Aku memukul lengan
Fredie dengan gemas. Sedang Pras cuma tertawa cekikikan melihatku yang sedari
tadi digoda terus sama Fredie. Tapi bagaimanapun usahaku memukul Fredie, selalu
saja mental. Abis, lengan Fredie gede banget.
“Kamu
gelitikin aku ya?” tanya Fredie sambil ketawa.
Aku
langsung manyun dan menghentikan usahaku.
“Ih…
ngambek. Lucu banget, lho!” Pras masih terus menertawakan aku.
Dengan
spontan kugigit lengan Pras. Dan seketika, Pras menjerit keras.
“Masih
bisa ketawa?!” tantangku.
Pras
nyengir.
“Kalo
berani, coba gigit aku!” tantang Fredie.
“Huh…
dasar gajah…! Mentang-mentang kulitnya tebel, badannya gede. Beraninya ama yang
kecil!” seruku.
“Hei…
udah…! Dari tadi godain adikku terus!” seru Mas Rasa, kakak sepupuku.
“Siapa
suruh punya adik lucu?!” kilah Fredie.
“Lucu…!
emangnya anak kucing?!” seruku nggak terima.
“Tapi
kamu kan emang lucu, kayak anak kucing.” Pras nimbrung lagi.
“Ini
lagi masih bisa bicara! Gua gigit lagi tau rasa lo!” ucapku ketus.
“Hei…
udah, dong. Ribut aja!” lerai Andi yang merasa acara nonton TV-nya terganggu.
“Hh…
ya udah, deh. Aku juga capek kok, godain Dini terus,” ucap Fredie.
“Apalagi
aku yang digigit,” sambung Pras.
“Apalagi
aku yang digoda!” balasku tak mau kalah.
Si
Pras and Fredie tertawa lagi. Abis itu kita nemenin Andi nonton TV dengan… sedikit
tenang.
Aku
dan Arna berjalan pelan mendekati Pras yang lagi duduk melamun kayak anak hilang
di halaman belakang mess tempat tim basket mereka bernaung.
“Hei…!”
Hentakanku
dan Arna mampu membuat Pras terlonjak. “Kalian… ganggu ketenangan orang aja,” sahut
Pras.
“Ngapain
kamu melamun sendirian di sini? Kesambet tau rasa, lho!” ucap Arna.
Pras
hanya tersenyum kecil.
“Lagian,
nggak biasanya kamu menyendiri gini,” sambungku.
“Ada
masalah? ”tanya Arna.
Pras menggeleng.
“Beneran?
Kalo emang ada masalah, cerita aja. Kita kan teman,” ucap Arna lagi.
“Udahlah…
aku nggak apa-apa, kok,” sahut Pras. “Kalian nggak usah mikirin aku. Mendingan
kalian pacaran aja sana! Ini kan, malam minggu.”
“Bener,
kamu nggak apa-apa?” tanyaku lagi.
“Bener.
Swear, deh! Aku cuma ingin sendiri,” jawabnya.
Aku
dan Arna saling berpandangan. “Ya, udah. Kalo gitu kami pergi dulu,” pamit
Arna.
“Baik-baik
ya, Pras!” pesanku.
Pras
hanya membalas dengan tersenyum kecil.
Aku
dan Arna melangkah pergi meninggalkannya. “Kamu merasa ada yang aneh nggak, sama
dia?” tanya Arna.
“Ya,
sih. Kayaknya ada yang dipikirin gitu,” sahutku. “Dia ada masalah di tim?” tanyaku.
“Setahuku
sih, nggak. Sama kita semua baik aja. Sama pelatih juga nggak ada masalah,” jawab
Arna.
“Mungkin
dia ada masalah lain. Manusia kan pasti punya masalah pribadi,” ucapku.
Arna
mengangguk setuju. Kami sudah tidak membahas masalah itu lagi. Yeah… semoga
saja Pras cepet balik lagi kayak biasannya. Bagaimanapun, ngumpul bareng tanpa
Pras, rasanya kurang lengkap.
Heran,
beberapa hari ini tampang Pras nggak pernah kelihatan. Pas tim basketnya lagi
latihan, juga pas kita lagi kumpul bareng.
“Eh,
Pras kemana, sih?” tanyaku pada anak-anak.
“Kenapa
tanya dia?” Fredie balik nanya.
“Iya,
Arna tuh tanyain! Masa nanyain Pras?!” sambung Ari.
“Kok
tanggapannya gitu, sih?! Emangnya nggak boleh aku nanya Pras yang udah beberapa
hari ini nggak kelihatan? Kita semua kan teman, masa aku nggak boleh tau?” balasku.
“Iya…
iya. Nggak usah marah,” sahut Fredie. “Sebenarnya… kita-kita juga pada cariin
dia. Dia ngilang gitu aja,”
“Maksudnya?”
tanyaku nggak ngerti.
“Yeah…
gitu! Pras tiba-tiba aja ilang. Dia nggak ngasih kabar dan nggak cerita
apa-apa. Langsung ilang gitu aja,” sambung Ari.
“Kalian
udah coba hubungin keluarganya atau siapa, gitu?” tanyaku.
“Kita
udah coba hubungi semua, tapi nggak ada hasilnya. Pras seperti hilang ditelan
bumi,” Arna tiba-tiba ikut nimbrung.
“Jadi saat ini nggak ada yang tahu dimana
dia?” tanyaku.
Anak-anak
menggeleng.
Arna
merangkulku. “Aku tahu dia sahabatmu, kamu pasti kehilangan dia. Kita semua
juga kehilangan dia,” ucap Arna.
“Kamu
nggak marah, Ar?” tanyaku.
“Kenapa
musti marah? Aku ngerti, kok. Kita semua kan teman,” balas Arna.
Aku
tersenyum. Tumben Arna dewasa. Biasanya dia cemburuan banget. Yeah… tapi Pras
kan, teman kita semua.
Dua
minggu Pras pergi. Sampai saat ini, nggak ada yang tahu dimana dia berada. Hh…
rasanya ada yang hilang sejak kepergian Pras. Nggak ada lagi senyuman khasnya
yang kocak, rambut kriwulnya yang lucu, juga wajah manisnya dan gelak tawanya
yang sering meramaikan suasana. Semuanya hilang.
Aku
pun nggak bisa berbuat apa-apa. Saat ini, yang bisa kulakukan hanya berdoa pada
Tuhan, agar melindunginya dimanapun dia berada. Dan semoga suatu saat nanti
Pras akan kembali berkumpul bersama kami.
Kubuka
pelan kamar Pras yang kosong. Semua masih sama seperti dulu. Dia pergi hanya
membawa pakaian dan barang-barang berharganya. Poster-poster yang menghiasi
dinding kamarnya tetap utuh.
Aku
duduk di sebuah kursi di samping ranjang Pras yang kosong. Kuamati meja kososng
di hada panku. Entah sejak kapan, dalam
hatiku yang paling dalam, aku begitu menyayangi Pras. Tapi kini dia pergi tanpa
kutahu alasannya. Tanpa sadar, tanganku menyentuh laci meja dan membukanya. Di
dalamnya kutemukan secarik potongan kertas kecil. Secarik kertas bertuliskan I Love Dini.
Cepi R. Dini
0 komentar:
Posting Komentar