Senja
menyandarkan tubuhnya pada pagar kapal, lalu memejamkan matanya, merasakan
embusan angin yang cukup kencang mengibarkan rambut panjangnya. Akhirnya,
setelah sekian lama hanya memendam keinginan merayakan tahun baru di Lombok, kini
dia dalam perjalanan ke sana. Beruntung teman-temannya mau menemani. Kalau
nggak, bisa-bisa Senja yang hobi nyasar itu nggak bakal sampai ke Lombok. Entah
akan terdampar ke mana.
Senja
merentangkan kedua tangannya agar bisa lebih menikmati embusan angin laut.
Maunya sih, pengin niru adegan di film Titanic, gitu. Tapi baru saja dia
merentangkan tangannya, sebuah pekikan pelan tiba-tiba terdengar, “Aduh.”
Senja
membuka matanya dan terbelalak melihat seorang cowok ternyata sudah berdiri di
sampingnya. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan meminta maaf.
Cowok
jangkung bertubuh kekar, berwajah oriental dan berambut agak jabrik itu tertawa
kecil dan bertanya, “Kamu ngapain? Niru adegan Titanic?”
Senja
menunduk malu, wajahnya bersemu merah.
“Nggak
asyik kalau dilakukan di atas kapal feri kayak gini, lebih enak kalau di kapal
pesiar.” Setelah mengatakan itu, cowok itu ngeloyor pergi dengan santainya.
“Kapal
pesiar, duit siapa?” Senja menggerutu sendiri, lalu kembali menatap air laut
yang bergulung tinggi di hadapannya. Angin yang bertiup kencang mengakibatkan
ombak besar, dan kapal yang ditumpanginya jadi bergoncang cukup ekstrim.
“Senja,
jangan berdiri di situ! Ntar kalau kecebur gimana? Kamu kan nggak bisa
berenang!”
Senja
tetap bergeming tanpa menghiraukan seruan teman-temannya. Mau bagaimana lagi?
Dia sangat suka melihat laut dan merasakan embusan angin yang kencang. Dia juga
suka merasakan goncangan kapal yang mampu membuat orang mabuk laut itu. Dia
bisa membayangkan seolah berada di atas kapal bajak laut idolanya, Sunny Go
–kapal milik kru Mugiwara dalam manga One Piece.
Saat
Senja sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, sebuah angin kencang tiba-tiba
menerbangkan topinya. Dengan panik, Senja mencoba menggapai topi yang
berputa-putar tak jauh di depannya. Saat hampir putus asa karena seberapa keras
pun mencoba tapi tangannya tetap nggak bisa meraih topi itu, sebuah tangan
kekar berhasil menangkap topi itu sebelum topi itu bergerak turun menuju laut.
“Terima
kasih.” Senja bernafas lega dan berpaling kepada malaikat penolongnya. Tapi dia
kembali tercengang saat dilihatnya ternyata orang yang menyelamatkan topi
kesayangnnya adalah cowok yang tak sengaja terkena tangannya tadi.
“Kurasa
sebaiknya kamu menuruti ucapan teman-temanmu,” ucap cowok itu seraya menyerahkan
topi Senja. “Untung cuma topi yang jatuh. Gimana kalau kamu?” Sama seperti
kemunculannya yang selalu tiba-tiba, cowok itu pun lagi-lagi melangkah pergi
dengan gaya super cuek dan santai.
Senja
menatap topi di tangannya, lalu melangkah menjauhi pagar kapal dan bergabung
bersama teman-temannya. Mungkin teman-temannya dan cowok itu benar, pagar kapal
terlalu berbahaya dalam cuaca ekstrim seperti ini.
**
Sebelum
matahari terbenam, saat teman-temannya sedang beristirahat di dalam kamar
hotel, Senja berjalan-jalan sendirian di tepi pantai sambil membawa sebuah
kamera digital yang dia pinjam dari kakak sepupunya. Karena lemah banget soal
arah, Senja memutuskan berjalan-jalan di dekat-dekat hotel saja biar nanti bisa
kembali ke hotel dalam keadaan selamat.
Langkah
Senja terhenti saat matanya menangkap sesosok cowok yang lagi asyik berselancar
beberapa puluh meter di hadapannya. Gaya selancarnya keren banget, kayak profesional.
Senja melangkah semakin masuk ke dalam air dan membidikkan kameranya pada cowok
itu. Dia selalu suka melihat peselancar, karena dia nggak pernah bisa
melakukannya. Berenang saja dia nggak bisa, apalagi berselancar.
Senja
terus memotret berbagai gaya yang ditampilkan peselancar keren itu, sampai-sampai
dia nggak sadar kalau peselancar itu sudah turun dari papan selancarnya dan
kini sedang berjalan menghampirinya.
Senja
menurunkan kameranya dan terbelalak begitu menyadari cowok yang sedang berjalan
beberapa meter di depannya itu adalah cowok yang ditemuinya di kapal tadi. Ya ampun, cowok itu
lagi, keluhnya dalam hati.
“Rupanya
kamu,” ucap cowok itu begitu sampai di hadapan Senja. “Kamu ngikutin aku, ya?”
Senja
menggeleng cepat. “Ng-nggak… aku nggak ngikutin kamu, kok.”
“Lalu,
kenapa kamu memotretku?” tanya cowok itu sambil mengedikkan kepalanya ke arah
kamera yang dipegang Senja.
“A-aku?
Memotretmu?” Senja pura-pura tertawa. “Idih… ge-er amat. Memangnya kamu artis
terkenal?”
Cowok
itu menelengkan kepalanya dan tersenyum sinis. “Oh ya? Kamu nggak memotretku?
Coba aku lihat kameramu. Kalau sampai ada fotoku di sana, aku akan tuntut
kamu,” ancamnya.
Senja
membelalak panik. “J-jangan…! Iya deh, iya aku ngaku. Aku memang memotretmu,
tapi aku sama sekali nggak tahu kalau itu tadi kamu. Aku cuma suka lihat orang
berselancar, makanya aku potret. Tolong jangan tuntut aku, ya!” Senja memohon
sambil mengatupkan kedua tangannya.
Cowok
itu hanya diam sambil menatap tajam. Tapi beberapa detik kemudian, dia tertawa
keras.
Senja
menurunkan tangannya, heran menatap cowok di depannya. Kenapa dia tiba-tiba
tertawa? Apa yang lucu?
“Ya
ampun… aku nggak nyangka reaksimu akan seperti itu,” ucap cowok setelah tawanya
sedikit mereda. “Aku kan cuma bercanda. Aku kan bukan artis. Ngapain aku tuntut
kamu.” Setelah puas menertawakan Senja, dia melangkah pergi begitu saja, sama
seperti sebelumnya.
“Dasar
cowok aneh.” Senja menatap cowok itu beberapa saat, lalu kembali melanjutkan
perjalanannya menyusuri pantai sambil menunggu matahari terbenam.
**
“Jadi,
kita mau merayakan tahun baru di mana? Pantai, Bukit Malimbu, Bukit Nipah,
kafe, atau di hotel saja?” Rosi memberikan pilihan pada teman-temannya.
“Kamu
kan yang udah pernah ke sini. Menurutmu enaknya di mana?” Via balik bertanya.
Rosi
mengangkat bahu. “Aku nggak pernah ke sini pas tahun baru,” sahutnya. “Jadi aku
nggak tahu tempat paling asyik buat tahun baruan itu di mana.”
“Kalau
di hotel atau kafe, males ah. Kalau yang kayak gitu, ngapain jauh-jauh ke
Lombok,” ucap Senja. “Di pantai juga kayaknya bakal rame banget, Bukit Nipah
jauh. Gimana kalau Bukit Malimbu aja,” usulnya. “Tapi kita ke sananya agak
sorean, ya. Aku mau sekalian motret sunset.
Aku dengar sunset di sana bagus
banget.”
“Aku
sih oke aja,” sahut Rosi, lalu berpaling menatap Via. “Kamu gimana, Vi?”
“Aku
sih ke mana aja oke,” jawab Via. “Lagian, yang punya proyek merayakan tahun
baru di Lombok kan, Senja. Terserah Senja deh mau ke mana.”
“Oke,
berarti sudah diputuskan. Ntar sore kita akan berangkat ke Bukit Malimbu.
Sekarang aku mau tidur siang dulu, biar nanti malam nggak ngantuk pas
begadang.” Rosi langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“Aku
juga, ah.” Via mengikuti jejak Rosi.
Senja
menggeleng pelan menyaksikan teman-temannya bergelimpangan di atas tempat
tidur. Tapi akhirnya memutuskan mengikuti jejak mereka berdua juga.
Bagaimanapun, dia harus menyimpan energi untuk menyambut tahun baru nanti
malam. Dia nggak mau kalau sampai mengantuk waktu malam pergantian tahun.
**
Senja
membidikkan kameranya dan memotret matahari yang perlahan-lahan turun ke
peraduan. Ternyata benar, sunset di
Bukit Malimbu keren banget. Senja tersenyum senang dan sekali lagi membidikkan
kameranya pada pemandangan matahari terbenam. Begitu seterusnya sampai matahari
benar-benar masuk ke peraduan.
Setelah
puas menikmati sunset dan mendapat
foto-fotonya, Senja mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar bukit yang
dipenuhi manusia. Masyarakat lokal dan para wisatawan berbaur jadi satu,
sama-sama menikmati keindahan panorama Bukit Malimbu.
Senja
membidikkan kameranya pada teman-temannya yang sedang asyik makan jagung bakar
sambil ngobrol sama beberapa cowok entah siapa.
“Senja,
ayo sini! Jangan motret terus. Jagung bakarnya enak, lho!” Rosi berseru sambil
melambaikan tangannya pada Senja.
“Iya,
ntar!” Senja balas berseru, lalu kembali mengedarkan pandangannya mencari obyek
yang menarik untuk diabadikan. Tapi gerakannya terhenti begitu melihat
seseorang yang sangat tidak asing baginya.
Yeah,
dibilang tidak asing… nggak juga sih, karena Senja sama sekali nggak tahu siapa
sebenarnya orang itu. Tapi nggak bisa dibilang asing juga, karena Senja sudah
beberapa kali terlibat interaksi dengan orang itu secara nggak sengaja.
Yep,
orang itu adalah cowok aneh yang dia temui di kapal dan nggak sengaja dia
potret di pantai. Senja heran, kenapa dia selalu ketemu cowok itu di mana pun
dia berada. Di kapal, di pantai, bahkan di Bukit Malimbu. Memangnya mereka
punya pikiran yang sama ya, sampai-sampai selalu mengunjungi tempat yang sama.
Senja
menurunkan kameranya dan mengamati cowok yang sedang bermain gitar dan dikelilingi
teman-temannya itu. Hm… kalau dilihat-lihat, ternyata cowok itu cakep juga.
Badannya tinggi dan kekar, kulitnya putih agak gelap, dan yang paling disukai
Senja adalah wajah orientalnya yang mirip artis Korea itu. Dan kenyataan bahwa
cowok itu bisa bermain gitar dan berselancar, menjadi nilai plus bagi Senja.
Dari dulu dia memang suka banget sama cowok yang bisa main gitar dan
berselancar.
Senja
menggelengkan kepalanya. Ya ampun, aku mikir apa sih? umpatnya dalam hati.
Kenapa aku tiba-tiba mengagumi cowok aneh itu?
Senja
buru-buru membuang pikiran melanturnya dan melangkah pergi untuk bergabung
bersama teman-temannya.
**
Senja
menguap lebar, lalu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan
kirinya. Ya ampun, masih satu jam lagi tahun baru. Aku udah ngantuk banget,
gumamnya dalam hati.
“Kenapa
Nja? Ngantuk?” tanya Via.
Senja
mengangguk. “Aku mau jalan-jalan dulu deh, biar nggak ngantuk,” ujarnya seraya
berdiri.
“Jangan
jauh-jauh, ya! Ntar nyasar lagi,” pesan Rosi.
“Iya,
tahu.” Senja menyahut singkat, lalu melangkah meninggalkan teman-temannya yang
masih asyik nongkrong sama teman-teman baru mereka, cowok-cowok rombongan dari
Solo katanya.
Senja
terus melangkah sambil sesekali menggelengkan kepalanya untuk mnghilangkan
kantuk. Mending aku cari obyek untuk difoto aja daripada ngantuk, pikirnya
sambil mengangkat kamera. Namun gerakannya terhenti mendadak saat melihat obyek
pertama yang tertangkap kameranya adalah cowok aneh yang tadi, yang saat ini
juga sedang menatapnya.
Senja
mengangkat matanya dari layar kamera dan menatap cowok yang berdiri hanya
beberapa meter di hadapannya itu.
“Kamu
lagi,” ucap cowok itu. “Kamu benar-benar membuntutiku, ya?” tanyanya seraya
melangkah mendekati Senja.
“Ha?
Membuntutimu?” Senja terbelalak. “Enak aja. Ngapain juga aku buntutin kamu?
Ge-er!”
“Trus,
kenapa aku ketemu kamu lagi di sini?”
“Mana
aku tahu. Ini kan tempat umum,” balas Senja. “Jangan-jangan kamu lagi yang
buntutin aku.”
“Nggak.”
“Ya
udah, aku juga nggak. Kebetulan aja kita ketemu di sini.”
“Oke.
Mungkin memang begitu,” ujar cowok itu akhirnya. “Oh ya, aku Mario. Kamu?”
Cowok itu mengulurkan tangannya.
“Ha?”
Senja terngaga. Nih cowok memang benar-benar aneh. Abis nuduh Senja macam-macam,
sekarang malah ngajak kenalan.
“Nggak
punya nama, ya.” Mario berujar lagi tanpa menurunkan tangannya.
“Senja.”
Senja membalas uluran tangan Mario dan melepaskannya dalam beberapa detik.
“Nama
yang menarik,” gumam Mario. “Well,
kamu mau jalan-jalan?” Ia menawarkan.
“Ha?”
Senja semakin terperangah menatap cowok itu. Setelah beberapa kali pertemuan
yang aneh, trus akhirnya kenalan, sekarang dia langsung ngajak jalan-jalan?
“Yeah,
daripada cuma diam di sini, mungkin kamu mau jalan-jalan sama aku. Cuma di
sekitar sini aja, kok,” ucap Mario. “Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa.
Aku sendirian aja.” Ia cepat-cepat menambahkan.
Senja
berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Oke deh, aku mau.” Meskipun mereka baru
kenal, rasanya nggak bakal ada hal buruk yang terjadi. Lagipula mereka kan
nggak akan berjalan-jalan jauh, tetap di seputar Bukit Malimbu saja.
**
Senja
duduk bersama Mario di sisi lain Bukit Malimbu yang tak terlalu ramai. Embusan
angin bersahabat membelai wajah dan mengibarkan rambutnya.
“Jadi,
kamu masih sekolah? SMP? Kelas berapa?”
Senja
menoleh menatap Mario, bibirnya mengerucut. “Enak aja, SMP. Aku udah kuliah
tau!”
Mario
tertawa. “Sori, kamu nggak kelihatan kayak anak kuliahan.”
Senja
semakin merengut. “Iya, aku tahu tubuhku memang kecil,” tukasnya sewot. “Nggak
kayak kamu, enak, punya tubuh jangkung.”
“Hei,
siapa yang bahas tinggi badan sih?” sergah Mario.
“Trus,
apa maksudmu aku nggak kelihatan kayak anak kuliahan?”
“Tampangmu
itu lho, kayak anak SMP.”
Senja
mengernyit. “Masa?”
Mario
mengangguk. “Emang kamu nggak nyadar tiap kali ngaca?”
Senja
menggeleng pelan. “Rasanya nggak ada yang aneh.”
“Aku
kan nggak bilang tampangmu aneh,” balas Mario. “Tampangmu itu terlalu imut
untuk ukuran anak kuliah. Coba deh bandingkan sama anak kuliahan yang lain.”
Senja
menunduk, mukanya memerah. Baginya, ucapan Mario adalah sebuah pujian. Meskipun
dia sudah pernah dengar hal itu sebelumnya, tapi saat Mario yang mengatakan,
Senja jadi merasa tersanjung.
“So, apa itu topi istimewa?” Mario
bertanya lagi. Pertanyaan yang sama sekali nggak berhubungan dengan topik yang
semula mereka bicarakan.
Senja
mengangkat wajahnya dan berpaling menatap Mario. “Ha?”
Mario
menunjuk topi bundar yang bertengger di atas kepala Senja. “Kamu selalu pakai
topi itu,” katanya. “Apa pemberian pacar?”
Senja
menggeleng. “Bukan pemberian siapa-siapa,” jawabnya. “Aku cuma suka aja sama
topi ini.”
“Hm…
begitu, ya. Biasanya benda istimewa pemberian orang yang spesial.”
“Nggak,
kok. Aku beli sendiri,” balas Senja. “Lagipula, ini juga bukan benda istimewa,”
tambahnya. “Yeah, aku memang sangat suka, tapi… nggak terlalu terobsesi juga
sampai mengorbankan nyawaku untuk melindunginya.”
Mario
tertawa kecil. “Yeah, aku pernah dengar ada orang yang begitu menyayangi suatu
benda seperti itu.”
“Yang
jelas bukan aku,” sahut Senja. “Jangan-jangan kamu begitu.”
“Nggak
lah.”
“Oh
ya, gitarmu mana?” tanya Senja mengalihkan.
Mario
mengernyit heran. “Dari mana kamu tahu aku bawa gitar?”
Senja
tersenyum malu. “Sebenarnya… tadi sore aku nggak sengaja lihat kamu main
gitar,” akunya. Dan aku juga sempat mengagumimu, tambahnya dalam hati.
Mario
menelengkan kepalanya. “Kamu sudah tahu aku di sini sejak tadi sore?”
Senja
mengedikkan bahu. “Begitulah.”
“Kenapa
nggak menyapaku?”
“Aku
kan nggak kenal kamu.”
“Oh
iya, ya. Tadi kita belum kenalan.” Mario nyengir.
“Lalu
di mana gitarmu?” Senja kembali bertanya.
“Dipakai
temanku,” jawab Mario. “Kenapa? Kamu mau dengar permainan gitarku?” Mario
tersenyum menggoda.
“Sebenarnya,”
sahut Senja singkat.
“Aku
bisa ambil gitarku kalau kamu mau.”
Senja
menggeleng. “Nggak usah deh. Kapan-kapan aja.”
Mario
mengangkat kedua alisnya. “Memangnya menurutmu kita akan bertemu lagi?”
Senja
mengangkat bahu. “Mungkin,” sahutnya. Aku harap begitu, ia menambahkan dalam
hati.
Bum!
Ctar… ctar…ctrarr…
Mario
dan Senja sedikit terlonjak saat tiba-tiba terdengar suara kembang api
diluncurkan secara bertubi-tubi. Secara spontan, mereka memutar tubuh dan
melihat berbagai macam kembang api sudah mengangkasa di langit Bukit Malimbu.
“Sudah
jam 12, ya.” Mario melihat jam tangannya.
“Nggak
terasa ya, sudah tahun baru.” Senja berkata pelan sambil terus menatap pancaran
kembang api yang sangat indah. Dan tanpa memalingkan pandangannya dari kembang
api, tangannya mengangkat kamera dan mulai memotret langit yang berhiasakan
kembang api berwarna-warni itu.
“Kamu
suka fotografi, ya?” tanya Mario. “Aku lihat kamu nggak pernah lepas dari
kamera.”
Senja
tersenyum. “Yeah, begitulah.”
“Kamera
yang bagus,” komentar Mario setelah beberapa saat mengamati kamera di tangan
Senja.
Senja
berpaling menatap Mario. “Bukan punyaku,” sahutnya. “Ini punya sepupuku. Mana
bisa aku beli kamera mahal gini.”
Mario
mengangguk mengerti. “Sepupumu juga suka fotografi?”
Senja
mengangguk.
“Pantas
punya kamera canggih.”
Senja
hanya tersenyum, lalu kembali menikmati kembang api yang seolah tak ada
habisnya.
“Pinjam
kameramu,” pinta Mario.
Senja
kembali mengalihkan pandangannya dari kembang api dan menatap Mario. “Ha, buat
apa?”
“Ya,
buat foto lah,” jawab Mario. “Sini pinjam,” pintanya lagi.
Senja
melepas tali kamera dari lehernya dan menyerahkan kamera yang langsung diterima
oleh Mario.
“Ayo
kita foto bareng,” ajak Mario sambil menarik lengan Senja agar lebih mendekat
padanya.
Senja
yang masih bingung, hanya menurut saat Mario menariknya mendekat. Ia juga tetap
tak bergerak saat Mario menekan tombol kamera dan blits menyinari wajahnya.
“Ya
ampun, ekspresimu lucu sekali,” komentar Mario setelah melihat hasil
jepretannya pada layar kamera. “Ayo, sekali lagi!” ajaknya. “Tapi kali ini kamu
harus tersenyum, ya.” Ia menambahkan seraya kembali mengarahkan lensa kamera
pada mereka berdua.
“Say cheese…!” Mario berseru sebelum
menekan tombol kamera. Dan untunglah Senja sudah tersadar dari kebingungannya,
sehingga ia masih sempat tersenyum sebelum blits menyala menerpa wajahnya.
“Nah,
ini baru bagus.” Mario tersenyum senang setelah melihat hasil fotonya pada
layar kamera.
Senja
mengintip melewati bahu Mario. Terlihat foto mereka berdua berlatar belakang
kembang api berwarna-warni. Mario benar, memang foto yang bagus.
“Nih,
aku kembalikan. Makasih, ya.” Mario menyerahkan kamera pada Senja.
Senja
menerima kamera itu dan kembali mengalungkan talinya pada lehernya. Setelah
beberapa detik yang menegangkan sekaligus menyenangkan, kini rasanya dia
kehilangan kata-kata. Keduanya hanya diam sampai tak ada lagi kembang api yang
muncul di langit Bukit Malimbu.
“Jadi…
menurutmu… apa kita bisa bertemu lagi?” Mario membuka suara.
Senja
menatap Mario. “Apa kamu mau bertemu lagi?”
“Kalau
kamu mau.”
Senja
berpaling dari wajah Mario dan menatap pemandangan di depan. Jantungnya
tiba-tiba berdetak lebih cepat.
“Kalau
kamu nggak mau, aku nggak memaksa,” ucap Mario.
Senja
kembali menoleh pada Mario. “Aku mau, kok,” sahutnya cepat.
Mario
tersenyum. “Bagus,” balasnya. “Berapa lama rencananya kamu ada di sini?”
“Ehm…
mungkin sampai tanggal tiga,” jawab Senja. “Kamu?”
“Aku
lebih lama lagi,” balas Mario. “Aku dan teman-temanku juga berencana menyebrang
ke Gili Trawangan.” Ia menambahkan.
“Oh.”
Senja hanya mengangguk-angguk.
“So, kapan kita bertemu lagi?” tanya
Mario. “Besok?”
“Besok
apa nanti?” Senja balik bertanya. “Sekarang kan sudah pagi, tanggal satu.”
“Oh
iya.” Mario tertawa kecil. “Kalau kamu nggak terlalu ngantuk, mungkin kita bisa
bertemu nanti sore?”
Senja
tersenyum kecil. “Kalau nanti sore, kayaknya aku sudah bisa sadar seratus
persen.”
“Kalau
begitu… kita bertemu di Pantai Senggigi seperti kemarin?”
Senja
mnegernyit. “Pantai?”
“Di
hari pertama kita sampai, pas aku berselancar.” Mario mengingatkan.
“Oh…
ya… ya… aku tahu.” Senja akhirnya ingat. “Nggak jauh dari hotelku, kok.”
“Oke,
berarti deal, ya.”
Senja
mengangguk, lalu meraih hapenya yang tiba-tiba bordering nyaring. “Halo?”
“Senja,
kamu di mana? Ayo kita balik ke hotel. Aku udah ngantuk.” Suara Rosi terdengar
dari seberang.
“Iya,
aku akan ke sana sekarang.”
“Kamu
tahu jalan ke tempat yang tadi, kan?”
“Iya,
aku masih ingat, kok.”
“Ya
udah, aku tunggu. Kalau nyasar, kamu telepon aku, ya.”
“Iya.”
Senja memasukkan kembali hapenya ke dalam saku jaket setelah Rosi memutuskan
panggilan, lalu menatap Mario. “Ehm… aku harus pergi. Teman-temanku sudah mau
kembali ke hotel.”
“Oke,”
balas Mario. “Aku akan di sini sampai matahari terbit.”
Senja
tersenyum, lalu bangkit berdiri. “Kita bertemu lagi nanti sore?”
Mario
mengangguk. “Nanti sore. Di pantai. Jangan lupa.”
Senja
mengangguk. “Bye!” Ia melambaikan
tangannya dan mulai melangkah meninggalkan Mario.
**
Pukul
lima sore, tanggal 1 Januari, Senja sudah berdiri di tepi pantai yang terletak
tak jauh dari hotel tempatnya menginap. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar,
tapi tak melihat sosok Mario. Apa aku datang terlalu cepat, ya? pikirnya, atau
jangan-jangan aku berada di tempat yang salah.
Senja
kembali mengedarkan pandangannya. Dia yakin di tempat inilah dia bertemu Mario
di hari pertamanya sampai di Lombok. Tapi kenapa Mario tak tampak di mana pun?
Bahkan diantara cowok-cowok yang lagi berselancar pun Mario nggak ada.
Sebaiknya
aku tunggu saja, putus Senja seraya duduk di atas pasir, agak jauh dari bibir
pantai –biar bajunya nggak basah terkena ombak. Mungkin Mario memang belum
datang, pikirnya. Mungkin dia kecapekan abis begadang sampai pagi.
“Hei,
maaf. Aku telat, ya?”
Senja
menoleh, dan melihat Mario berlari kecil ke arahnya. “Nggak, kok,” sahutnya
sambil tersenyum. “Kita nggak janji mau ketemu jam berapa, kan.”
Mario
tertawa. “Ya, kita cuma janjian ketemu sore,” balasnya seraya duduk di samping
Senja.
“Dan
sekarang memang masih sore.” Senja menambahkan.
“Yeah.”
Mario kembali tertawa kecil. “Kamu… sudah lama?”
Senja
menggeleng. “Aku baru saja duduk saat kamu muncul.”
“Hh…
untunglah aku nggak membuat cewek menunggu terlalu lama.” Mario menghela nafas
lega.
Cendi
tertawa. “Oh ya, mana gitarmu?”
“Ha?”
“Katanya
kamu akan memainkan gitar kalau kita bertemu lagi.” Senja mengingatkan.
“Sekarang kan kita sudah bertemu lagi.”
“Sori,
aku lupa.” Mario tampak menyesal. “Kalau gitu, aku akan ambil gitarku sekarang.
Kamu tunggu di sini, ya.”
“Nggak
usah.” Senja meraih lengan Mario saat cowok itu hendak berdiri. “Aku kan cuma
bercanda. Kamu bisa menunjukkan permainan gitarmu padaku kalau kita bertemu
lagi nanti.”
Mario
kembali duduk dan menatap Senja. “Kamu ingin kita ketemu lagi setelah ini?”
Senja
mengangguk. “Kamu?”
“Tentu
saja,” balas Mario. “Aku harap kita masih terus berhubungan sampai setelah
pulang dari Lombok.”
“I hope so.”
“Kalau
begitu… kita bisa bertukar nomor hape, akun Facebook, Twitter, Skype, Line,
atau semacamnya.”
Senja
mengangguk dan tersenyum kecil. “Kita bisa bertukar semua yang bisa membuat
kita tetap terhubung.”
Mario
tersenyum, lalu tiba-tiba wajahnya berubah tegang. “Ehm… kamu… sudah punya
pacar?”
Senja
membelalak. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kenapa tiba-tiba Mario
menanyakan itu?
“Nggak
mau jawab ya? Apa itu artinya ‘ya’?”
“Nggak,”
sahut Senja cepat. “Aku nggak punya pacar.”
Mario
tersenyum. “Berarti… boleh dong, aku PDKT sama kamu?”
Senja
tak menjawab, warna merah memenuhi wajahnya. Jantungnya berdebar sangat kencang
sampai dia kesulitan bernafas.
“Jangan
khawatir. Mungkin wajahku agak aneh, tapi aku bukan playboy, kok.”
Senja
mengangkat wajahnya menatap Mario. “Aku tahu,” balasnya. Dan wajahmu sama
sekali nggak aneh, tapi cakep banget, tambahnya dalam hati.
“Jadi…
boleh?” Mario menatap Senja tajam.
Senja
mengangguk pelan. Jantungnya tetap berdetak lebih cepat, tapi dia merasa sangat
bahagia. Sementara di ufuk barat, matahari sudah mulai memasuki peraduan.
0 komentar:
Posting Komentar