Kupandang
wajah manis cowok yang berdiri di halte nunggu bis sekolah. Dengan cuek dan
santai dia berdiri. Padahal udah jam setengah tujuh, dan dia sekolah di SMA
Nusa Bangsa. Setahuku, SMA Nusa Bangsa itu ketat banget. Tapi…mau gimana lagi? Emang
bis belum dateng.
“Hei..Dicha!
Ngelamun aja!” bentak seseorang tiba-tiba dari mobil yang berhenti di depanku. Ternyata
si sableng Mafa.
“Elo
nyet, sirik aja!” balasku.
“Ayo
masuk, udah siang nih!” ajaknya.
Agak berat sih, tapi akhirnya aku mau juga masuk ke mobil
Mafa meninggalkan si tampan yang masih berdiri di halte nunggu bis sekolah yang
tak kunjung datang. Kutatap lekat wajahnya sampai mobil yang kunaiki
benar-benar menjauhinya.
“Tumben
sih Cha, nggak dianter?” tanya Mafa.
“Lagi
males aja,” jawabku singkat tanpa melepas pandanganku dari halte yang cuma
nampak setitik itu.
“Lo
kenapa sih lihat belakang terus?” tanya Mafa heran.
Aku
melepas pandanganku dan berbalik menghadap Mafa. “Nggak apa-apa,” jawabku
singkat.
“Jangan
bo’ong! Lagi kesengsem sama cowok ya!?!” tebak Mafa.
Aku
diam saja. Mafa terus menggodaku.
“Ayo
dong…kasih tahu yang mana anaknya?!” desak Mafa.
“Apaan
sih…? nggak ada!” balasku.
“Ah…kamu
selalu gitu, semua disimpen sendiri! Ayo dong…bicarain sama sahabatmu yang
setia ini,” ucapnya lagi.
“Rese’
lo!” balasku seraya keluar dari mobil diikuti Mafa. Sementara sopir Mafa
langsung kabur, kembali ke asalnya.
Aku terus berjalan memasuki sekolah dan Mafa terus
mendesak mau tahu tentang cowok yang kusukai.
“Dicha! Ada sesuatu buat kamu,” ucap Rivan seraya
menyerahkan sebuah gantungan kunci Arsenal padaku.
“Buat
aku?” tanyaku.
Rivan
mengangguk. “Kemarin papaku baru pulang dari London bawain itu,” jelasnya.
“Ini
asli dari London? Buat aku?” tanyaku lagi.
“Iya,
kamu kan suka Arsenal.” jawabnya.
“Makasih
ya Van!” seruku senang.
Rivan
mengangguk dan berlalu pergi dari hadapanku.
“Dapet
hadiah lagi nih dari sang penggemar,” goda Niza.
“Apaan
sih…? Dia kan cuma ngasih oleh-oleh aja,” balasku.
“Jangan
pura-pura lugu deh…! Rivan kan emang suka sama lo,” ucap Niza lagi.
“Liat aja, tiap kali dia atau ortunya pulang
dari luar negeri, dia selalu bawain lo oleh-oleh yang sesuai dengan kesenengan
lo. Mulai dari gantungan kunci Arsenal, syal Juventus, foto Valentino Rossi
plus tanda tangannya, dan banyak lagi yang lain. Pokoknya selalu ada deh
sesuatu buat lo!” sambung Mafa
“Rivan
kan emang baik, masa itu berarti dia suka gue, sempit banget pikiran kalian!” balasku.
“Tapi
sama lo beda, dia beneran suka sama lo!” Niza bersikeras.
“Ih….cucunya
dukun ya…! Sok tahu lo!” sahutku.
“Enak
aja! Semua juga bisa liat kali,” balas Niza.
“Whatever,
nggak ngaruh buat gue!” ucapku cuek.
“Iyalah nggak ngaruh, orang ada cowok di halte
yang bikin jatuh hati,” sahut Mafa, mengungkit kembali kisah tadi pagi.
“Oh
ya? Siapa? Siapa?” tanya Niza interest.
Mafa
mengangkat bahu. “Mana gue tahu. Dicha aja belum mau cerita,” sahut Mafa.
“Emang
siapa sih yang bilang gue suka sama cowok di halte? Itukan cuma tebakan lo
aja!” ucapku pada Mafa.
“Aduh
Dicha…! Kita udah kenal sejak SD gitu, gue tahu gelagat lo kalau suka seseorang,”
sahut Mafa.
Aku
tersenyum kecil. Sok banget sohibku satu ini!
“Tapi
bener kan, ada cowok di halte yang disukai Dicha?” tanya Niza.
“Gue
yakin banget! Cuma….Dicha aja belum mau ngaku,” balas Mafa.
“Iya
deh…..gue ngaku,” ucapku akhirnya “Iya, gue emang lagi terpesona sama cowok
yang biasa gue lihat di halte. Orangnya manis, tinggi, putih, sipit ,tampang
oriental gitu deh…! dia sekolah di SMA Nusa Bangsa, dan namanya…gue nggak
tahu!”
“Yeah…kok
nggak tahu sih? Kenalan dong!” seru Niza.
“Susah
mau kenalan ama dia. Tiap kali gue ketemu ama dia, badan gue rasanya gemetar. Apalagi
kalau dia berdiri di samping gue, mau pingsan rasanya!” balasku.
“Segitunya….!
Pantes lo sekarang jarang dianter. Seganteng apa sih dia?” tanya Mafa.
“Yeah…ga’
bisa dijelaskan dengan kata-kata, soalnya dia nggak mirip siapa-siapa. Yang
jelas, sejak pertama gue ketemu dia, gue langsung terpesona.” Jawabku.
“Ya
udah….daripada cuma mengagumi dari jauh gitu, mendingan kenalan aja langsung!” sahut
Niza.
“Nggak
deh, kayak gini aja juga nggak apa-apa kok! Gue nggak berani nyapa duluan,” balasku.
“Ya
udah…whatever! Lagian….kalau ga’ bisa dapetin tuh cowok, Rivan masih ada kok!” ucap
Mafa.
“Apaan
sih….?!! Nggak penting banget deh!” sahutku kurang suka.
Dua sohibku itu cuma nyengir nakal. Ada-ada aja mereka
itu. Tapi…apa iya Rivan suka aku? Ah…ngapain sih dipikirin? nggak penting!
Aku masuk ke dalam bis bersamaan dengan makhluk-makhluk
yang ada di halte. Aku langsung menuju tempat favoritku di dekat jendela. Tiba-tiba….oh
my God! Pangeranku duduk di sebelahku. Thank’s God…! This is my lucky day…!
“Mm…maaf,
jam berapa sekarang?” tanyanya tiba-tiba menjatuhkan aku yang sedang melayang.
Cepat-cepat
kulihat arlojiku. “Eh, jam setengah tujuh.” Jawabku cepat. Jantungku berdegup
sangat kencang.
“Terima
kasih.” balasnya singkat sambil tersenyum.
Oh God…….senyumnya membuatku ingin pingsan! Aku menarik
nafas berusaha menenangkan diri. “Kamu…masuknya jam berapa?” tanyaku memberanikan
diri.
“Jam
tujuh kurang seperempat, kamu?” dia balik nanya.
“Sama,”
jawabku “Kamu…anak SMA Nusa Bangsa ya?” tanyaku.
“Kok
tahu?” tanyanya balik.
“Dari
badge almametrmu,” jawabku.
Si
tampan tersenyum. “Kamu….di SMA 15!” tebaknya sambil membaca badge almameterku.
Aku
tersenyum.
“By
the way…namamu siapa?” tanyanya.
Oh….pertanyaan
yang kutunggu-tunggu.
“Dicha,”
jawabku “Kamu?”
“Aku
Rickon,” balasnya singkat.
Tiba-tiba sang kondektur menyerukan SMA Nusa Bangsa. Yeah….udah
nyampe dia. Harus berpisah deh…
“Aku…duluan
ya?!” pamitnya.
“Iya…hati-hati!”
balasku.
“Bye
Dicha~” ucapnya lagi seraya berdiri.
“Bye!”
balasku.
Rickon
tersenyum dan melangkah keluar dari bis.
Kupandang terus wajah manisnya dari jendela. Rickon
melihatku dan melambaikan tangan padaku. Aku balas melambai dan tersenyum manis
padanya. Sampai bis sekolah yang kunaiki berjalan menjauhinya.
Hh….rasanya aku masih belum percaya, aku berkenalan
dengan cowok pujaanku.
“Heran deh, dari tadi lo kok smile terus si Cha?!” tanya
Niza heran.
Aku
tak menjawab apa-apa. Just smile!
Aku emang gak biasa menceritakan secara histeris tentang
kejadian menyenangkan yang baru aku alami. Paling-paling aku cuma smile terus
gitu.
“Kenapa
sih lo non? Ketemu lagi sama si pangeran halte?” tanya Mafa asal.
“Namanya
bukan pangeran halte! Namanya Rickon,” tegasku.
“Lho,
kok tahu namanya?!” seru Niza surprise. “Mmm…jadi itu, dari tadi smile terus…” tambahnya.
“Gimana
ceritanya?” tanya Mafa interest.
“Cerita
gak ya….” aku berpikir.
“Cerita
doooongg…” pinta Niza.
Aku
tertawa. “Pokoknya…dia duduk di sampingku, kita ngobrol n kenalan.” Ucapku “Pas
dia menatapku dan tersenyum padaku, serasa..terbang ke awan…!!”
“Makan
tuh awan…!” seru Niza dan Mafa rese’.
Aku cuma diam tak membalas. Terus membayangkan wajah
manis Rickon yang benar-benar membuatku terpesona.
~~~
By: Cepi
R. Dini [KucingPipush]
Ket: Cerpen ini dibuat ketika aku masih duduk di bangku SMA
2 komentar:
Halte Bus I'm in Love :X :p Cerpen.y dikit,,,Bru di Blogger, ya?,,,Sukses dch bwt admin & blog.y,,,
iya nih, masih baru
makasih udah mampir :)
Posting Komentar