senja mengangkat wajahnya menatap Mario. “Aku tahu,” balasnya. Dan wajahmu sama sekali nggak aneh, tapi cakep banget, tambahnya dalam hati.
“Jadi… boleh?” Mario menatap Senja tajam.
Senja mengangguk pelan. Jantungnya tetap berdetak lebih cepat, tapi dia merasa sangat bahagia. Sementara di ufuk barat, matahari sudah mulai memasuki peraduan.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates