Jumat, 21 Desember 2012

PULANG


“Mama ndak mau seperti ini Pa!, Papa tidak pernah beri Mama kesempatan. Apa-apa selalu Mama yang salah. Mama pingin berubah, Mama mau jadi ibu yang baik!” suara Mama keras sambil terisak.
            ”Cukup Ma. Tiap hari Mama selalu keluar rumah. Arisan lah, ke salon lah, inilah itulah. Doni jadi ga keurus. Papa capek. Papa malu. Kalau hari ini papa ndak bertindak, Doni pasti masih di penjara. Iya kan? Untung selama ini Doni belum pernah terlibat kasus. Kalau tidak, susah bagi Papa buat bawa Doni pulang!” sahut Papa tak kalah kerasnya.

            ”Tapi Pa...
            Aku muak dengan semua ini, Pa dan Ma cuma bisa saling menyalahkan. Daripada disini, lebih baik aku dipenjara. Tak perlu kudengar lengkingan Mama, tak perlu kudengar bentakan Papa. Aku...
            Sendiri aku meringkuk di sudut kamar, kedua tanganku memeluk lutut. Kepalaku pening. Aku bosan dengan semua ini. Bagaimana aku bisa lepas. Bagaimana....
ΩΩΩΩ
            Tubuhku letih. Perlahan aku merasa tubuhku terasa ringan. Gelap. Pekat. Tiba-tiba aku berada di sebuah padang rumput yang luas. Hawa dingin membelai pipiku. Nyaman. Aku berlari berkeliling. Bebas. Terasa hilang semua beban yang kurasa. Namun di kejauhan terdengar keramaian. Aku tertarik. Dan tanpa kusadari kakiku telah beranjak kesana. Entah kekuatan apa yang membawaku. Semakin lama suara itu pun semakin keras terdengar.
            Tapi aku tersentak. Yang kulihat tidak seperti yang kuharapkan. Disana pa dan ma tampak berdiri berhadapan namun tatapan keduanya sungguh menakutkan. Benci. Amarah. Tatapan yang selama ini belum pernah aku lihat. Aku muak melihat itu semua. Apalagi disana puluhan orang tampak bersorak seolah pertengkaran Pa dan Ma adalah suatu pemandangan yang menyenangkan. Langit yang semula cerah pun tiba-tiba berubah gelap diiringi suara petir yang menyambar. Perasaan muak itu terasa naik ke ubun-ubun dan tanpa kusadari aku pun berteriak dan berlari menghindar. Semua yang ada di tempat itu terkejut dan menoleh kepadaku. Pa dan Ma yang semula saling tatap pun ikut berpaling dan berbalik mengejar sambil berteriak memanggilku. Tak kuhiraukan panggilan mereka. Aku terus berlari dan berlari sambil kututup kedua telingaku. Saat itu yang tergambar dibenakku adealah keinginan untuk pergi. Pergi sejauh mungkin, melupakan semua tentang mereka, pertengkaran dan apapun itu. Berharap aku bukan darah daging mereka. Aku terus berlari dan berlari. Teriakanku pun makin lama makin keras. Namun makin kucoba untuk menjauh seolah Pa dan Ma semakin dekat denganku. Tiba-tiba kurasa tubuhku terguncang dengan hebatnya. Letih. Lemah dan tak berdaya. Teriakanku pun semakin samar. Namun....
            ”Don, bangun sayang. Bangun.” terdengar suara Ma yang panik.
            Aku tersentak. Masih terengah-engah kudapati diriku meringkuk di sudut kamar. Rupanya tadi aku telah bermimpi. Kulihat Pa dan Ma menatapku khawatir.
            Mendadak aku bangkit. Tak kupedulikan langkahku yang masih terhuyung-huyung. Aku harus pergi dan kuharap ini bukanlah mimpi. Kuraih kunci motorku dan kularikan denagn kecepatan setan. Aku benar-benar tidak peduli. Dalam pikiranku yang terlihat hanya bayangan pertengkaran Pa dan Ma. Pemandangan itu beralih seperti film lama yang diputar kembali. Di tengah galauku sebentuk bayangan mendadak melintas didepanku. Aku tersentak. Laju motorku tak dapat aku kendalikan tapi rupanya bayangan itu sempat menghindar. Tubuhku terhempas di sisi trotoar. Penglihatanku berkunang-kunang. Pedih. Setetes cairan merah merembes ke mataku. Dan aku merasa tubuhku melayang. Ringan. Aku pun tak ingat apa-apa.
ΩΩΩΩ
            Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku. Sambil mengerjab-ngerjabkan mata, kulihat seorang gadis sedang mengusap sesuatu di wajahku. Samar kudengar suara seseorang yang sedang bercakap-cakap. Entah apa yang mereka bicarakan.
            ”Alhamdulillah dia sudah sadar. Untung saja lukanya tidak terlalu parah. Nanti kalau kesadarannya sudah benar-benar pulih tanyakan siapa namanya dan dimana rumahnya. Orang tuanya pasti sudah khawatir.” kata seorang yang lebih tua.
            ”Baik Pak. Nanti Fajar tanyakan.”sahut seorang yang lebih muda.
            ”Iya, alhamdulillah ya Pak. Kalau hari ini ia tidak sadar kita terpaksa harus bawa dia ke dokter. Meskipun dengan resiko ditanyai polisi macem-macem.” yang cewek pun ikut menimpali.
            Aku coba untuk bangkit tapi semua persendianku terasa ngilu. Kepalaku pun terasa berat.
            ”Jangan bangun dulu Mas. Lukanya masih belum sembuh benar. Mas harus banyak-banyak istirahat.” katanya sambil tangan mencegahku beranjak.
            ”Mas, ada di rumahku. Dua hari kemarin mas pingsan. Sekarang jangan banyak gerak. Mas harus istirahat.” katanya lagi.
            Aku memilih untuk menurutinya. Tubuhku memang tak bisa diajak kompromi. Tak lama aku pun terlelap.
ΩΩΩΩ
            Pentingkah aku hidup, tak ada yang peduli padaku. Bahkan Pa dan Ma. Mungkin sekarang mereka masih sibuk bertengkar mengagungkan ego masing-masing. Aku capek. Kapan aku bisa tenang....
Aku termenung sendiri di kamar ini. Ruangan sempit dengan ukuran yang ku taksir tak lebih dari sepertiga kamarku. Dengan hanya ranjang dan sebuah meja usang. Pemandangan yang sungguh bertolak belakang dengan apa yang ada di kamarku. Namun disini. Di kamar ini. Aku menangkap kesan yang sama sekali jauh berbeda dengan apa yang kurasa setiap aku berada di dalam kamarku sendiri. Di sini aku merasa nyaman, tenang. Perlahan mataku pun terpejam. Mimpi yang sama itu pun terulang lagi. Dadaku pun tiba-tiba menjadi sesak dan lagi-lagi badanku terguncang dengan hebatnya.
            Sayup-sayup kudengar suara seseorang. Bukan Pa ataupun Ma. Entah. Aku takut membuka mata tapi aku pun takut bila mimpi yang sama itu akan menghantuiku lagi. Hingga...
            ”Nak ini Bapak. Jangan takut. Istighfar.” suara Pak Amir menenangkanku.
            Perlahan kubuka mataku. Yang terlihat disana memang Pak Amir dan Fajar. Dan seorang gadis yang tergopoh-gopoh membawa segelas air putih untukku, Sarah. Mereka kelihatan begitu khawatir. Namun untuk menenangkan mereka, ku coba untuk tersenyum. Tapi kepanikan dan ketakutan masih tergambar jelas di mukaku. Fajar tampaknya tahu apa yang kurasa. Malam itu ia memaksa untuk menemaniku. Meski berkali-kali kuyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. Namun meski Fajar menemaniku malam ini. Sedetik pun mataku tak dapat ku pejamkan. Mungkin karena kondisiku yang masih lemah meski kupaksa terjaga akhirnya aku pun tertidur juga. Entah berapa lama aku tertidur. Hingga sayup-sayup kudengar lantunan irama yang dulu pernah mengakrabiku. Lantunan yang selalu membuatku nyaman, damai, dan merasa terlindungi.
            ”Cucuku, jangan pernah lupa akan kewajibanmu. Mengaji itu penting. Dengan mengaji kamu akan selalu merasa dekat dengan Dzat yang memberi hidup.” nasehat seorang tua yang selalu kupanggil kakek.
            Mengaji. Hal yang telah lama tidak pernah kulakukan sejak aku menginjak remaja. Kakek yang biasanya mendidikku untuk selalu beribadah mendadak dipanggil Yang Kuasa. Saat itu aku merasa seperti orang yang paling menderita. Karena Pa dan Ma sedetik pun tidak pernah benar-benar berada disisiku. Saat itu aku sangat membutuhkan orang yang tidak hanya menyayangiku namun juga mengingatkanku akan khilafku, memarahi saat aku berbuat salah. Selama ini Pa dan Ma hanya berpikir bahwa kasih sayang yang kubutuhkan adalah harta. Saat itu pula sebentuk kerinduan menjalar di sekujur tubuhku. Di setiap denyut nadiku. Tiba-tiba aku ingin melepas rinduku akan sesuatu yang sempat kulupakan di sisa hidupku. Aku ingin mengaji.
Alunan suara Fajar yang merdu mengugah batinku. Tak terasa setetes embun bening mengalir di pipiku. Batinku terasa haus. Namun kuurungkan niatku. Aku merasa tak pantas untuk menyentuh dan mungkin membacanya. Tubuhku terlalu kotor seperti juga jiwaku. Aku merasa terlalu hina. Aku pun tergugu. Tubuhku berguncang hebat. Sekali lagi aku menggigil. Dan seperti sebelumnya. Kembali Fajar menenangkanku. Dia pun mengambil air putih yang berada di sisi pembaringan.
”Apa yang kamu rasa? maafkan kalo aku telah mengganggu tidurmu.” Kata Fajar sambil menatapku. Tampaknya ia begitu merasa bersalah.
”Kamu tau Jar. Mungkin kamu tidak percaya, kalo aku dulu begitu mengakrabinya.”Kataku.
”Maksudmu?”tanyanya lagi.
”Dulu...dulu sekali. Kitab itu begitu akrab denganku. Hingga semuanya berubah. Kakek yang biasanya membimbingku dipanggil oleh Yang Kuasa. Sejak itu aku seperti kehilangan arah dan tujuanku. Apalagi tak seorang pun peduli padaku, termasuk Pa dan Ma. Aku pun makin menggila. Hampir separuh hidupku kuhabiskan dijalanan. Tapi sekarang, bersama keluargamu. Aku seperti terlahir kembali. Tapi Jar, apakah aku masih punya kesempatan lagi??”tanyaku bimbang.
”Alhamdulillah kalo kamu sudah sadar. Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Dia dapat memaafkan umatNYA selama kesalahan yang sama tidak akan terulang kembali.”
“Kenapa kamu bisa seyakin itu...? Sementara sudah terlalu banyak orang yang aku sakiti, Kakek, Pa, Ma dan entah siapa lagi.” Aku pun tergugu.
“Maafin aku Jar… Mungkin kamu berpikir aku terlalu cengeng. Ga gentle. Tapi…”
“Ga ada yang melarang kamu menangis. Siapapun berhak untuk menangis. Apalagi jika tangisan itu bisa membuatmu merasa lega. Namun yang lebih utama lagi apa yang kamu lakukan setelah ini.”
“Maksudnya???”
“Allah itu Maha Pengampun akan umatNYA. Apalagi buat mereka yang menyadari kesalahannya. Kalo kamu mau merubah diri menjadi seseorang yang baru mungkin air mata yang keluar akan menjadi lebih berarti.”
“Tapi apa aku bisa?? ”
“Kita tak pernah tahu kita bisa, kita mampu atau tidak jika kita belum mencobanya. Iya kan??”
“Kamu mau bantu aku??”
“InsyaAllah… nanti kan juga ada Bapak yang akan membimbing kamu.”
“Makasih Jar.”
Kami pun berpelukan. Aku masih menangis. Tapi tagisanku ini adalah tangis bahagia. Tangis dari seorang insan yang mulai besok akan memulai lembaran baru. Mengisi kertas kusam yang sebelumnya penuh dengan coretan.
ΩΩΩΩ
Ini hari pertama aku memulai pelajaran rohani ku. Rasanya aku tidak sabar untuk segera memulainya. Adrenalinku serasa di ubun-ubun. Perasaan yang biasanya baru aku rasakan setiap aku mengemudikan motorku dengan kecepatan setan. Aku pun mengenakan baju koko yang semalam diberikan Fajar padaku. Koko putih dengan sarung kotak-kotak biru, warna kesukaanku serta kopiah hitam. Semua perlengkapan itu aku pakai.
Tak lama berselang aku mendapati pantulan wajah seseorang yang seolah belum pernah aku temui hadir disana. Doni Putrawan, putra bapak Wira Putrawan. Seorang pengusaha batu bara terkenal kini tengah berdiri tegak disana. Rupanya aku juga masih terlihat tampan dengan pakaian ini. Padahal aku dulu paling anti untuk mengenakannya. Kini semua berubah.
“Ehem…ehem… lagi kagum ma diri sendiri nie…”
“Eh… Fajar…” gelagapan aku pun melepas kopiahku dan memainkannya di tanganku. Rasanya malu juga ketahuan mengagumi diri sendiri.
“Sudah… itu kopiah dipakai aja. Tambah gagah dan ganteng lagi. Ngapain di lepas. Sini aku bantu.” Fajar pun meraih kopiah itu dari tanganku dan memasangnya di kepalaku. Kami berdua tersenyum melihat pantulan di cermin. Yang terlihat kini bukan hanya satu tapi dua orang santri…
ΩΩΩΩ
Terdiam aku menatap gemericik air yang mengalir di pancuran. Sementara itu di bawahnya tampak ikan-ikan kecil yang berlain kesana kemari. Entah apa yang mereka perebutkan. Namun meskipun demikian aku tidak melihat mereka saling bertubrukan. Sungguh simponi yang sangat indah. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?? Kemana aku selama ini. Kenapa aku tidak menyadari bahwa ternyata kebersamaan itu indah. Bahwa hidup itu tidak sendiri dan ada orang-orang lain di sekelilingku. Mereka yang mungkin membutuhkan bantuanku dan aku butuhkan. Kenapa aku tidak pernah tau itu???
“Jangan nglamun Don, Allah ga suka orang yang kerjaannya nglamun.” Kata Fajar sambil menepuk pundakku.
“Eh kamu… nggak kok. Sapa juga yang nglamun. Cuma lagi mikir. Kok ikan itu ga capek ya, muter-muter dari tadi. Mereka juga ga bertengkar. Meskipun di kelompoknya itu ga hanya terdiri dari beberapa ekor. Tapi lihat banyak banget kan??” kataku sambil menunjuk gerombolan ikan-ikan yang masih tak henti bergerak ke sana kemari.
“Ikan-ikan itu sebenarnya hanya sekelumit contoh kecil yang Allah tunjukkan pada kita. Betapa perbedaan itu indah. Betapa keanekaragaman itu justru memperkaya kita. Seperti ikan-ikan itu. Meskipun mereka memiliki corak yang berbeda tapi mereka masih bisa membaur satu sama lain. Seperti juga kita. Meskipun Allah menciptakan kita dengan kondisi dan keadaan yang berbeda-beda. Namun sesungguhnya itu semua justru untuk menambah persaudaraan diantara kita.”
“Maksudnya… Kalo kita rukun. Ga bakalan ada pertengkaran ataupun gontok-gontokan. Gitu?? Tapi kenapa ortuku ga gitu ya?? Tiap hari tengkar mulu. Telingaku capek Jar dengerinnya…” Ceritaku sambil memainkan rumput yang sejak tadi kumainkan.
“Dalam sebuah keluarga, pertengkaran itu biasa. Hanya saja memang tergantung bagaimana individu masing-masing untuk bisa memahami dan mengerti perbedaan yang ada.”
“Lalu apa yang harusnya aku lakukan??”
“Mungkin mang sudah saatnya buat kamu kembali ke rumah. Kamu ga bisa selamanya lari seperti ini. Karena justru tugas kamulah untuk menyatukan orang tua kamu. Bukan malah lari dan tidak peduli. Itu sich saranku. Tapi maaf ya kalo kata-kataku seolah menggurui.”
“Ga pa pa kok. Mang benar, ga seharusnya aku begini. Lari dari masalah. Padahal mereka itu adalah orang yang sudah menyebabkan aku ada di dunia ini. Harusnya aku bisa sedikit dewasa. Kamu benar Jar. Mungkin ini saatnya aku untuk kembali. Memulai semua dari awal lagi. Tapi kalo aku pulang, kamu masih menerima kedatanganku kan??”
“Kenapa tidak?? Kita kan sudah jadi saudara.”
“Iya, saudara lain ibu lain bapak…”
“Iya… tapi satu nenek moyang. Nabi Adam. Iya khan??”
“Ah kamu bisa aja…”
“Eh udah adzan tuch. Yuk sholat dulu.”
Berdua kami pun berangkulan dan berjalan meninggalkan sungai. Setelah sebelumnya mengambil air wudhu terlebih dahulu.
ΩΩΩΩ
“Pak, saya mau pamitan sama Bapak.”
“Kenapa buru-buru. Memangnya kamu sudah siap?”
“Siap tidak siap saya tetap harus pulang. Saya merasa sudah waktunya untuk saya memperbaiki keluarga saya Pak.”
“Iya Bapak juga setuju. Yang penting semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Jangan seperti dulu. Kebut-kebutan. Sayang sama diri Nak. Karena kita juga tidak tahu sampai kapan kita ada di dunia ini. Jadi kita harus mempersiapkan diri baik-baik. Ingat itu ya…”
“InsyaAllah pak. Alhamdulillah selama disini Bapak dan Fajar telah mengajari saya banyak hal. Membuat saya menyadari apa maksud adanya saya di dunia ini. Terima kasih Pak.”
Aku pun berdiri dan memeluk bapak. Memang aku baru seminggu disini. Tapi keramahan yang ditawarkan membuat aku merasa seperti berada di antara keluargaku sendiri. Rasa rindu ku pada Pa dan Ma tiba-tiba muncul entah kenapa.
“Kapan rencana mau pulang??”
“InsyaAllah besok pagi. Ini tadi saya sudah bilang sama Fajar.”
“Ya sudah, besok hati-hati ya… Maaf mungkin besok Bapak tidak bisa mengantarkan Nak Doni karena ada acara di kampung sebelah besok, jadi Bapak harus berangkat malam ini. Maaf ya… ”
“Tidak apa-apa pak. Terima kasih.”                
ΩΩΩΩ
Hari ini aku kembali ke kehidupan ku yang sebenarnya. Kehidupan yang seminggu ini aku tinggalkan, Pa, dan Ma. Kepergianku diantarkan Sarah dan Fajar. Rasanya ada yang hilang di benakku. Entah apa.
Sepanjang perjalanan tak henti aku berdoa dalam hati. Berharap agar Pa dan Ma akan bisa berbaikan. Berharap agar aku bisa menjalani kehidupanku dengan lebih baik. Berharap agar hidup yang diberikan padaku saat ini akan bisa bermanfaat untuk orang lain. Harapan-harapan yang membuatku tanpa sadar mempercepat laju motorku. Saking asyiknya aku bermain-main dengan harapanku. Dari arah depan melaju truk kontrainer dengan muatan yang entah apa menghantamkanku, Tubuhku pun terpelanting. Aku merasa tubuhku terasa ringan, melayang. Sebelum akhirnya jatuh di aspal. Satu persatu bayangan wajah orang yang kukenal hadir dihadapanku. Pa, Ma, Fajar, Sarah, Bapak… dan Kakek. Kenapa aku begitu takut… ketakutan yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Aku takut mati. Aku takut tak bisa mengembalikan keutuhan keluargaku. Aku takut. Ya Allah, tolonglah hambamu ini. Aku ingin pulang….



Cerpen by Atika Utami
"Saya adalah seorang yang selalu ingin belajar. Belajar apa saja selama itu baik dan bermanfaat. Menulis menjadi hobi saya sejak lama namun saya masih terlalu takut untuk berbagi karya saya dengn orang lain. Semoga dengan memulainya dari sekarang, saya bisa lebih percaya diri."
 


1 komentar:

Kucing Pipush mengatakan...

thank's banget buat Mbak Tika yang udah berbagi cerpennya di sini
maaf, baru bisa komen sekarang
terus berkarya ya, Mbak!
jangan takut cerpennya dibaca orag lain :)
ditunggu cerpen terbarunya :D

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates