“Mama ndak mau
seperti ini Pa!, Papa tidak pernah beri Mama kesempatan. Apa-apa selalu Mama
yang salah. Mama pingin berubah, Mama mau jadi ibu yang baik!” suara Mama keras
sambil terisak.
”Cukup Ma. Tiap hari Mama selalu
keluar rumah. Arisan lah, ke salon lah, inilah itulah. Doni jadi ga keurus.
Papa capek. Papa malu. Kalau hari ini papa ndak bertindak, Doni pasti masih di
penjara. Iya kan? Untung selama ini Doni belum pernah terlibat kasus. Kalau
tidak, susah bagi Papa buat bawa Doni pulang!” sahut Papa tak kalah kerasnya.
”Tapi Pa...
Aku muak dengan semua ini, Pa dan Ma
cuma bisa saling menyalahkan. Daripada disini, lebih baik aku dipenjara. Tak
perlu kudengar lengkingan Mama, tak perlu kudengar bentakan Papa. Aku...
Sendiri aku meringkuk di sudut
kamar, kedua tanganku memeluk lutut. Kepalaku pening. Aku bosan dengan semua
ini. Bagaimana aku bisa lepas. Bagaimana....
ΩΩΩΩ
Tubuhku letih. Perlahan aku merasa
tubuhku terasa ringan. Gelap. Pekat. Tiba-tiba aku berada di sebuah padang
rumput yang luas. Hawa dingin membelai pipiku. Nyaman. Aku berlari berkeliling.
Bebas. Terasa hilang semua beban yang kurasa. Namun di kejauhan terdengar
keramaian. Aku tertarik. Dan tanpa kusadari kakiku telah beranjak kesana. Entah
kekuatan apa yang membawaku. Semakin lama suara itu pun semakin keras
terdengar.
Tapi aku tersentak. Yang kulihat
tidak seperti yang kuharapkan. Disana pa dan ma tampak berdiri berhadapan namun
tatapan keduanya sungguh menakutkan. Benci. Amarah. Tatapan yang selama ini
belum pernah aku lihat. Aku muak melihat itu semua. Apalagi disana puluhan
orang tampak bersorak seolah pertengkaran Pa dan Ma adalah suatu pemandangan
yang menyenangkan. Langit yang semula cerah pun tiba-tiba berubah gelap
diiringi suara petir yang menyambar. Perasaan muak itu terasa naik ke ubun-ubun
dan tanpa kusadari aku pun berteriak dan berlari menghindar. Semua yang ada di
tempat itu terkejut dan menoleh kepadaku. Pa dan Ma yang semula saling tatap
pun ikut berpaling dan berbalik mengejar sambil berteriak memanggilku. Tak
kuhiraukan panggilan mereka. Aku terus berlari dan berlari sambil kututup kedua
telingaku. Saat itu yang tergambar dibenakku adealah keinginan untuk pergi. Pergi
sejauh mungkin, melupakan semua tentang mereka, pertengkaran dan apapun itu.
Berharap aku bukan darah daging mereka. Aku terus berlari dan berlari.
Teriakanku pun makin lama makin keras. Namun makin kucoba untuk menjauh seolah
Pa dan Ma semakin dekat denganku. Tiba-tiba kurasa tubuhku terguncang dengan
hebatnya. Letih. Lemah dan tak berdaya. Teriakanku pun semakin samar. Namun....
”Don, bangun sayang. Bangun.”
terdengar suara Ma yang panik.
Aku tersentak. Masih terengah-engah kudapati
diriku meringkuk di sudut kamar. Rupanya tadi aku telah bermimpi. Kulihat Pa
dan Ma menatapku khawatir.
Mendadak aku bangkit. Tak
kupedulikan langkahku yang masih terhuyung-huyung. Aku harus pergi dan kuharap
ini bukanlah mimpi. Kuraih kunci motorku dan kularikan denagn kecepatan setan.
Aku benar-benar tidak peduli. Dalam pikiranku yang terlihat hanya bayangan
pertengkaran Pa dan Ma. Pemandangan itu beralih seperti film lama yang diputar
kembali. Di tengah galauku sebentuk bayangan mendadak melintas didepanku. Aku
tersentak. Laju motorku tak dapat aku kendalikan tapi rupanya bayangan itu
sempat menghindar. Tubuhku terhempas di sisi trotoar. Penglihatanku
berkunang-kunang. Pedih. Setetes cairan merah merembes ke mataku. Dan aku
merasa tubuhku melayang. Ringan. Aku pun tak ingat apa-apa.
ΩΩΩΩ
Sesuatu yang dingin menyentuh
dahiku. Sambil mengerjab-ngerjabkan mata, kulihat seorang gadis sedang mengusap
sesuatu di wajahku. Samar kudengar suara seseorang yang sedang bercakap-cakap.
Entah apa yang mereka bicarakan.
”Alhamdulillah dia sudah sadar.
Untung saja lukanya tidak terlalu parah. Nanti kalau kesadarannya sudah
benar-benar pulih tanyakan siapa namanya dan dimana rumahnya. Orang tuanya
pasti sudah khawatir.” kata seorang yang lebih tua.
”Baik Pak. Nanti Fajar
tanyakan.”sahut seorang yang lebih muda.
”Iya, alhamdulillah ya Pak. Kalau
hari ini ia tidak sadar kita terpaksa harus bawa dia ke dokter. Meskipun dengan
resiko ditanyai polisi macem-macem.” yang cewek pun ikut menimpali.
Aku coba untuk bangkit tapi semua
persendianku terasa ngilu. Kepalaku pun terasa berat.
”Jangan bangun dulu Mas. Lukanya
masih belum sembuh benar. Mas harus banyak-banyak istirahat.” katanya sambil
tangan mencegahku beranjak.
”Mas, ada di rumahku. Dua hari
kemarin mas pingsan. Sekarang jangan banyak gerak. Mas harus istirahat.” katanya
lagi.
Aku memilih untuk menurutinya.
Tubuhku memang tak bisa diajak kompromi. Tak lama aku pun terlelap.
ΩΩΩΩ
Pentingkah
aku hidup, tak ada yang peduli padaku. Bahkan Pa dan Ma. Mungkin sekarang
mereka masih sibuk bertengkar mengagungkan ego masing-masing. Aku capek. Kapan
aku bisa tenang....
Aku termenung sendiri di kamar ini. Ruangan sempit dengan ukuran yang ku taksir
tak lebih dari sepertiga kamarku. Dengan hanya ranjang dan sebuah meja usang.
Pemandangan yang sungguh bertolak belakang dengan apa yang ada di kamarku.
Namun disini. Di kamar ini. Aku menangkap kesan yang sama sekali jauh berbeda
dengan apa yang kurasa setiap aku berada di dalam kamarku sendiri. Di sini aku
merasa nyaman, tenang. Perlahan mataku pun terpejam. Mimpi yang sama itu pun terulang
lagi. Dadaku pun tiba-tiba menjadi sesak dan lagi-lagi badanku terguncang
dengan hebatnya.
Sayup-sayup kudengar suara
seseorang. Bukan Pa ataupun Ma. Entah. Aku takut membuka mata tapi aku pun
takut bila mimpi yang sama itu akan menghantuiku lagi. Hingga...
”Nak ini Bapak. Jangan takut.
Istighfar.” suara Pak Amir menenangkanku.
Perlahan kubuka mataku. Yang
terlihat disana memang Pak Amir dan Fajar. Dan seorang gadis yang tergopoh-gopoh membawa
segelas air putih untukku, Sarah. Mereka kelihatan begitu khawatir. Namun untuk
menenangkan mereka, ku coba untuk tersenyum. Tapi kepanikan dan ketakutan
masih tergambar jelas di mukaku. Fajar tampaknya tahu apa yang kurasa. Malam
itu ia memaksa untuk menemaniku. Meski berkali-kali kuyakinkan dia bahwa aku
tidak apa-apa. Namun meski Fajar menemaniku malam ini. Sedetik pun mataku tak
dapat ku pejamkan. Mungkin karena kondisiku yang masih lemah meski kupaksa
terjaga akhirnya aku pun tertidur juga. Entah berapa lama aku tertidur. Hingga
sayup-sayup kudengar lantunan irama yang dulu pernah mengakrabiku. Lantunan
yang selalu membuatku nyaman, damai, dan merasa terlindungi.
”Cucuku, jangan pernah lupa akan
kewajibanmu. Mengaji itu penting. Dengan mengaji kamu akan selalu merasa dekat
dengan Dzat yang memberi hidup.” nasehat seorang tua yang selalu kupanggil kakek.
Mengaji. Hal yang telah lama tidak
pernah kulakukan sejak aku menginjak remaja. Kakek yang biasanya mendidikku
untuk selalu beribadah mendadak dipanggil Yang Kuasa. Saat itu aku merasa
seperti orang yang paling menderita. Karena Pa dan Ma sedetik pun tidak pernah
benar-benar berada disisiku. Saat itu aku sangat membutuhkan orang yang tidak
hanya menyayangiku namun juga mengingatkanku akan khilafku, memarahi saat aku
berbuat salah. Selama ini Pa dan Ma hanya berpikir bahwa kasih sayang yang
kubutuhkan adalah harta. Saat itu pula sebentuk kerinduan menjalar di sekujur
tubuhku. Di setiap denyut nadiku. Tiba-tiba aku ingin melepas rinduku akan
sesuatu yang sempat kulupakan di sisa hidupku. Aku ingin mengaji.
Alunan suara Fajar yang merdu mengugah batinku. Tak terasa setetes embun
bening mengalir di pipiku. Batinku terasa haus. Namun kuurungkan niatku. Aku
merasa tak pantas untuk menyentuh dan mungkin membacanya. Tubuhku terlalu kotor
seperti juga jiwaku. Aku merasa terlalu hina. Aku pun tergugu. Tubuhku
berguncang hebat. Sekali lagi aku menggigil. Dan seperti sebelumnya. Kembali
Fajar menenangkanku. Dia pun mengambil air putih yang berada di sisi
pembaringan.
”Apa yang kamu rasa? maafkan kalo aku telah mengganggu tidurmu.” Kata Fajar
sambil menatapku. Tampaknya ia begitu merasa bersalah.
”Kamu tau Jar. Mungkin kamu tidak percaya, kalo aku dulu begitu
mengakrabinya.”Kataku.
”Maksudmu?”tanyanya lagi.
”Dulu...dulu sekali. Kitab itu begitu akrab denganku. Hingga semuanya
berubah. Kakek yang biasanya membimbingku dipanggil oleh Yang Kuasa. Sejak itu
aku seperti kehilangan arah dan tujuanku. Apalagi tak seorang pun
peduli padaku, termasuk Pa dan Ma. Aku pun makin menggila. Hampir separuh
hidupku kuhabiskan dijalanan. Tapi sekarang, bersama keluargamu. Aku seperti terlahir
kembali. Tapi Jar, apakah aku masih punya kesempatan lagi??”tanyaku bimbang.
”Alhamdulillah kalo kamu sudah sadar. Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang.
Dia dapat memaafkan umatNYA selama kesalahan yang sama tidak akan terulang
kembali.”
“Kenapa
kamu bisa seyakin itu...? Sementara sudah terlalu banyak orang yang aku sakiti,
Kakek, Pa, Ma dan entah siapa
lagi.” Aku pun
tergugu.
“Maafin aku
Jar… Mungkin kamu berpikir aku terlalu cengeng. Ga gentle. Tapi…”
“Ga ada yang
melarang kamu menangis. Siapapun berhak untuk menangis. Apalagi jika tangisan
itu bisa membuatmu merasa lega. Namun yang lebih utama lagi apa yang kamu
lakukan setelah ini.”
“Maksudnya???”
“Allah itu Maha
Pengampun akan umatNYA. Apalagi buat mereka yang menyadari kesalahannya. Kalo
kamu mau merubah diri menjadi seseorang yang baru mungkin air mata yang keluar
akan menjadi lebih berarti.”
“Tapi apa aku
bisa?? ”
“Kita tak
pernah tahu kita bisa, kita mampu atau tidak jika kita belum mencobanya. Iya
kan??”
“Kamu mau bantu
aku??”
“InsyaAllah…
nanti kan juga ada Bapak yang akan membimbing kamu.”
“Makasih Jar.”
Kami pun
berpelukan. Aku masih menangis. Tapi tagisanku ini adalah tangis bahagia.
Tangis dari seorang insan yang mulai besok akan memulai lembaran baru. Mengisi
kertas kusam yang sebelumnya penuh dengan coretan.
ΩΩΩΩ
Ini hari
pertama aku memulai pelajaran rohani ku. Rasanya aku tidak sabar untuk segera
memulainya. Adrenalinku serasa di ubun-ubun. Perasaan yang biasanya baru aku
rasakan setiap aku mengemudikan motorku dengan kecepatan setan. Aku pun
mengenakan baju koko yang semalam diberikan Fajar padaku. Koko putih dengan
sarung kotak-kotak biru, warna kesukaanku serta kopiah hitam. Semua
perlengkapan itu aku pakai.
Tak lama
berselang aku mendapati pantulan wajah seseorang yang seolah belum pernah aku
temui hadir disana. Doni Putrawan, putra bapak Wira Putrawan. Seorang pengusaha
batu bara terkenal kini tengah berdiri tegak disana. Rupanya aku juga masih
terlihat tampan dengan pakaian ini. Padahal aku dulu paling anti untuk
mengenakannya. Kini semua berubah.
“Ehem…ehem…
lagi kagum ma diri sendiri nie…”
“Eh… Fajar…”
gelagapan aku pun melepas kopiahku dan memainkannya di tanganku. Rasanya malu
juga ketahuan mengagumi diri sendiri.
“Sudah… itu
kopiah dipakai aja. Tambah gagah dan ganteng lagi. Ngapain di lepas. Sini aku
bantu.” Fajar pun meraih kopiah itu dari tanganku dan memasangnya di kepalaku.
Kami berdua tersenyum melihat pantulan di cermin. Yang terlihat kini bukan
hanya satu tapi dua orang santri…
ΩΩΩΩ
Terdiam aku
menatap gemericik air yang mengalir di pancuran. Sementara itu di bawahnya
tampak ikan-ikan kecil yang berlain kesana kemari. Entah apa yang mereka
perebutkan. Namun meskipun demikian aku tidak melihat mereka saling
bertubrukan. Sungguh simponi yang sangat indah. Kenapa aku baru menyadarinya
sekarang?? Kemana aku selama ini. Kenapa aku tidak menyadari bahwa ternyata
kebersamaan itu indah. Bahwa hidup itu tidak sendiri dan ada orang-orang lain
di sekelilingku. Mereka yang mungkin membutuhkan bantuanku dan aku butuhkan.
Kenapa aku tidak pernah tau itu???
“Jangan nglamun
Don, Allah ga suka orang yang kerjaannya nglamun.” Kata Fajar sambil menepuk
pundakku.
“Eh kamu… nggak
kok. Sapa juga yang nglamun. Cuma lagi mikir. Kok ikan itu ga capek ya, muter-muter
dari tadi. Mereka juga ga bertengkar. Meskipun di kelompoknya itu ga hanya
terdiri dari beberapa ekor. Tapi lihat banyak banget kan??” kataku sambil
menunjuk gerombolan ikan-ikan yang masih tak henti bergerak ke sana kemari.
“Ikan-ikan itu
sebenarnya hanya sekelumit contoh kecil yang Allah tunjukkan pada kita. Betapa
perbedaan itu indah. Betapa keanekaragaman itu justru memperkaya kita. Seperti
ikan-ikan itu. Meskipun mereka memiliki corak yang berbeda tapi mereka masih
bisa membaur satu sama lain. Seperti juga kita. Meskipun Allah menciptakan kita
dengan kondisi dan keadaan yang berbeda-beda. Namun sesungguhnya itu semua
justru untuk menambah persaudaraan diantara kita.”
“Maksudnya…
Kalo kita rukun. Ga bakalan ada pertengkaran ataupun gontok-gontokan. Gitu??
Tapi kenapa ortuku ga gitu ya?? Tiap hari tengkar mulu. Telingaku capek Jar
dengerinnya…” Ceritaku sambil memainkan rumput yang sejak tadi kumainkan.
“Dalam sebuah
keluarga, pertengkaran itu biasa. Hanya saja memang tergantung bagaimana
individu masing-masing untuk bisa memahami dan mengerti perbedaan yang ada.”
“Lalu apa yang
harusnya aku lakukan??”
“Mungkin mang
sudah saatnya buat kamu kembali ke rumah. Kamu ga bisa selamanya lari seperti
ini. Karena justru tugas kamulah untuk menyatukan orang tua kamu. Bukan malah
lari dan tidak peduli. Itu sich saranku. Tapi maaf ya kalo kata-kataku seolah menggurui.”
“Ga pa pa kok.
Mang benar, ga seharusnya aku begini. Lari dari masalah. Padahal mereka itu
adalah orang yang sudah menyebabkan aku ada di dunia ini. Harusnya aku bisa
sedikit dewasa. Kamu benar Jar. Mungkin ini saatnya aku untuk kembali. Memulai
semua dari awal lagi. Tapi kalo aku pulang, kamu masih menerima kedatanganku
kan??”
“Kenapa tidak??
Kita kan sudah jadi saudara.”
“Iya, saudara
lain ibu lain bapak…”
“Iya… tapi satu
nenek moyang. Nabi Adam. Iya khan??”
“Ah kamu bisa
aja…”
“Eh udah adzan tuch.
Yuk sholat dulu.”
Berdua kami pun
berangkulan dan berjalan meninggalkan sungai. Setelah sebelumnya mengambil air
wudhu terlebih dahulu.
ΩΩΩΩ
“Pak, saya mau
pamitan sama Bapak.”
“Kenapa
buru-buru. Memangnya kamu sudah siap?”
“Siap tidak
siap saya tetap harus pulang. Saya merasa sudah waktunya untuk saya memperbaiki
keluarga saya Pak.”
“Iya Bapak juga
setuju. Yang penting semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Jangan
seperti dulu. Kebut-kebutan. Sayang sama diri Nak. Karena kita juga tidak tahu sampai
kapan kita ada di dunia ini. Jadi kita harus mempersiapkan diri baik-baik.
Ingat itu ya…”
“InsyaAllah
pak. Alhamdulillah selama disini Bapak dan Fajar telah mengajari saya banyak
hal. Membuat saya menyadari apa maksud adanya saya di dunia ini. Terima kasih Pak.”
Aku pun berdiri
dan memeluk bapak. Memang aku baru seminggu disini. Tapi keramahan yang
ditawarkan membuat aku merasa seperti berada di antara keluargaku sendiri. Rasa
rindu ku pada Pa dan Ma tiba-tiba muncul entah kenapa.
“Kapan rencana
mau pulang??”
“InsyaAllah
besok pagi. Ini tadi saya sudah bilang sama Fajar.”
“Ya sudah,
besok hati-hati ya… Maaf mungkin besok Bapak tidak bisa mengantarkan Nak Doni
karena ada acara di kampung sebelah besok, jadi Bapak harus berangkat malam
ini. Maaf ya… ”
“Tidak
apa-apa pak. Terima kasih.”
ΩΩΩΩ
Hari ini aku
kembali ke kehidupan ku yang sebenarnya. Kehidupan yang seminggu ini aku
tinggalkan, Pa, dan Ma. Kepergianku diantarkan Sarah dan Fajar. Rasanya ada
yang hilang di benakku. Entah apa.
Sepanjang
perjalanan tak henti aku berdoa dalam hati. Berharap agar Pa dan Ma akan bisa
berbaikan. Berharap agar aku bisa menjalani kehidupanku dengan lebih baik.
Berharap agar hidup yang diberikan padaku saat ini akan bisa bermanfaat untuk
orang lain. Harapan-harapan yang membuatku tanpa sadar mempercepat laju
motorku. Saking asyiknya aku bermain-main dengan harapanku. Dari arah depan
melaju truk kontrainer dengan muatan yang entah apa menghantamkanku, Tubuhku
pun terpelanting. Aku merasa tubuhku terasa ringan, melayang. Sebelum akhirnya
jatuh di aspal. Satu persatu bayangan wajah orang yang kukenal hadir
dihadapanku. Pa, Ma, Fajar, Sarah, Bapak… dan Kakek. Kenapa aku begitu takut…
ketakutan yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Aku takut mati. Aku takut tak
bisa mengembalikan keutuhan keluargaku. Aku takut. Ya Allah, tolonglah hambamu
ini. Aku ingin pulang….
Cerpen by Atika Utami
"Saya adalah seorang yang selalu ingin belajar. Belajar apa saja selama itu baik dan bermanfaat. Menulis menjadi hobi saya
sejak lama namun saya masih terlalu takut untuk berbagi karya saya dengn orang
lain. Semoga dengan memulainya dari sekarang, saya bisa lebih percaya diri."
1 komentar:
thank's banget buat Mbak Tika yang udah berbagi cerpennya di sini
maaf, baru bisa komen sekarang
terus berkarya ya, Mbak!
jangan takut cerpennya dibaca orag lain :)
ditunggu cerpen terbarunya :D
Posting Komentar