Malam
semakin larut. Kafe tempatku berada saat ini juga semakin sepi. Para pengunjung
yang tadinya ramai kini mulai berkurang. Hanya tinggal beberapa meja saja yang
terisi. Kualihkan pandanganku keluar kafe melalui jendela kaca besar di
sampingku. Jalanan kota Solo masih terlihat ramai. Masih banyak orang-orang dan
kendaraan berlalu lalang.
Hanya
saja…suasana malam ini terlihat begitu muram. Entah kenapa?
Mungkin
karena hujan turun melanda kota Solo sejak pagi. Itu yang dikatakan sopir taksi
yang kutumpangi tadi.
Aku
sendiri baru sampai di kota ini beberapa jam yang lalu, dan langsung meluncur ke
kafe ini setibanya aku di bandara Adi Sumarmo, Solo. Sesuai instruksi yang
diberikan Rio via Skype semalam.
Waktu
aku tiba tadi, hujan masih turun dengan deras. Bahkan sampai kini tetes-tete
air sisa hujan masih sesekali turun.
Kulihat
jam tanganku yang bermotif kucing. Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam kurang
5 menit. Sekali lagi aku melihat keluar jendela. Masih belum tampak tanda-tanda
kedatangan Rio. Harusnya dia sudah ada di sini saat ini kalau dia berangkat
dari Singapore siang tadi. Harusnya dia sudah menjemputku.
Aku
mengedarkan pandangan ke sekelilingku.
Hanya tinggal tiga meja yang terisi. Termasuk meja yang kududuki. Jalanan juga
sudah mulai sepi.
Tiba-tiba
saja aku merasa gelisah. Sudah semalam ini Rio belum muncul juga.
Apa
yang harus kulakukan kalau kafe ini tutup dan Rio belum muncul juga
menjemputku? Aku sama sekali belum mengenal kota ini. Ini kali pertama aku
datang ke Solo. Itupun atas permintaan Rio.
Entah
kenapa, tiba-tiba saja Rio memintaku datang ke Solo. Dia bilang, mau
mengenalkan aku pada orang tuanya. Aku sih nggak keberatan.
Sekali
lagi kulihat jam tanganku. Sekarang sudah pukul 11 kurang seperempat, dan
tanda-tanda kedatangan Rio belum juga tampak. Aku semakin gelisah. Apalagi
ponsel Rio masih belum bisa dihubungi sejak tadi.
Bagaimana
kalau Rio nggak muncul? Apa yang harus kulakukan? Aku musti nginep dimana? Aku
sama sekali nggak tahu seluk beluk kota ini.
Atau
aku coba hubungi rumah keluarga Rio saja? Ah.. . mana mungkin! Aku bahkan nggak
tahu nomor telepon rumah Rio.
Atau,
aku hubungi kakak Rio saja? Hei..! Dia kan, masih berada di Amerika! Mana dia
tahu soal keberadaan Rio sekarang.
Ya
sudahlah, aku tunggu saja.
Malam
semakin larut. Kini suasana kafe benar-benar sepi. Hanya satu meja saja yang
terisi. Yaitu meja yang kududuki.
Sekali
lagi kucoba menghubungi ponsel Rio. Masih belum aktif juga. Keringat dingin
mulai membasahi tubuhku. Aku benar-benar gelisah. Sebentar lagi kafe tutup, dan
Rio belum muncul juga. Sementara aku nggak punya kenalan lain di kota ini.
Apa
mungkin terjadi sesuatu pada pesawat yang ditumpangi Rio? Ah….nggak mungkin!
Aku
buru-buru menepis pikiran buruk itu.
“Maaf
Mbak, kita sudah mau tutup.” Ucapan seorang waitress
menambah kegelisahanku. Akhirnya yang kukhawatirkan terjadi juga.
Setelah
membayar makananku, aku keluar dari kafe. Angin malam yang super dingin
langsung menyapaku. Untuk sementara aku hanya berdiri di depan kafe.
Aku
mencoba menenangkan diriku. Berpikir apa yang harus kulakukan. Akhirnya aku
memutuskan mencari informasi hotel terdekat di Google.
Setelah
memutuskan hotel yang akan kudatangi, aku melangkah ke tepi jalan untuk
menunggu taxi. Kurapatkan jaketku. Malam semakin dingin. Taksi yang kutunggu
belum muncul juga.
Setelah
beberapa lama, akhirnya aku melihat taksi di kejauhan. Kulambaikan tanganku
untuk menyetop taksi. Taxi itu berhenti di depanku. Belum sempat aku membuka
pintu, pintu belakang taxi terbuka. Muncul sosok Rio keluar dari taksi.
“Maaf
Sayang, aku telat. Pesawatnya delay
karena cuaca buruk,” ucap Rio langsung. Wajahnya terlihat begitu tegang.
Aku
hanya menatapnya tanpa berkata apapun. Aku hanya bisa tersenyum lega.
By : Cepi R. Dini
Cerita ini juga bisa dibaca di sini
0 komentar:
Posting Komentar